webnovel

Hari Sial Sang Pemburu

Alvore, seorang pemuda berambut ikal kehitaman dengan setelan baju yang terbuat dari gabungan kain dan kulit binatang, tengah merendahkan tubuhnya serendah mungkin diantara semak belukar. Berusaha untuk tidak membuat suara apapun.

Matanya menatap tajam pada target buruannya hari ini di antara pepohonan, seekor kancil yang tengah menikmati dedaunan hijau yang segar.

Area hutan di puncak bukit berada tak jauh dari Kota Spadia, tempat Alvore tinggal, dan merupakan tempat berburu favorit nya. Tidak memakan waktu lama untuk sampai disana dari kota, hanya saja topografi yang berbukit dan curam membuat tak banyak pemburu yang mencari penghasilan di bukit tersebut. Tapi hal itu tidak masalah untuk Alvore yang menghabiskan masa kecilnya bermain di hutan itu. Setiap hari Alvore dapat dengan mudah mendapatkan hewan buruan disana.

Seharusnya hari inipun Alvore bisa mendapatkan buruan dengan mudah.

Tapi sejak pagi Alvore belum menemukan seekor buruan pun.

Hari sudah semakin siang dan perutnya mulai keroncongan. Karena itu ia sangat bersemangat saat menemukan seekor kancil yang cukup besar untuk santapannya siang ini, dan mungkin sedikit sisa untuk makan malam.

Alvore mengambil busur dan anak panah dari bahunya. Perlahan-lahan ia menarik anak panahnya dan mengarahkannya pada si kancil.

Seolah merasakan adanya bahaya, kancil yang sejak tadi berjalan dengan perlahan, berhenti dan mengangkat kepalanya, sebelum kemudian melompat melewati celah pepohonan kedalam semak-semak.

Alvore segera menurunkan busurnya, dan berlari mengejar buruannya.

Meskipun Alvore sudah terlatih berburu sejak kecil, namun kelincahan sang kancil dan pijakan tanah yang licin akibat hujan tadi pagi membuat Alvore sulit mengejar dan segera tertinggal jauh.

Menyadari ia tidak dapat menyusul sang kancil, Alvore memutuskan untuk menghentikan pengejarannya sementara si kancil dengan lincahnya menuruni jurang yang curam.

Sambil melihat buruannya pergi dari pinggir jurang Alvore menghela nafasnya.

Sebelum ia sempat beranjak, tanah pijakannya mendadak longsor. Membawanya dengan kecepatan tinggi menuju dasar jurang dan membenturkan tubuhnya ke tanah.

***

Tak jauh dari kota Spadia, sebuah kereta kuda berjalan melewati jalan setapak diantara tebing dan jurang menuju kota tersebut.

Kereta kuda itu terbuat dari kayu beratap merah dengan ukiran berwarna keemasan. Ditarik oleh dua ekor kuda yang tampak gagah dan dikemudikan oleh seorang kusir tua.

Empat orang berkuda mengikuti kereta tersebut. Dari penampilannya tampak ke empat orang itu adalah prajurit-prajurit muda yang terlatih.

Di dalam kereta kuda tersebut seorang gadis rupawan yang mengenakan gaun merah muda sedang duduk bersama pelayan wanitanya. Ia tampak menikmati pemandangan yang mereka lalui melalui jendela.

Cahaya matahari yang masuk menerpa kulit putihnya dan membuat rambutnya yang panjang kekuningan tampak keemasan.

"Syukurlah, perjalanan kita lancar ya, Nona Mirabelle." sang pelayan wanita berkata sambil menyiapkan teh.

"Setelah melewati bukit ini, kita akan sampai di kota Spadia, kampung halaman Nona. Tuan Besar pasti senang bisa berkumpul kembali dengan Nona."

"Ya, Alice. Meskipun kita tinggal serumah di Ibukota, sejak kecil aku jarang bertemu dengan ayahanda karena tugasnya sebagai Royal Knight. Aku senang sekali saat ayahanda akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaannya dan mengajakku pulang ke Spadia."

Wajah Mirabelle berseri-seri.

Pelayan wanita yang dipanggil Alice itu tersenyum sambil menyerahkan secangkir teh pada majikannya.

"Tuan Besar pasti sangat senang bisa berkumpul dengan Nona lagi. Lagipula, semenjak kematian mendiang Nyonya Besar, Nona adalah satu-satunya keluarga yang Tuan besar miliki... ah, maaf saya sudah lancang!"

Sesaat tersirat kesedihan pada raut wajah Mirabelle yang teringat akan ibunya, namun melihat wajah cemas Alice dengan cepat ia segera mengatur raut wajahnya.

"Semenjak ditinggalkan ibunda, ayahanda berusaha keras membesarkanku seorang diri, Alice. Karena itu pula aku selalu berusaha untuk tidak merepotkan dirinya meskipun aku tidak suka berada di ibukota."

"Wah wah, ternyata ada nona yang tidak suka bersekolah di sekolah terbaik di ibukota." Alice tertawa kecil.

"Tentu saja sekolah menyenangkan, Alice. Tapi kadang aku berharap untuk bersekolah di sekolah biasa saja. Sampai sekarang, aku tidak mengerti apa gunanya belajar berdansa dan membedakan rasa daun teh."

Alice tertawa.

"Ternyata Nona tidak berubah ya. Masih Nona kecil yang suka berbuat jahil dan berkelahi dengan anak lelaki. Benar-benar mirip dengan Nyonya besar. Tapi..." Alice melanjutkan kata-katanya setelah menatap wajah majikannya sejenak "Sekarang nona sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan rupawan."

"Ayolah Alice, bisa-bisanya kau berkata begitu meskipun tahu kau lebih cantik dariku." balas Mirabelle.

Wajah Alice memerah, ia pun tertunduk malu mendengar pujian dari Mirabelle.

"Ti… tidak tidak, wajah saya tidak ada apa-apanya. Lagipula, saya hanya seorang pelayan, tidak pantas kalau dibandingkan dengan nona." Kata Alice dengan gugup.

Melihat reaksi Alice, Mirabelle jadi semakin ingin menggodanya.

"Tidak, kau cantik, Alice." jawab Mirabelle dengan tegas, "Aku selalu iri dengan rambut hitammu yang lurus dan rapi, lagipula kau pandai memasak dan rajin berkerja. Aku yakin ada banyaaaak sekali pemuda yang ingin memperistrimu."

Mendengar itu Alice jadi salah tingkah. Ia tidak tahu harus berkata apa dalam situasi ini. Sementara Mirabelle berusaha mati-matian menahan senyumannya yang semakin lama makin melebar.

"Lalu Alice, kau juga… …"

Kalimat Mirabelle terpotong oleh goncangan keras.

Kereta kuda yang mereka tumpangi berhenti diiringi ringkikan kuda dan teriakan pengawal yang terdengar dari luar kereta. Mendengar itu Alice segera menenangkan nonanya dan melompat turun dari kereta untuk melihat apa yang terjadi.

"Ada apa? Kenapa kita berhenti…"

Alice bertanya pada kusir kereta, namun segera saja mata Alice tertuju pada tubuh salah seorang pengawal mereka yang terbaring bersimbah darah di depan kereta mereka.

Di dekat tubuh pengawal tersebut berdiri empat orang pria dengan tubuh yang besar dengan pakaian yang lusuh dan compang-camping. Mereka masing-masing memegang sebilah pedang pendek ataupun kapak. Darah menetes dari pedang yang dimiliki oleh pria bertubuh gemuk besar dan berjanggut hitam tebal yang berada paling depan.

'Gawat! Kawanan perampok!' pikir Alice.

Alice menyadari bahwa mereka dalam bahaya. Nona-nya dalam bahaya.

"Nona Mirabelle, tetaplah di dalam kereta dan jangan keluar satu langkahpun." sahut Alice dengan suara pelan namun tegas.

Melihat keseriusan yang terpancar dari mata Alice, Mirabelle mengangguk perlahan dan segera menutup tirai jendelanya, berharap semua akan baik-baik saja.

Alice melangkah menghampiri para pengawal yang telah bersiaga di depan kereta kuda mereka.

Rasa takut menghampiri Alice, mengiringi tiap langkah kakinya. Ia ingin berteriak, ingin menangis, ingin lari dari tempat itu. Namun di atas semua itu, hal yang paling diiginkannya adalah keselamatan Mirabelle. Karena itu, Ia mencabut pisau kecil yang diselipkan di balik rok yang dikenakannya dan mengacungkannya dihadapan para perampok tersebut.

Para pengawal telah menghunus pedang mereka dan siap menghadapi musuh di hadapannya.

Begitu pula dengan si kusir tua, meskipun tidak tampak menyakinkan namun ia mengangkat tongkatnya seolah menantang para perampok.

Kawanan perampok tertawa melihat hal itu. Kemudian perampok bertubuh besar gemuk berjanggut membuka mulutnya.

"Tinggalkan semua senjata, barang berharga, serta para wanita! Bagi pria yang ingin hidup, segera tinggalkan tempat ini! Pria yang tetap disini akan kami habisi, TANPA AMPUN!"

Tidak ada seorangpun yang bergeming mendengar suara lantang si perampok..

"HA HA HA HA! Baiklah kalau itu pilihan kalian. KITA HABISI MEREKA SEMUA!!"

Teriakan lantang mencekam mengusir burung-burung dari pepohonan..

***