webnovel

AlvaCa

Ini hanyalah sepenggal kisah cinta antara Alvaro dan Caca. Sejak awal, ketika bertemu dengan Caca. Alvaro sudah jatuh cinta terhadap gadis itu. Berbagai cara dia lakukan, demi mendapatkan hatinya. Namun sayangnya, Caca justru sangat membeci Varo. Karena pria itu telah menyakiti kedua sahabatnya. Lantas, bagaimanakah kisah cinta mereka akan berakhir?

El_Wida · Teen
Not enough ratings
5 Chs

Pantang Menyerah

Gue nggak akan bosan sampai lo jatuh ke pelukan gue.

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

"Caca pulang!!!"

Gadis itu melemparkan tasnya ke sofa, kemudian cepat-cepat menuju ke dapur untuk minum. Karena selama perjalan pulang, tenggorokkannya sudah sangat kering.

"Ah... leganya..."

Akibat dari sikap cueknya itu. Ia sampai lupa pada orang yang telah mengantarnya pulang. Iya, Alvaro masih berada di depan rumah Caca. Marissa yang baru saja pulang dari rumah tetangga, sedikit penasaran melihat anak laki-laki masih berdiri di samping motornya.

Dia pun segera masuk untuk bertanya ke pada Caca.

"Caca. Itu siapa di depan? Kok nggak di suruh masuk dulu?" ucap Marissa.

Caca menyemburkan air yang belum sampai ke terokongan, ia hampir lupa kalau cowok itu masih ada di sana. Marissa yang terlihat bingung, jadi semakin penasaran. Caca yang mengetahui ekspresi 'Kepo' Mamanya. Seketika dia langsung memasang wajah jutek. Melihat reaksi anak gadisnya yang sepertinya tidak perduli. Marissa pun memutuskan untuk menghampiri remaja laki-laki itu.

Alvaro yang semula sedang asik menatap sekeliling. Dia terkejut saat wanita paruh baya yang baru saja masuk, kini menghampirinya. Dengan perasaan yakin Alvaro benar-benar menduga kalau wanita itu adalah Mama Caca, yah.... walaupun, dugaanya itu tidak sepenuhnya salah sih...

"S-selamat ma-lam tante." ia menyapa dengan sopan, sambil mencium punggung tangan Marissa.

"Selamat malam. Eh, maaf. Kamu siapanya Caca ya?"

"Oh, kebetulan saya temen sekolahnya Caca tante." cowok itu menjawab dengan sedikit kikuk.

"Kok nggak mau masuk dulu? Apa, kalian lagi berantem?"

"Eh, e-enggak kok tante. Caca memang kaya gitu ke saya, jutek. Hehe." Marissa tersenyum. Dalam benaknya rasa penasaran itu semakin besar. Apa yang membuat Caca sampai begitu benci dengan anak laki-laki ini, padahal kan dia tampan...

"Yasudah kalau gitu, masuk dulu kedalam. Nanti, kalau Caca nggak mau, kamu bisa ngobrol sama tante."

"Eh, eng, anu, eng-enggak usah tante. Kebetulan, udah malam, takut mama saya khawatir."

Bulshit!

Tentu saja dia senang. Tapi mengingat baru pertama kali datang kesini. Alvaro juga harus punya sopan santun kan. Walau kebetulan, memang benar. Ia tidak mau membuat Mamanya khawatir karena pulang terlambat. Mungkin lain kali dia pasti akan lebih senang kalau bisa mendapatkan kesempatan berbicara lagi dengan... ' Calon Mertua. '

"Yasudah kalau gitu,"

"Eh, yaudah Tante. Kalau begitu, saya pamit permisi, selamat malam." Varo mencium punggung tangan Marissa lagi.

"Malam."

Setelah kepergian Alvaro. Marissa mengerutkan dahi seperti tengah melupakan sesuatu. Melihat dari gerak-gerik anak itu. Bisa di pastikan kalau dia menaruh hati pada anak gadisnya. Marissa mengingat-ingat lagi apa yang tadi ia lupakan saat berbicara dengan anak itu.

"Oh iya, Namanya siapa ya?" ucapnya sambil menggigit ujung kuku jarinya.

"Hmmm. Nanti biar aku coba tanya sendiri deh sama Caca."

Caca, tengah asik duduk di sofa, menonton kartun, sambil mengunyah camilan yang ada di tangannya. Marissa menggelengkan kepala melihat kelakuan anak gadisnya. Yah, biarpun sikap anaknya sangat tidak wajar. Tapi setidaknya dia bangga memiliki anak seperti Felica, yang cantik dan juga pintar.

"Ca, nggak takut gendut nih? Pulang sekolah pasti ngemil, mana belum ganti baju lagi, kebiasaan deh." ucap Marissa dengan lembut sambil mengusap rambut anaknya.

"Ya gimana Ma, nasib lidah nggak bisa sabar. Lagipula, Caca kan ga bisa gendut." balas Caca sedikit cuek. Marissa hanya tersenyum sambil mencubit gemas pipi Anaknya.

"Oh iya, tadi kamu di antar siapa? nggak biasanya loh kamu pulang di anterin cowok selain Papa."

Caca mengerutkan dahinya.

"Yang mana Ma?" Tanyanya pura-pula lupa. Sebenarnya itu hanya alibi, jujur saja Caca sedikit malas membahas cowok itu.

"Ituloh, yang naik motor warna hitam."

"Alvaro maksud Mama?"

"Oh, namanya Alvaro." Batin Marissa.

"Iya mungkin."

"Tadi Papa bilang mau lembur, jadi nggak bisa jemput. Caca juga udah hampir kemaleman pulangnya, bus sama angkot juga, udah gak ada. Eh kebetulan dia lewat, yaudah Caca nebeng aja." pada bagian Papanya yang tidak bisa menjemput caca memang benar. Tapi untuk selebihnya Caca berbohong.

"Kamu lagi marahan ya sama dia?"

"Enggak kok Ma, Caca cuma nggak suka aja sama dia."

"Kenapa?"

"Pokoknya dia itu nyebelin, tadi kalau bukan karena terpaksa, mana mau Caca di anterin sama dia. Mendingan Caca pulang sama Sani."

Marissa hanya bisa menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Udah ah Ma, Caca mau mandi..."

Caca pun pergi meninggalkan Marissa yang masih duduk sambil tersenyum di tempat itu.

__________________________________

Alvaro menepikan motornya di depan gerbang rumah Caca. Wajahnya nampak berseri, karena. Setelah sekian lama dia mengejar Caca, baru kali ini dia bisa menjemput gadis pujaannya itu.

"Maaf mas, cari non Caca ya?"

Alvaro menoleh ke arah satpam yang berada di dalam. Cowok itu mengerutkan dahi. Mengingat keadaan tadi malam, bukankah lampu di teras rumah Caca tidak cukup terang. Kenapa bapak ini bisa tahu wajahnya? Namun, segera ia  tepis rasa penasarannya itu, dan menganggukkan kepala bertanda 'iya'. Satpam pun segera pergi meninggalkan Alvaro untuk melapor kepada tuan rumah.

Sementara di balik jendela lantai dua. Caca sedang kesal melihat cowok menyebalkan itu ada di depan gerbang rumahnya. Marissa mengusap bahu anak gadis nya. Lalu disusul oleh Damar yang ikut berdiri di belakang Caca sambil menepuk kepala nya dengan pelan.

"Itu siapa Ca? Pacar kamu?" Damar bertanya pada Caca.

"Apaan sih Pah."

"Dia itu temennya Caca Pa. Tapi Mama rasa dia suka sama anak kita. Tapi si cantik, ini gatau kenapa. Kok kelihatannya benci banget sama dia."  ucap Marissa berbisik di telinga suaminya.

"Emang Caca benci." balas Caca jutek.

"Memangnya kenapa sih kamu sebenci itu sama dia? Kalau Papa perhatikan, sepertinya, dia anak baik-baik."

"Ish! Papa nggak tau aja. Dia itu udah nyakitin sahabatnya Caca Pah!" balas Caca sedikit kesal.

"Kamu udah tanya belum, kenapa dia lakuin itu ke sahabat mu?"

Caca menggeleng, "Sudah siang loh, berangkat sana. Kasian tuh, dia udah nungguin kamu." Marissa memutus percakapan Caca dan suaminya. Karena memang benar, mereka sudah hampir terlambat.

Caca menghembuskan nafas agak kasar. Kemudian menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Dia mencium punggung tangan beliau sebelum pergi. Sesampainya di depan gerbang, Alvaro terlihat, sedang berdiri membelakangi gadis itu. Kemudian saat Caca membuka gerbang, Barulah cowok itu menghadap ke arahnya.

"Selamat pagi Ca..." Varo menyapa sambil tersenyum senang. Gadis itu hanya menunjukkan wajah juteknya.

"Nggak usah sok manis! buruan!"

Alvaro menyerahkan helm satunya kepada Caca. Kemudian segera menghidupkan mesin motornya dan membawa pergi dari area rumah gadis itu.

________________________

Sesampainya di parkiran sekolah. Seluruh siswa/siswi yang melintas dan masih nongkrong di tempat itu. Mereka semua menatap ke arah Caca dan Alvaro dengan tatapan terkejut sekaligus bingung. Jelas saja, bagaimana tidak? Anak satu sekolah pun tahu jika mereka berdua adalah Musuh---oooh. lebih tepatnya Alvaro adalah musuh Caca, dan Caca adalah pujaan yang tengah Varo kejar.

"Apa lo semua!" Caca membentak, karena terlalu risih di perhatikan seperti itu oleh Mereka.

"Ini juga gara-gara elo sih Ro! Arrghh!!!" Caca membanting Helm yang baru saja dia lepaskan dari kepalanya, dan berjalan meninggalkan Alvaro disana.

Jujur saja, perasaan Alvaro saat itu adalah hancur dan sangat kecewa. Karena tanpa sengaja, Caca kembali membuat semangat Alvaro meredup. Dengan lesu, cowok malang itu mengambil Helm yang terlempar cukup jauh dari tempatnya berdiri, Lalu menaruhnya di spion.

Meski begitu, Alvaro masih belum ingin menyerah untuk mendapatkan hati Caca.

'Gue harus kuat, nggak boleh lemah hanya karena ucapan Caca. Gue juga belum mau nyerah. Pokoknya gue harus bisa buktikan bahwa hati ini memang benar-benar ingin memiliki Caca dengan tulus.'