webnovel

Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu

Uge, mahasiswa I TB, mengenal Widi, arsitek di Al Kahfi Land, melalui Chatting Lintas Waktu. Awalnya mereka tidak percaya berada di waktu berbeda, karena penasaran Uge mendatangi kantor Widi. Ternyata di sana tidak ada satu pun bangunan, Uge hanya berjumpa kawasan luas hutan pinus dan danau. Tentu saja, karena ia baru ingin membuat rancangan sketsa kantor itu setelah tiba di sana. Berbagai bukti muncul, akhirnya mereka yakin berada di tahun berbeda. Uge di tahun 1999 dan Widi di tahun 2004. Simak novel romantis yang akan membawa pembaca menuju suasana rentang waktu tahun 1999 - 2004.

penakopihitam · History
Not enough ratings
29 Chs

In The Mood For Love

ITB, Bandung, 1999

Panitia panggung musik jazz kampus sedang mempersiapkan acara setelah jeda istirahat. Penikmat musik jazz memang tidak sebanyak musik lain yang lebih digemari anak muda, tetapi untuk sebuah panggung kecil, jazz pula, tampaknya jumlah penonton yang setia lesehan di sekitar panggung telah memenuhi harapan panitia.

Di antara panitia yang hilir-mudik, hanya Dewi yang tidak terlalu melibatkan diri dalam kesibukan. Ia sesekali berdiri sambil memperhatikan orang-orang di sekitar panggung. Walau tahu kemungkinannya sangat kecil, Dewi tetap berharap Uge hadir, karena Uge belum juga menelponnya.

"Halo Geulis, nyari aku?" tanya Dipa.

"Eh, Dipa, kamu jadi manggung?" tanya Dewi.

"Enggak tau nih, enggak boleh sama panitia! Beneran enggak boleh, Ran?" tanya Dipa pada Rani, ketua panitia yang berada di dekat Dewi.

Dipa berambut lurus gondrong, tetapi saat manggung ia selalu pakai wig keriting, bahkan untuk tampil total ala rocker era 80-an, ia selalu meminjam daster heboh emaknya, menambahnya dengan jala yang dijadikan rompi jaring-jaring, rantai-rantai dari kaleng biskuit Regal yang dijadikan kalung dan gelang, karet kolor yang dijadikan ikat kepala hingga kaos kaki panjang punya adiknya yang dijadikan stocking.

"Ini kan event jazz Dip. Kamu mah gelo pisan, masa musik metal ikutan ngisi?" jawab Rani.

"Tapi lagu urang iyeu teh tentang musik jazz, aya unsur edukasi untuk mempromosikan musik jazz. Wi, kumaha atuh?" tanya Dipa minta dukungan Dewi.

"Kenapa enggak dibolehin aja sih, Ran?" bujuk Dewi.

"Ih, Dewi kamu mah jangan dengerin si Gelo! Nih, biar kamu tahu, gimana lagu kamu, Dip?" tanya Rani pada Dipa.

Dipa mengambil ancang-ancang. Ia pun mengeluarkan jeritan melengking. "Daripada musik metal lebih baik musik jazz!...."

Dewi pun tertawa.

"Tuh … Bodor! Gelo Dipa mah," ujar Rani sebal.

"Keren kok! Enggak apa-apa dong Ran, ini kan acara kampus, masa anak kampus enggak boleh ngisi? Lagian biar acaranya enggak monoton," bela Dewi.

"Kamu mau tanggung jawab, kalo panitia lain pada komplen?" tanya Rani.

"Iya, aku yang minta, pasti seru lah," ujar Dewi bersemangat.

Dipa tampak senang. ia pun melakukan selebrasi dan kembali melengkingkan jeritan khas rocker.

"Hatur nuhun, Geulis! Ini mah kalo bukan karena cinta, enggak mungkin diperjuangkan sama kesayangan aku, hehehe. Aku panggil anak-anak ke sini ya, bye Rani, bye Cinta ... Mmmuaaahhh," canda Dipa sambil berjalan dengan gaya penari balet.

Dewi tertawa melihat ulah Dipa, begitu pula Rani walau masih cemberut. Setelah Dipa menjauh, Dewi kembali memperhatikan orang lalu-lalang.

"Cari siapa sih, Wi?" tanya Rani.

"Kamu kenal Angga? Anak arsitek," tanya Dewi.

"Angga temennya Andi?" tanya Rani.

"Iya, lihat enggak?" tanya Dewi.

"Manusia kuper gitu, mana doyan acara gini," jawab Rani sambil mencibir.

Rupanya Lisa yang sedang menghampiri, mendengar percakapan ini.

"Siapa bilang? Lihat tuh yang baru datang!" tunjuk Lisa yang telah melihat sosok Uge.

"Angga datang? Aku kesana dulu, ya!" Dewi senang sekali melihat Uge, ia segera pamit meninggalkan teman-temannya.

"Sssst, udah denger gosip terhangat belum?" tanya Rani.

"Oh, jadi bener mereka jadian? Cocok ya," sahut Lisa.

"Ih, sayang banget tauk! Sekelas Dewi, masa dapatnya Angga?" ujar Rani tidak terima.

"Lho emang kenapa? Angga ganteng kok," bela Lisa.

"Yee! Yang lebih ganteng dan selevel sama Dewi, banyak yang antri," sahut Rani.

"Haha, ampun Ran, lu udah kayak emaknya aja, terserah Dewi lah! Lo sendiri kalo dideketin Angga, yakin nolak?" Pancing Lisa.

"Hmmm .... Ah, kalo gue se-Dewi, pasti gue tolak," sahut Rani.

"Dasar lo, berarti mau, hahaha!" ledek Lisa.

*****

Uge duduk lesehan sendirian. Tiba-tiba Dewi duduk di sebelahnya. Dewi senang melihat Uge, sebaliknya Uge malah seperti melihat hantu.

"Ternyata kamu mau ke sini," sapa Dewi.

"Eh Dewi, kamu juga lagi di sini?" Uge terlihat canggung.

"Aku memang panitia. Kamu gitu deh, janji mau telepon, ditungguin enggak ada kabar."

Dewi tetap protes walau hatinya senang bisa bertemu Uge di sini, sebaliknya, suasana hati Uge langsung drop.

Ia memang berencana menemui Dewi untuk meminta maaf, tetapi tidak sekarang. Malam ini adalah kesempatan langka untuk bertemu Widi yang nyata. Lucunya, saat menatap wajah Dewi, hati Uge kembali berdesir. Dewi terlalu cantik untuk dilepaskan. Uge sadar betapa bodoh dirinya, ketika semua laki-laki pemujanya berharap berada di posisinya, ia malah akan mencampakkan Dewi, demi janjinya pada Widi yang jelas sangat tidak jelas.

"Dewi, aku minta maaf, enggak bisa nepatin janji," ujar Uge bersungguh-sungguh.

"Udah, enggak apa-apa kok, pasti kamu enggak nelpon karena sibuk. Sekarang aku temani kamu di sini," sahut Dewi.

Uge menatap mata bening itu lekat-lekat. Ia sebenarnya tidak tega menyatakan ini, "maaf Dewi, aku udah ada janji dengan orang lain di sini."

Dewi mulai heran. "Oh? Kalo gitu aku nemeninnya sampe orang itu datang aja, boleh kan?"

"Aku bener-bener minta maaf," sahut Uge pelan.

"Kamu kenapa sih? Kok jadi aneh gini?"

"Sebenarnya, aku udah punya ..."

"Sebenarnya kamu memang udah punya pacar? Sekarang kamu lagi nunggu dia?"

Uge diam, ia merasa serba salah.

Dewi menatap Uge dengan perasaan kecewa. Aku bodoh banget, jatuh cinta sama orang yang baru ku kenal.

Dewi berusaha menguasai diri agar tidak mengatakan hal yang semakin membuatnya terlihat bodoh. Ia memandangi Uge dengan senyum yang dipaksakan untuk menutupi kekecewaannya.

Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan. Rupanya Pak Dheng telah berdiri di atas panggung sambil memegang saxophone, ia memperhatikan Uge dan Dewi.

Dewi meninggalkan Uge sambil menggeleng-gelengkan kepala tanpa mengucapkan sepatah kata. Dewi menuju tempat panitia yang berada di dekat panggung, ia mencari posisi yang bisa duduk menyendiri, wajahnya terlihat sedih walau ia sudah berusaha menyembunyikan.

Uge mematung dengan wajah yang terlihat sangat merasa bersalah. Ternyata Widi betul, aku emang enggak pernah muncul dalam sejarah hidup dia. Sebaiknya malam ini aku nyelesain masalahku dengan Dewi dulu.

Pak Dheng mendekati mikrofon. "Angga, mohon naik ke panggung!

Uge terkejut mendengar namanya dipanggil Pak Dheng. Semua orang yang berada di sekitar panggung memandangi Uge.

Pak Dheng mau ngapain sih? Gawat, malah bisa ketemu Widi di depan Dewi, nih, kata Uge di dalam hati.

"Angga ini diem-diem gitaris jazz handal! Ayo naik ke panggung!" panggil Pak Dheng.

Para penonton bertepuk tangan untuk Uge. Dengan wajah terpaksa dan langkah berat, Uge menuruti kemauan Pak Dheng menaiki panggung. Dosen ini memang orang yang sulit ia tolak. Pak Dheng mengambilkan gitar untuk Uge, mau tidak mau Uge menyandangi selempang tali gitar itu ke bahunya.

"Kita nge-jam lagu apa, Angga?" tanya Pak Dheng di depan mikrofon.

Uge hanya tersenyum kecut. Bagaimana mungkin ia bermain gitar dengan suasana hati yang risau. Uge pasrah menanti Widi naik ke panggung, sebenarnya ia malah sudah tidak ingin berjumpa dengan Widi di malam ini. Uge terus memandangi Dewi yang duduk menyendiri.

Pak Dheng mendekat dan berbisik pada Uge, "Saya sudah sering berkelana, bahkan lebih jauh dari apa yang sedang kamu alami. Ada yang pernah berkata, bijaksanalah saat kamu mengetahui hal yang tidak orang lain ketahui. Oleh karena itu saya tentu harus lebih bijaksana untuk tidak mencampuri urusan yang memang tidak akan merubah apapun jika saya terlibat langsung, tetapi saya masih boleh untuk memberi petunjuk. Itulah sebabnya saya meminta kamu naik ke panggung. Keajaiban yang pernah kamu temui itu baru permulaan. Jika ingin menghadirkan keajaiban lain, maka kamu sendiri yang harus melakukannya."

Uge tercengang. Oh! Ternyata Pak Dheng ...

Uge jadi teringat kalimat Widi saat chatting. Maaf, tebakan kamu meleset! Justru aku satu-satunya orang yang lagi bad mood di deket panggung.

"Lagu apa, Angga?" tanya Pak Dheng di depan mikrofon.

Uge menyadari sesuatu, ia menghampiri mikrofon yang berada di dekatnya. "Kami akan bawakan lagu I'm in the mood for love. Saya minta Dewi bersedia naik ke panggung untuk menyanyikan lagu ini."

Dewi terkejut mendengar namanya dipanggil. Penonton pun bertepuk tangan. Para panitia memaksa Dewi naik ke panggung. Dengan malas, Dewi terpaksa naik ke panggung.

"Sebentar penonton! Saya heran. Kalo kita semua memang sudah tau, Dewi itu pianis jazz yang suaranya merdu. Tapi Angga kan enggak pernah muncul di acara kampus. Kok tahu?" tanya Pak Dheng.

Uge mengambil mikrofon dan mendekati Dewi. "Saya masih enggak tahu. Semoga aja karena Dewi adalah perempuan yang dikirim Tuhan untuk menjadi pasangan hidup saya. Insya Allah, doain ya."

Penonton bertepuk tangan lebih meriah. Wajah Dewi terlihat berubah senang. Beberapa saat kemudian musik dimulai.

I'm in the mood for love.

Simply because you're near me

Funny, but when you're near me.

I'm in the mood for love.

*****