webnovel

Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu

Uge, mahasiswa I TB, mengenal Widi, arsitek di Al Kahfi Land, melalui Chatting Lintas Waktu. Awalnya mereka tidak percaya berada di waktu berbeda, karena penasaran Uge mendatangi kantor Widi. Ternyata di sana tidak ada satu pun bangunan, Uge hanya berjumpa kawasan luas hutan pinus dan danau. Tentu saja, karena ia baru ingin membuat rancangan sketsa kantor itu setelah tiba di sana. Berbagai bukti muncul, akhirnya mereka yakin berada di tahun berbeda. Uge di tahun 1999 dan Widi di tahun 2004. Simak novel romantis yang akan membawa pembaca menuju suasana rentang waktu tahun 1999 - 2004.

penakopihitam · History
Not enough ratings
29 Chs

Mencari Titik Temu Presisi

Al Kahfi Land, Depok, 2004

Di sore hari, seorang perempuan cantik turun dari mobil di area parkir kantor yang sepi. Pak Hendri dan Pak Roni sedang tidur-tiduran di sofa tamu area resepsionis kantor Segitiga. Kedua orang itu segera bangkit karena ada orang yang datang. Biasanya pada hari libur, kantor ini jarang kedatangan tamu. Kebetulan beberapa petugas sekuriti dan sopir memang senang menginap di kantor.

Tamu perempuan itu menyapa ramah, "assalamualaikum, Pak Hendri, Pak Roni."

"Waalaikumsalam!" sahut Pak Hendri dan Pak Roni serempak tidak kalah ramah.

Setelah menyapa perempuan itu pergi begitu saja melewati Pak Hendri dan Pak Roni tanpa bertanya, lalu memasuki bagian ruangan yang lain.

"Entu siape? Orang baru, Ndri?" tanya Pak Roni.

"Tauk, kenal ama kite lagi. Oh, jangan-jangan itu tunangannye Pak Erlangga," sahut Pak Hendri.

"Oh, bisa jadi. Cakep ye tunangannye, jago juga milihnye Pak Erlangga, jiahaha," komentar Pak Roni.

"Jangan heran Bang Roni, namanye juga bos," ujar Pak Hendri.

"Ane paham. Maksutnye lebih cakep dari cewek-cewek cakep di mari. Tapi nape rada mirip Mbak Widi, ye?" tanya Pak Roni.

"Lah, iye! Jangan-jangan, emang Mbak Widi? Kalo tunangannye si Bos, masa bisa kenal nama kite?" sahut Pak Hendri ragu.

"Yaah, ane mah emang ngetop! Semua tamu yang dateng pasti negor sekuriti. Nah, justru ama ente kenape bisa kenal? Driver kan begaulnye coman dari besmen ke besmen doang, jiahaha! Tapi biar kate gitu, untungmye ente dapet bos si Desmon, pasti dikepelin duit mulu," goda Pak Roni.

Pak Hendri merengut. "Boro-boro! Manusia medit gitu!"

"Ah, yang bener? Jiahaha! Tapi sekagak-kaganye, perut ente mah pasti begah, diajak mampir restoran mulu."

"Apaaan? Dulu waktu nganter yang laen, iye! Pas jam makan, setir gue pasti belok! Giliran dapet Desmon, setir gue lempeng terus!"

"Jiahaha! Apes bener lu, Ndri. Eh, Jajat punya promag banyak tuh, lu minta aje buat bekel, jiahaha!"

"Kompor meledug lu, Bang! Eh, lu kan sekuriti, mending lu cek, yang tadi itu Mbak Widi, bukan?"

"Yaah, ngapain? Kalo nanti ada yang ngasih makan malem, berarti itu Mbak Widi. Anak besmen emang kaga paham situasi kantor, jiahaha!"

*****

"Oke, aku udah menganalisa seluruh percakapan chatting kita yang ternyata sudah hampir sebulan. Kesimpulannya, kita memang beda waktu. Sebelum kita ngelanjutin cerita kita yang tertunda oleh bos kamu, aku punya ide cemerlang." ketik Uge.

"Mau bikin tugu? Terus dikasih tulisan 'Uge was here, 1999'?" tanya Widi.

"Bisa dibilang begitu, tapi soal itu kita bahas nanti aja. Aku mau nemuin kamu di tahun 2004. Sekarang tanggal berapa di tahun kamu?" tanya Uge.

"Ge, kenapa sih segitunya banget mau ketemu?"

"Aku ngerasa kita cocok. Siapa tahu berjodoh."

Widi tertawa. "Emang udah mentok cari jodoh yang se-jaman? Mending fokus sama rencana bikin kantor, ketimbang mikirin jodoh."

"Justru urusan bikin kantor udah lebih terang ketimbang jodoh. Biar ngekos, sebenarnya aku udah punya rumah sendiri, aku udah ngejalanin bikin dan jual rumah, sejak masih kuliah tingkat pertengahan. Jadi gini ceritanya, sekarang aku lagi deketin investor untuk beli tanah kawasan hutan pinus yang bakal jadi kantor kamu itu."

"O, ya? Emangnya kawasan hutan pinus ini mau kamu jadiin apa?"

"Aku mau bikin real estate."

Widi tertawa. "Lupa? Buat kamu, aku kan ada di masa depan. Di sini, enggak ada real estate."

Uge tampak kecewa. "Wah! Rencanaku gagal dong."

Widi kuatir Uge menyerah, ia ingin membangkitkan semangat Uge. "Jangan patah semangat. Kamu kan bisa bikin di tempat lain. Tapi, kalo boleh usul, jangan ngerusak tempat-tempat asri kaya gini deh. Cari aja tempat yang udah rusak, terus kamu sulap jadi tempat yang asri."

"Betul juga. Tapi, aku udah terlanjur jatuh cinta mau ngantor di situ." Uge berpikir sejenak. "Oh! Ngantornya tetap di situ, bikin real estatenya di tempat lain."

"Kamu udah mikirin rencana apa aja sih?"

"Aku udah mikirin banyak rencana dan sangat detail. Di antaranya, aku bakal bangun dua bangunan kembar di sana."

Widi tertawa. Bangunan kembar? Dua bangunan di sini jelas beda bentuk dan ukurannya.

"Kalo disederhanakan bentuk dasarnya akan terlihat seperti limas, sehingga dari depan akan terlihat seperti segitiga."

Kini Widi terkejut. Segitiga? Hmm, tapi belum tentu yang Uge rencanakan mirip dengan kantor ini.

"Bagian dalamnya kira-kira seperti apa?" tanya Widi.

"Aku mau ada area terbuka yang bagian atasnya terlihat keren dari bawah. Tujuannya supaya orang selalu ingat sama yang diatas, yaitu Tuhan. Bagian paling atas itu adalah ruang untuk sholat."

Widi tercengang. Konsepnya sama dengan buatan si Ucup, tapi tujuannya beda seratus delapan puluh derajat, karena Uge lumayan relijius.

"Kenapa kamu mau bikin dua bangunan, Ge?"

"Bangunan pertama berfungsi sebagai kantor, posisinya ada di lereng lembah. Bangunan kedua berfungsi sebagai rumah atau tempat bersantai, posisinya ada di atas pulau kecil."

Jiwa arsitek Widi membuatnya ingin mengoreksi konsep Uge. "Ge! Maaf, aku tertarik ngebahas soal bangunan yang kedua. Jangan lupa, bentuk limas itu makin ke atas semakin sempit. Lahan pulau kecil itukan terbatas, kalo aku yang jadi arsiteknya, aku lebih memilih bentuk kotak. Lagian bangunan untuk istirahat, jangan dibikin njelimet, bisa bikin capek penghuninya."

"Betul juga. Tapi, kalo bentuk geometrinya beda, enggak nyambung dong, Wid."

"Di kawasan hutan pinus ini, geometri bukan pilihan tepat untuk menyambungkan kedua bangunan itu. Bentuk sama justru membuat mereka seperti 2 saudara kembar yang kesasar di tengah hutan. Mereka kan masih bisa disambungkan melalui kesamaan material dan warna. Itu akan membuat mereka seperti pasangan. Berbeda tapi memiliki kecocokan."

Uge terkesima membaca usulan Widi. "Ya udah nanti bangunan untuk istirahat, kamu aja yang bikin."

Widi baru sadar bahwa ia bisa semakin memperbesar kemunginan Uge menjadi Erlangga. Gawat! Uge yang alim ini enggak boleh berubah menjadi Erlangga si pengejar dunia. Orang segigih ini tetap punya peluang besar untuk sukses tanpa harus jadi Erlangga. Memang si Ucup baik sama aku, tapi itukan karena faktor kebutuhan. Mungkin karena dia baru tahu kalo semua proyek penting perusahaannya, aku yang pegang.

Widi berharap mendapat jawaban yang bisa memperkecil lagi kemungkinan Uge menjadi Erlangga. "Kamu udah mikirin nama kantornya juga?"

"Alhamdulillah, udah! Karena berada di Jalan Terusan Baru Kahfi dan bergerak dibidang properti, maka kantor itu aku namakan Al Kahfi Land."

Pandangan Widi mendadak berkunang-kunang.

"Uge, nama asli kamu Erlangga Yusuf?" tanya Widi.

*****

Sebuah restoran mewah, Jakarta, 2004

Erlangga dan Vanessa sedang kencan makan malam di restoran mewah yang suasananya romantis. Ironisnya, mereka lebih banyak saling diam.

Erlangga makan sambil memandangi kehangatan di meja-meja lain dengan wajah bosan, sementara Vanessa makan sambil sibuk dengan telepon genggamnya sambil sesekali tertawa sendiri.

Kekosongan membuat Erlangga terkenang suasana hangat saat ia ngobrol bersama Widi. Ia mulai membandingkan Widi dengan Vanessa di dalam benaknya.

Makan malam telah selesai, tetapi keduanya tetap tidak punya topik menarik untuk dibicarakan. Vanessa semakin sering tertawa sendiri sambil memainkan telepon genggamnya, seolah Erlangga tidak ada.

"Kamu lagi SMS-an sama siapa sih?" tanya Erlangga.

Tanpa melihat Erlangga, Vanessa menjawab, "Oh, ini lho, Honey."

Vanessa tertawa tanpa menyelesaikan kalimatnya, ia malah sibuk meladeni SMS.

"Ini lho apa?" tanya Erlangga.

Vanessa menyahut tanpa melihat Erlangga, "Pak Tio, pejabat itu, dia genit banget lho! Aku kerjain aja, abis rayuannya norak banget."

Erlangga terlihat kesal. "Bedanya apa sama kamu? Udah tau genit, dilayanin!"

Akhirnya Vanessa mau melihat wajah Erlangga. Ia membanting telepon genggamnya ke meja.

"Kampungan! Aku ngeladenin SMS supaya enggak bosen! Biar kamu tahu, kamu itu ngebosenin! Cowok sok suci!" Bantak Vanessa.

Pengunjung restoran terkejut mendengar keributan dari meja Erlangga. Kedua orang itu pun menjadi bahan tontonan.

Erlangga berdiri sambil memanggil pelayan.

"Heh! Aku belum selesai!" bentak Vanessa.

Erlangga tidak peduli, ia menyerahkan kartu pembayaran elektroniknya pada pelayan yang menghampirinya. Ekspresi wajah Vanessa berubah cemas.

"Honey? Kok jadi kamu yang marah?" tanya Vanessa dengan ekspresi wajah dan nada suara seperti ingin menangis.

"Aku antar kamu pulang. Kalo mau!" ujar Erlangga dingin.

*****

Sebelum bertunangan dengan Vanessa, Erlangga nyaman hidup sendiri tanpa pernah punya pasangan. Orang-orang kantor banyak yang mengira Erlangga punya hubungan istimewa dengan Soffie, padahal kedekatan mereka hanya karena keduanya butuh figur adik dan kakak, sesuatu yang sama-sama tidak mereka miliki.

Soffie berasal dari keluarga yang status sosialnya setara dengan Erlangga, sehingga ia tidak pernah menempatkan diri seperti anak-anak buah lain yang butuh gaji dari Erlangga. Mereka pun jadi bisa berteman.

Kisah hubungan cinta Erlangga dengan Vanessa sebenarnya belum lama, baru dimulai sejak sebulan yang lalu. Saat itu, tiba-tiba Erlangga merasa sudah waktunya mencari pasangan untuk menikah. Tanpa sepengetahuan Soffie, ia menghadiri perhelatan kaum sosialita dan berkenalan dengan Vanessa. Padahal sebelumnya, ia paling anti dengan keramaian dan sangat malas keluar dari sangkar.

Kehadiran laki-laki seperti Erlangga tentunya tidak akan disia-siakan oleh perempuan seperti Vanessa. Apalagi keduanya memang sedang mencari pasangan yang sepadan, bukan yang tepat. Erlangga pengusaha muda yang sukses, Vanessa foto model cantik papan atas yang terkenal, tentu sangat sepadan.

Erlangga merahasiakan hubungannya dengan Vanessa dari Soffie. Adik angkatnya itu memang sangat posesif untuk urusan jodoh Erlangga. Ia selalu menyortir perempuan yang mendekati Erlangga. Ujung-ujungnya Soffie selalu berkomentar negatif, kurang cantik, kurang berkelas, kurang pintar, kurang perhatian, selalu ada saja kekurangan yang ditemukannya.

Erlangga tidak mau membujang seumur hidup, sehingga ia juga merahasiakan pertunangannya dengan Vanessa. Apalagi ia tahu Soffie telah merencanakan pernikahan dengan seseorang yang belum sempat Erlangga temui. Walau cuma adik angkat, Erlangga tidak mau dilangkahi Soffie.

Soffie akhirnya tahu, walau bukan dari Erlangga. Soffie pernah kuliah di luar negeri, di sana ia pernah menyaksikan gaya hidup Vanessa yang menurutnya tak pantas.

Menurut Sofiie, Erlangga memang seorang pengejar dunia sejati untuk urusan kesuksesan, tetapi bukan untuk urusan kesenangan seperti Vanessa. Dia tidak akan kuat hidup bersama perempuan itu yang lama tinggal di negara serba bebas, di mana hal-hal yang di sini dianggap melanggar norma, di sana malah dianggap sebagai hak asasi manusia. Vanessa tidak membatasi kedekatannya dengan laki-laki, berani berpakaian yang bisa dikatakan setengah telanjang di tempat umum, enteng mengumbar kata-kata kotor, gemar minuman keras dan akrab dengan kehidupan malam.

Soffie ingin menyelamatkan Erlangga, tetapi karena tidak mau dianggap posesif, maka Soffie berencana mencarikan jodoh yang menurutnya tepat. Dia sudah ketemu dan sedang mengintai buruannya.

*****