webnovel

Lelah

Ken masuk ke dalam apartemen Laura, melihat gadis itu duduk di atas sofa sambil memeluk kakinya yang ditekuk, ia memasang muka kusut, mata bengkak dan rambut terurai tak disisir, Ia tampak sangat berantakan. Ia menghembuskan napas lega, Bersyukur Ken muncul. Ia bangkit dari sofa, berlari kecil menuju ke arah Ken dan memeluknya erat. Ken sudah tebak ini akan terjadi. Tidak ada balasan dari Ken. Tangan Ken menggantung di udara. Ia malah merasa kesal sendiri dengan sifat Laura sekarang. Persis seperti anak kecil.

"Kenapa kau seperti ini, aku melakukan ini demi mu, jangan membuatku jadi membenci mu."

"Maafkan aku, aku mencintai mu, jangan tinggalkan aku." balas Laura lirih, kembali menangis. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan sejak tadi.

"Berhenti lah bertingkah seperti anak kecil. Aku lelah. Kau tambah membuatku lelah." katanya kesal. Laura menyeka air matanya kasar. Sedangkan tangan kirinya masih melingkar di pinggang Ken dan meremas kemeja putih milik Ken kuat.

"Aku tak sudi kau dengannya Ken." ulangnya lirih. Ken memijit kepalanya yang terasa berat. Ia sangat membenci Laura seperti ini.

"Sudah ku bilang tidak ada yang akan terjadi dengan ku. Ini hanya pernikahan kontrak. Sekarang aku mau menginap di rumah Galvin. Tidurlah, aku lelah. Sangat lelah. Kau tahu aku tak bisa tidur nyenyak selama di sini. Sifat mu juga membuat ku sangat lelah. Tolong pengertiannya, sekali saja, aku mohon, aku berpikir untuk mati saja jika kau terus seperti ini." jelasnya serius sambil mengacak rambutnya lagi.

"Maafkan aku." balas Laura lirih.

"Hidupku sudah berat dan sifat mu juga memberatkan ku. Aku sungguh lelah sekali. Semua orang menuntut ku. Dan tak ada satu pun yang mengerti, termasuk dirimu." katanya serius, membuat Laura kini melepas pelukan itu. Menatap Ken kini tampak sangat frustasi di depannya.

"Aku tak meninggalkan mu bodoh, aku melakukan ini demi mu, bisa saja aku menikah dengan mu tapi aku tak memiliki apa-apa, aku akan jadi gembel, kau tahu Ijazah ku ditahan Ibuku, jadi kumohon jangan mencoba mengancam ku dengan hal-hal bodoh dipikiran mu. Kalau tidak, aku bisa saja meninggalkan mu, aku membenci gadis cenggeng dan keras kepala seperti mu." ancam Ken, melepaskan tangan Laura yang melingkar di pinggangnya dengan kasar, melihat Laura kini masih menangis sambil menundukkan kepalanya, ia kesal jika Ken membentaknya seperti ini. Tetapi ia juga merasa bersalah. Ia hanya tidak ingin Ken berpindah pada gadis itu.

"Sudah jangan menangis lagi, aku capek dari kemaren, kau tak memikirkan ku sama sekali, kau hanya memikirkan egomu saja. Istirahatlah." Ken menarik Laura ke dalam kamarnya.

"Tidurlah, bukankah kau besok kuliah, aku juga mau tidur, aku akan ke tempat Galvin. Jangan pikirkan apa yang tak akan terjadi." jelas Ken serius, Laura menurut, ia kini berbaring di atas kasurnya, sedangkan Ken meraih selimut dan menyelimutinya.

"Aku pergi." kata Ken pamit, hendak keluar dari kamar itu kembali, baru berjalan beberapa langkah dari sana, Laura bangkit kembali dan mengejarnya, tangan Laura melingkar di perutnya membuat Ken kaget, ia melepaskan tangan Laura cepat.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Ken marah, ia membalikkan tubuhnya, melotot ke arah Laura yang kini menunduk dengan air mata kembali meleleh di pipinya.

"Lakukan dulu padaku, sebelum kau melakukannya pada Istrimu." ucap Laura serius membuat Ken kaget.

"Apa?"

"Kau bodoh?" Ken sungguh tak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu padanya.

"Aku tak akan melakukannya padamu, maupun dia. Jangan berpikiran aneh, kau bukan Istriku, kenapa kau menyuruhku berbuat dosa." Emosi Ken memuncak membuat Laura tampak gugup dengan reaksi Ken kali ini padanya. Ken sungguh marah.

Ken menyadari kesalahan ucapannya, ia benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya kali ini. Laura makin terisak dibuatnya. Ken mencoba menenangkan dirinya. Menarik napas berat dan menghembuskan perlahan.

"Maafkan aku. Tidurlah, aku akan tidur di rumah Galvin, jangan berpikiran aneh. Aku sangat lelah." Ken menurunkan nada bicaranya, ia berusaha tenang, menahan emosinya.

"Maafkan aku." ulang Ken lagi. Laura mengangguk sedikit. Menyeka air matanya lagi. Ia merasa hancur.

"Pergilah." Laura kembali ke tempat tidurnya. Ken merasa tidak enak hati sudah berkata seperti itu pada Laura. Tapi memang sudah seharusnya.

"Aku pergi." Kata Ken mematikan lampu, menutup kamar Laura dan pergi mengambil langkah cepat keluar dari apartemen itu. Sekarang wajah Keyna malah terlihat jelas di kepalanya. Ia takut sesuatu buruk terjadi pada gadis itu. Ia yakin Keyna tak baik-baik saja.

"Sialan, kenapa hidupku jadi seperti ini." Ken kembali menggerutu, ia turun dan menuju parkiran mobilnya. Mengeluarkan mobil itu dari sana. Baru jalan beberapa meter sebuah mobil malah menghalangi jalan mobilnya. Ken mencoba menunggunya beberapa menit, tapi mobil itu belum juga pergi membuat Ken tidak sabar. Ken keluar kembali dari mobilnya, berjalan menuju mobil itu dan mengetuk kacanya.

Kaca mobil itu terbuka, seorang lelaki sedang sibuk dengan ponselnya, ia tampak sedang menelpon seseorang.

"Maaf, boleh minggir dulu, kau menghalangi mobilku, Istriku sedang sakit di rumah, aku khawatir padanya." ucap Ken pada pemilik mobil yang sontak saja mengangguk. Ken mendadak diam saat menyadari ucapannya baru saja. Istrinya? Dan ia khawatir?. Ken menggeleng, ia tidak ingin memikirkan hal lain lagi.

"Oh, baiklah, aku minta maaf." ucapnya minta maaf dan mulai menyetir, keluar dari sana, menghindari mobil Ken. Ken kembali masuk ke dalam mobilnya dan memacunya cepat sambil melirik jam tangannya, menunjukan pukul dua belas malam.

Tak cukup lama Ken kembali sampai ke rumah itu. Turun dari mobilnya, lalu berlari naik ke kamar Keyna. Melihat gadis itu kini terlihat pucat dan tertidur.

"Key. Hey!" panggil Ken serius, tapi tak ada jawaban. Ken mendekat. Ia meletakkan punggung tangannya pada kening Keyna. Terasa berbeda dengan suhu tubuhnya.

"Key."

"Astaga, kau benar-benar demam," jelas Ken kesal. Ia sekarang menggaruk kepalanya. Binggung harus bagaimana. Toh, ia tidak pernah mengurus orang sakit sebelumnya.

"Yah, di mana obat di rumah mu?" Ken kebinggungan. Ia tidak tahu apa-apa di rumah ini, terlebih lagi ini pertama kali ia berada di rumah ini. Ken panik, ia masuk ke kamar mandi, membuka lemari di sana, tempat Keyna menyimpan peralatan mandinya, Ken menemukan sebuah handuk kecil berwarna putih, membasahinya dengan air, lalu membawanya pada Keyna yang kini tampak semakin pucat. Meletakkan handuk itu di atas kening Keyna. Ia berharap bisa membantu gadis ini sedikit.

"Ah sialan." Ken melihat Keyna semakin terlihat pucat.

Dan suhu tubuhnya semakin naik. Ken meraba saku celananya, hendak mengabari Galvin, tapi ponsel itu malah ketinggalan di mobilnya. Ia rasa ia tak mau meninggalkan Keyna lagi. Terlebih lagi ia melihat Keyna sangat parah. Setelah menempelkan handuk basah di keningnya Keyna. Ia mengobrak abrik isi lemari di dapur Keyna dan menemukan sebuah kotak obat. Ken tentu saja tersenyum dan mengambil sebuah parasetamol, mengambil air, lalu membawanya pada Keyna. Tapi ia malah tidak tega untuk membangunkan gadis itu. Alhasil Ken hanya bisa diam. Ia berharap Keyna segera pulih dengan alat kompres seadanya itu. Itu saja.

Setelah beberapa kali membasahi handuk itu, menggantinya jika sudah seharusnya. Keyna sudah tampak tenang. Ken kini mengambil kursi dan membawanya k esamping tempat tidur Keyna dan duduk di sana, melihat gadis itu sudah tampak terlihat sedikit membaik. Panas tubuhnya menurun, membuat Ken merasa sedikit tenang. Ia kini mengacak rambutnya, membuka kemeja yang masih ia pakai dan menyisakan t-shirt putih miliknya yang ia gunakan sebagai dalaman. Menyadarkan kepalanya di sandaran kursi. Ia merasa sangat lelah. Sungguh. Ken tidak tahu apalagi yang akan terjadi setelah ini dengannya. Semua memang sangat sulit ia tebak.

Ken mencoba memejamkan matanya. Baru sebentar ia malah terganggu dengan gadis di depannya itu. Ia melihat Keyna kini tampak aneh. Ken melihatnya khawatir.

Keringat gadis itu bercucuran di dahinya, menandakan bahwa tubuhnya sudah sedikit membaik. Ken mencoba menyentuh dahi Keyna, masih terasa panas tapi tidak separah tadi. Gadis itu malah gelisah. Keyna tampak tidak nyaman. Keyna kembali mengingat kejadian itu. Kejadian yang membuat ia tidak tenang.

"Tidak... Tidak." Keyna menggelengkan kepalanya. Membuat Ken menatapnya serius. Mencoba mencerna apa yang terjadi pada gadis itu. Gadis itu mengigau.

"Key!" Ken mencoba membangunkannya, tapi sama sekali tak berguna. Membuat Ken semakin panik, gadis itu malah semakin terlihat aneh.

"Tidak... Jangan." ucapnya lagi.

"Key. Kau kenapa?"

"Key... Bangun." Ken mengguncang tubuh gadis itu dan tak tak ada jawaban.

"Tidak," Keyna menggeleng lagi beberapa kali.

"Ibu... Aku takut." lirihnya lagi. Ken menatapnya seksama. Ia semakin khawatir.

"Key. Sadarlah."

"Key, hey?" Ken mengguncang lebih kuat lagi. Ia membawa gadis itu ke dalam pangkuannya. Melihat wajah Keyna semakin pucat, air mata mengalir di sudut matanya yang masih terpejam.

"Key... Keyna." panggil Ken lagi dan Keyna masih sama ia kini malah semakin aneh. Ia kini menggeleng lebih cepat. Dengan kaki bergerak naik turun.

Tidak..."

"Ibu... Ibu, aku takut. Tidak jangan mendekat." Keyna semakin ketakutan. Ken menatapnya semakin bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang.