webnovel

Alhamdulillah

Raya

Aku berlari jauh saat Tuan Axel memanggilku. Kita sudah tidak akrab seperti dulu lagi. Kita telah menjadi kedua manusia yang sudah tidak saling mengenal. Aku sudah nggak mau mengenalnya lagi.

Hingga dirasa sudah jauh aku pun kini berjalan pelan. Napasku masih sangat tersengal. Capek dan haus yang aku rasa. Menemukan warung segera membuka lemari pendingin dan mencari minuman penambah energi. Setelah membayar aku kembali melangkahkan kaki lagi.

Menuju rumah kosan yang agak sulit juga aku ingat jalannya. Tukang ojeklah yang jadi andalanku saat ini. Aku sebut nama alamat kosanku. Tak lama terlihatlah rumah kosan.

Seperti dikejar-kejar apa gitu? Lelah dan dahaga juga aku rasa. Entah dijam berapa terlelap hingga kumandang adzan membangunkan.

Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini. Naya yang baru pulang dari kuliah pun tersenyum manis dengan dua bungkus nasi Padang yang sepuluh ribuan seporsi selalu jadi andalan makanan kami.

"Ra, temanku ada yang butuh asisten. Kamu bisa?" tanya Naya setelah kami makan.

"Asisten apa?"

"Model. Dia model gitu. Aku nggak akrab sih. Hanya saja tadi saat aku nanya ada yang tahu tentang lowongan nggak? Eh, itu si Anyelir langsung ngomong jika dia lagi butuh asisten."

"Nggak paham kalau soal begitu,"

"Ya dicoba aja Ra!" kata Naya dengan semangat.

"Nggak ah kalau untuk jadi itu. Aku mau yang biasa saja."

Naya manggut-manggut dan aku tertawa karena melihat ekspresi Naya seperti bibirnya wayang golek yang jadi sicepot.

Aku kembali menyusuri jalanan. Berharap ada yang butuh tenaga ku ini. Alhamdulillah yang tak terkira. Sebuah toko sepatu di pasar ada yang menerimaku. Aku tentu tak akan menolak ini. Bahkan aku mulai besok sudah bisa kerja.

Langkahku lunglai terasa sakit dikening ini. Rasa lelah yang menyarang membuatku menepi sebentar dikursi yang terdapat di depan sebuah gedung beras.

Ada beberapa lelaki yang lewat entah kenapa setiap dekat lelaki aku ketakutan. Seakan semua lelaki itu sama seprti Tuan Axel pada malam naas itu. Meski hati ini sudah meyakinkan bahwa aku nggak kena kok. Toh aku keburu pingsan sebelum tuan Axel … rasanya masih ngeri untuk mengingat hal itu.

"Raya?"

Aku membalikkan badan saat mendengar ada yang memanggilku. Tuan Jack. Aku segera bangun dan berlari tak peduli Tuan Jack yang terus memanggilku. Ngapain itu lelaki kelaur dari gedung beras itu?

"Andai kuliah kamu jauh. Aku nggak mau tinggal didaerah sini!" jujurku ke Naya saat kami membersihkan tempat. Mulai besok setiap pagi kami akan berjual gorengan gitu di depan rumah. Karena aku masuk kerja jam delapan sama Naya juga kuliah jam delapan.

Naya yang mempromosikan ini hingga dihari pertama buka alhmadulillah laris, kami dapat seratus ribu. Berarti seratus pices gorengan terjual. Jam setengah delapan kami bersiap berangkat. Lima belasan menit lagi toko buka. Aku membersihkan debu dan juga lantai.

Ternyata tidak mudah untuk merayu agar orang mau beli ditoko kita. Tak hentinya mulut ini terus berujar merayu setiap ada yang lewat. Lagi, jika dekat lelaki aku ketakutan.

Yang punya toko seorang perempuan karir. Setiap pagi hanya sekedar membuka rolling saja katanya. Nanti kembali lagi kalau sore saat tutup.

"Nama kamu Raya?" tanya seorang lelaki yang masuk ketoko.

"Iya," jawabku seraya menunduk. Karena tempat yang begitu sempit kami jadi berdekatan. Itu membuat rasa takut ku semakin bersarang.

"Silahkan kalau mau makan dan shalat. Aku hanya menggantikan saat istirahat saja. Perkenalkan aku Ragil, keponakan Tante Joana bos kamu!"

Aku hanya mengangguk seraya menunduk. Aku takut sangat takut. Walaupun ini ditempat umum juga kau tetap takut. Lelaki itu mengulurkan tangan aku hanya bisa menangkupkan tangan di depan dada.

"Oh, maaf. Aku kira kamu wanita biasa karena kan nggak berhijab jadi aku ngulurin tangan. Maaf ya!"

Aku tak menjawab ucapannya. Memilih mengambil mukena dan uang makan yang dikasih Bu Joana pagi tadi. Toko lumayan rame dan kenapa itu lelaki bernama Ragil masih ada disini? Padahal udah mau jam dua. Emang enak sih jadi ada yang bantuin. Tapi aku takut.

"Kamu pendiemnya kelewat Raya. Jujur aku gak suka. Kamu gak seharusnya seperti ini! Ini kita kamu harus jadi orang yang humble. Apalagi ngejaga toko begini. Aku acungi jempol kamu dalam memanggil yang lewat bisa menarik orang untuk ke toko ini. Hanya saja mereka nggak diajak ngobrol. Biar luwes kayak aku."

"Maaf Pak!"

"Emang aku udah Bapak-bapak?" elaknya dengan tak suka. Untung ada pembeli jadi aku bisa lari dari kekesalannya. Aku memundurkan langkah saat seorang lelaki yang berperawakan seperti Tuan Axel meminta dicarikan sepatu sepak bola.

Ragil yang maju dengan ramahnya dia melayani. Aku akui dia emang sangat kompeten di bidang ini.

"Kamu kok kayak ketakutan setiap lelaki yang beli. Apa dari pagi yang beli hanya perempuan?"

"Iya." Jawabku singkat, jelas dan padat.

"Aku mau pergi lagi. Aku yang punya toko elektronik samping apotek jiwa sehat itu. Kamu bisa kan aku tinggal?"

"Bisa."

"Kamu pelit bangat ngomong. Tapi ya udah. Nanti juga kamu terbiasa. Cuma yang aku herankan kamu kayak ketakutan sama lelaki ternyata bukan karena kamu pendiam tingkat apartmen."

Aku hanya menunduk sbil meroihkan sendal dan sepatu yang berantakan karena tadi dipilih-pilih. Ragil mendecak kesal dan berlalu pergi. Ada rasa khawatir dia akan.mengadu ke Bu Joana.

"Aku antar pulang!" suara Ragil terdengar dan aku pun membalikkan badan.

"Gak usah Pak,"

"Bapak lagi Bapak lagi. Kapan aku nikah sama Ibumu."

Aku terkekeh dengan guyonannya barusan. Meski, terdengar basi tapi aku merasa geli mendengarnya.

"Tante Ana yang minta. Aku memanggilnya Tante Anna. Yuk!"

Aku tersenyum sebentar dan kembali membalikkan badan terus berjalan kaki. Ragil mengikuti dari belakang.

"Panggil aku Mas."

Aku tak peduli itu. Terus berjalan. Ragil terus meminta agar aku mau namun, aku selalu menggeleng. Hingga saat ada angkot berhenti aku pun naik.

Melihat dari kaca diangkot Ragil sangat kecewa. Maaf aku masih merasa semua lelaki itu sama. Kecuali Bapakku. Aku butuh waktu dan menguatkan keyakinan ini bahwa aku masih virgin. Makanya kau menolak manakala ditawari untuk operasi keperawanan. Namun, untuk jaga-jaga aku udah membuat surat itu ke Bu Amel.

"Bagaimana kerjanya?" tanya Naya setelah aku berganti pakaian.

"Alhamdulillah menyenangkan. Bosku juga sangat baik."

"Alhamdulillah."

Naya memelukku setelah berucap syukur. Kami saling mengeratkan pelukan. Naya seperti cahaya dan gelapnya langkah ini. Naya seakan petunjuk saat aku tersesat untuk menyelesaikan tugas saat penjelajahan Pramuka.

"Ra. Besok pulang kuliah aku mau pergi, mungkin pulang agak malam."

"Kemana gitu?" tanyaku penasaran.

"Diajak teman Ra. Dia mau ajak aku ke rumah temannya juga,"

"Aku gak izinin Nay,"

"Loh kenapa? Kamu nggak berhak melarang aku Ra!"