webnovel

Pedoman Manusia Dalam Mengatur Hidupnya

 

Untuk maksud ini maka Al-Imam Ibnu Athaillah telah merumuskan 

dalam Kalarn Hikmahnya ke-4 sebagai berikut:

"Tenangkan jiwamu dari Tadbir, karena apa yang telah berdiri dengannya (telah mengatur padanya) oleh selainmu tentang hal keadaanmu, maka janganlah engkau campur tangan pada sesuatu itu untuk (kepentingan) dirimu."

Penjelasan Kalam Hikmah di atas sebagai berikut:

I. Kita menjumpai dalam Kalam Hikmah tadi ada perkataan "Tadbir". Definisinya ialah:

"Bahwa menentukan seseorang pada dirinya hal-hal di mana ia atas hal-hal tersebut berdasarkan atas kehendak syahwatnya sematamata. Untuk itu maka diaturnya segala sesuatu menurut syahwatnya, berupa teori dan praktek. Dan ia sendiri memberikan perhatiannya dan mementingkannya (dalam segala gerak-geriknya dan tindaktanduknya). 

Dari definisi di atas dapat kita ambil pengertian bahwa Tadbir adalah khusus dalam persoalan-persoalan yang bersifat duniawi semata-mata. Kita telah mengetahui dan meyakini bahwa segala-galanya adalah menurut qadha'-qadar Allah s.w.t. Di samping itu sesuai dengan kehendak syahwat kita dan keinginan kita untuk mengatur dan menentukan, bahkan juga memastikan segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan kita ini. Bermacam-macam yang kita putuskan tetapi di sampingnya kita tidak tawakkal dan tidak menyerahkan diri kita kepada Allah s.w.t. Tadbir selalu tidak sunyi dari kita, oleh karena kita melihat kepada zaman-zaman kita selanjutnya di mana banyak yang kita takuti di samping banyak yang kita harapkan di alam dunia ini.

Apabila tadbir-tadbir kita selalu disertakan sesudahnya atau sebelumnya dengan menyerahkan segala sesuatu itu kepada Allah s.w.t., maka hal keadaan ini tidak disebut dengan Tadbir menurut pentahkikkan para ulama Tasawuf meskipun ia masih disebut Tadbir juga menurut lahiriah.

Walhasil, tadbir ialah merencanakan sesuatu yang bersifat memutuskan tanpa tawakkal dan menyerah diri kepada Allah s.w.t. Ini tidak baik, tetapi apabila Tadbir itu disertai dengan tawakkal dan tafwidh (penyerahan) kepada Allah, maka tidak apa-apa, bahkan dianjurkan oleh Islam.Bersabda Nabi Muhammad s.a.w.:

"Tadbir, ialah setengah dari penghidupan." 

Sebagian ulama berkata: Meninggalkan Tadbir yang begini sifatnya berarti meninggalkan penghidupan seluruhnya, sebab orang yang tidak bertadbir, maka ia akan digilas oleh Tadbir orang lain menurut lahiriah amaliah.

Kenapa kita harus menyerah diri kepada Allah di samping Tadbir? Sebab apabila kita telah beriman kepada qadha' dan qadar Allah s.w.t., maka pada hakikatnya Allah telah mengatur segala-galanya. Tetapi apabila kita berfikir sempit dan melihat sepintas lalu saja, maka keadaan ini dapat menjatuhkan diri kita dari mengatur hidup ini secara baik sesuai dengan keridhaan Allah s.w.t.

Apabila kita menunggu saja atau berpangku tangan tanpa mengatur hidup ini, maka pada ketika itulah, di samping kita malas berusaha dan bekerja, di mana kemalasan itu dapat mengakibatkan tidak heres atau tidak sukses kita dalam hidup dan kehidupan, maka tanpa disangka-sangka datanglah syaitan dan iblis membawa waswas dan keraguan-keraguan di dalam hati kita. la menghembuskan macam-macam persoalan dalam hidup yang kita hadapi ini. Maka akhirnya fikiran kita menerawang dan memikirkan segala sesuatu yang bukanbukan, hingga kita capek karenanya.

Oleh sebab itu demi jangan sampai timbul demikian, kita harus banyak berzikir kepada Allah dalam arti yang luas. Yakni apakah membaca Al-Quran dengan khusyuk dan tadabbur (meresepkan makna ayat-ayat Al-Quran), taubat dan istighfar di waktu malam, muraqabah kepada Allah s.w.t., di mana kita melihat Allah yang tidak ada umpama dengan sesuatu, atau Allah melihat kita dalam segala gerak-gerik kita.

Apabila hal keadaan ini telah kita laksanakan dengan istiqamah, Insya Allah segala was-was syaitan dalam hati kita akan dikeluarkan oleh Allah s.w.t. Otak dan hati kita terang, tidak kusut dan letih memikirkan segala sesuatu yang kita hadapi dalam hidup dan kehidupan. Sebab rencana-rencana kita di mana kita tidak lupa kepada Allah s.w.t. lnsya Allah akan diperkenankan 

olehNya.

II. Untuk memperkuat keterangan tadi, maka berkata seorang ahli Tasawuf juga Mufassir dan ahli hukum, bernama Sahl bin Abdullah (Abu Muhammad Sahl bin Abdullah Tastury. Beliau hafal Al-Quran dalam usia 7 tahun dan beliau meninggal dunia pada tahun 283 H.) sebagai berikut:

"Hak Allah untuk hamba-hambaNya ada 3 persoalan: 

[a] Menentukan hukum-hukumnya untuk dilaksanakan oleh hamba-hambaNya.

[b] Menentukan tentang ajal (waktu mati) dari hamba-hambaNya dan

[c] Menentukan segala sesuatu yang dihadapi oleh hambahambaNya di dunia dan di akhirat."

Dan hak hamba yang wajib dilaksanakannya untuk Allah ada 3 pula.

[a] Mengikuti NabiNya.

[b] Tawakkal dan menyerah diri kepadaNya dan

[c] Sabar atas ketentuan-ketentuan Allah hingga kita meninggalkan dunia yang fana ini.

Adapun pengertian "Hak Allah untuk hamba-hambaNya", ialah tidak ada jalan bagi hamba-hambaNya untuk campur tangan pada segala sesuatu di mana hal keadaan ini Tuhan menentukan dengan kehendakNya dan kekuasaanNya.

Adapun pengertian "Hak hamba untuk Allah" ialah bahwa hamba-hambaNya diperintah oleh Allah untuk menjalankan hal-hal di atas. Karena itu barangsiapa yang tidak patuh kepada ajaran-ajaran agamaNya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi-nabi dan ulama-ulamaNya, maka disebut dengan "Mubtadie", yakni orang yang mengada-adakan sesuatu di luar ajaran Islam.

Barangsiapa yang tidak bertawakkal kepadaNya berarti ia bermaksud mengatur hal keadaannya dengan tidak memerlukan bantuan Allah s.w.t.

Kesimpulan:

Barangsiapa yang melaksanakan hak-hak kewajibannya seperti tersebut tadi, maka orang-orang itu sejahteralah matahatinya, dan bersinarlah jiwanya, aka] dan kalbunya dengan rahmat Allah s.w.t. Inilah tujuan dan keterangan dari Kalam Hikmah di atas yang telah dirumuskan oleh beliau Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary Rahimahullah Ta'ala, Wanafa'anaa Bi'uluumihi Amin!