webnovel

3E

Sesuai dengan judulnya, cerita ini menceritakan mengenai tiga bersaudara yang memiliki sejenis kekuatan aneh nan misterius. Meski adalah tiga saudara, pada awal cerita ketiganya diceritakan di tiga tempat dan tiga negara yang berbeda. Di sisi lain, terkisahlah seorang Dewa Perak - dewa yang turun ke dunia manusia guna mengumpulkan kembali tiga bintang kemujuran dan mengembalikan sosok dewi yang dicintainya ke wujud semula.

ATua · Celebrities
Not enough ratings
26 Chs

Imlek Hari Pertama

BAB 25

Medan, 5 Februari 2019

Sungguh suatu pagi yang cerah… Meski ada sedikit hujan rintik-rintik, matahari tampak bersinar dengan terik di angkasa raya. Auditorium lantai satu Solidaritas Abadi dipenuhi dengan tamu-tamu dari berbagai kalangan yang bersilaturahmi Imlek kepada keluarga Makmur. Maklum, dengan bisnis sawit mereka yang sudah menjangkau hingga ke pasar internasional, tidaklah heran di pagi pertama Imlek ini, ada banyak sekali relasi bisnis, kenalan jauh dan kerabat dekat yang datang bersilaturahmi. Karena rumah mereka tidak menampung jumlah tamu yang sebegitu banyak, terpaksa Pak Faiz dan Nyonya Florencia mengumpulkan semua tamu mereka di Solidaritas Abadi saja.

Tampak para tamu sedang konsentrasi menonton atraksi naga yang dibawakan langsung oleh 3E, tiga kekasih pujaan hati mereka, dan 5T. Naga sedang meliuk-liuk di atas panggung dalam gerakan sien feng, teddy bear kepala buntut, dan gerakan kuo ciang long. Dari gerakan yang super cepat, akhirnya naga mulai melambat, masuk ke gerakan kipas dan gerakan roda.

"Wah… Si kembar tiga Makmur ini hebat-hebat ya… Mereka bukan hanya pintar dalam bisnis dan management, membantu ayah mereka mengelola perusahaan, tetapi juga sangat berbakat dalam bidang atraksi naga barongsai, suatu kebudayaan China yang sudah jarang diminati oleh anak-anak muda zaman sekarang," terdengar komentar beberapa tamu yang hadir.

"Bukan hanya itu deh… Kudengar waktu kuliah dulu, si kembar tiga ini bahkan mengambil dua jurusan sekaligus, di pagi dan di malam harinya. Gila benar kan itu!" terdengar komentar yang lain.

"Di pagi harinya kembar tiga sama-sama ambil jurusan bisnis dan management. Di malam harinya, masing-masing mengambil jurusan kesukaan masing-masing. Kalau tidak salah, si baju merah itu mengambil jurusan sastra Inggris, si baju kuning itu mengambil jurusan pariwisata dan perhotelan, dan si baju hijau itu mengambil jurusan komunikasi. Aduh…! Pokoknya jurusan yang hebat-hebat deh semuanya… Beruntung sekali deh kutengok Pak Faiz dan Nyonya Florencia ini…" komentar lagi beberapa tamu yang lain.

"Si baju merah itu namanya Erick Vildy… Yang baju kuning itu namanya Erwie Vincent… Yang baju hijau, yang memainkan mutiara naga itu namanya Erdie Vio… Kau tidak hafal nama-nama si kembar tiga?"

"Tidak… Sulit sekali mengingatnya. Nama ketiganya hampir-hampir mirip semua. Tapi, keren sih ketiga nama yang dipilihkan oleh Pak Faiz dan Nyonya Florencia. Hampir-hampir mirip dan begitu didengar, orang-orang akan langsung menyimpulkan itu adalah nama-nama dari anak kembar tiga," komentar lagi beberapa tamu yang hadir di auditorium Solidaritas Abadi pagi itu.

Naga kembali bergerak dengan kecepatan penuh dalam tiga set rumus musik yang dimainkan oleh Erwie Vincent. Tampak para pemain kepala hingga ekor berguling-guling di lantai panggung dan tampak badan naga yang berputar-putar dengan kecepatan penuh dalam gerakan teddy bear. Begitu para pemain kepala hingga ekor berdiri kembali, naga kembali meliuk dengan pergerakan kuo ciang long dan tampak para pemain memainkannya dengan jurus tidur atas. Musik pengiring yang cepat juga dimainkan oleh para pemain musik yang berdiri di sudut kanan panggung.

Akhirnya, gerakan naga kembali melambat. Naga sudah perlahan-lahan memasuki pos akhir. Musik pengiring juga mulai melambat. Naga memasuki pos akhir dan berhenti. Kontan secara otomatis, musik pengiring pun berhenti. Atraksi naga selesai. Terdengar tepuk tangan riuh dari para penonton dan hadirin yang hadir di auditorium Solidaritas Abadi pagi itu.

"Terima kasih sudah menyaksikan atraksi naga dari tim Solidaritas Abadi pagi ini. Bulan Maret mendatang tim kami akan mengikuti turnamen naga se-Asia di Kuala Lumpur. Mohon doanya dari para hadirin sekalian semoga kami bisa memenangkan turnamen naga se-Asia tahun ini…" terdengar suara Erdie Vio dari atas panggung. Kembali terdengar sambutan dan tepuk tangan riuh dari para hadirin.

Acara-acara selanjutnya adalah nyanyian oleh beberapa artis yang sengaja diundang dari ibu kota oleh Pak Faiz dan Nyonya Florencia. Begitu si artis naik ke atas panggung dan terdengar musik yang mengalun, Erdie Vio pun turun dari atas panggung dan berbaur dengan kerumunan tamu-tamu lainnya.

***

Tampak Dewa Perak dan Dewi Ruby yang sudah bersiap-siap berangkat dari kamar tidur mereka. Tiga E dan tiga kekasih pujaan hati mereka yang mengantar kepergian mereka dan pulangnya mereka kembali ke alam dewa sana.

"Oke… Aku rasa hanya sampai di sini. Terima kasih, 3E… Terima kasih, Tiga Kehidupan Lampauku… Melihat kalian bertiga, aku serasa bercermin dan melihat diriku sendiri dalam tiga versi yang berbeda," kata Dewa Perak sedikit menyeringai. "Terima kasih untuk segalanya ketika aku menetap di sini dalam sosok Jovan Dellas. Terima kasih karena sudah mau membantuku mengembalikan Dewi Ruby ke wujudnya semula. Terima kasih…"

"Tidak usah sungkan…" celetuk Erick Vildy sembari tersenyum lebar.

"Melihatmu, kami juga serasa meramal nasib dan melihat masa depan kami sendiri, Dewa Perak…" kata Erwie Vincent sembari tersenyum santai.

"Kapan pun kau ingin jalan-jalan ke alam manusia ini, pintu sanggar kami selalu terbuka untukmu, Dewa Perak," kata Erdie Vio penuh keceriaan dan antusiasme. "Tapi, jangan lupa berkati kami supaya kami bisa memenangkan turnamen naga se-Asia di Kuala Lumpur Maret nanti ya," katanya seraya sedikit menyeringai.

Erick Vildy melingkarkan tangan kanannya ke leher adik bungsunya dan pura-pura mencekiknya. Erwie Vincent menyiku pinggang adik bungsunya sebentar. Terdengar suara Erdie Vio yang tertawa cekikikan.

"Bisa saja kau, Die…" celetuk Erick Vildy.

"Jangan minta yang aneh-aneh, Die… Dewa Perak masih ada banyak urusan yang mesti ia kerjakan di alam dewa sana," kata Erwie Vincent mengulum senyumannya.

Dewa Perak tertawa renyah, "Bisa… Bisa… Kalau hanya soal memenangkan pertandingan, itu masalah kecil. Tapi, aku yakin kalian bisa menang kok. Dengan melihat kegigihan dan ketekunan kalian berlatih selama ini, aku yakin kalian bisa menang, meski tanpa kuberkati sekalipun," tukas Dewa Perak masih dengan senyuman kegembiraan di sudut bibirnya.

Sementara itu, tampak Dewi Ruby yang masih bercakap-cakap dengan tiga kekasih pujaan hati 3E.

"Selamat ya, Dewi Ruby… Sekembalinya ke alam dewa sana, kau akan segera menikah dengan Dewa Perak," ujar Melisa Rayadi.

"Dan kalian pasti akan memiliki anak-anak dewa-dewi yang lucu-lucu," tambah Sabrina Marcelina.

Julia Dewi hanya tersenyum-senyum mendengarkan percakapan yang ada di hadapannya. Dia turut bergembira karena semuanya berakhir baik-baik saja. Dia turut senang karena akhirnya Dewi Ruby bisa bersanding dengan Dewa Perak yang dicintainya.

"Sama… Kalian juga akan menikah bukan?" tampak senyuman cerah Dewi Ruby pagi itu. "Kalian juga akan segera menikah dengan tiga pangeran yang sangat kalian cintai bukan? Aku turut senang dan turut mendoakan kebahagiaan kalian dari alam dewa sana."

"Iya… Iya… Kami doakan semoga kau dan Dewa Perak bahagia selalu," tukas Sabrina Marcelina.

"Jika ada waktu, jalan-jalan lagi ke sini, Dewi Ruby. Pintu sanggar ini akan selalu terbuka untukmu," sahut Melisa Rayadi.

Dewi Ruby berjalan mendekati sang dewa pujaannya. Tampak kini Dewa Perak dan Dewi Ruby berdiri bersama-sama, dari sisi ke sisi.

"Semoga beruntung… Sampai jumpa…" kata 3E berbarengan.

Mulai muncul sinar perak dan sinar merah muda dari ujung kaki Dewa Perak dan Dewi Ruby. Sinar perak dan sinar merah muda mulai menjalar hingga ke badan, leher, dan akhirnya kepala.

"Terima kasih untuk segalanya, 3E. Sampai jumpa…" kata Dewa Perak melambaikan tangannya.

"Terima kasih, Melisa, Julia Dewi, Sabrina… Sampai jumpa…" kata Dewi Ruby sembari melambaikan tangannya juga.

Setelah itu, sinar perak dan sinar merah muda terbang melayang keluar dengan menembus dinding. Ada pertemuan, ada perpisahan… Akhirnya, Dewa Perak dan Dewi Ruby pulang kembali ke alam dewa mereka.

Mendadak di luar terdengar jeritan-jeritan yang memanggil-manggil nama 3E. Tiga E saling berpandangan sesaat.

"Oh ya… Kita lupa…" kata Erick Vildy menepuk jidatnya.

Erwie Vincent hanya tersenyum santai dengan mengulum senyumannya, "Kita ada janji dengan para hadirin kita juga akan membawakan dua lagu pagi ini."

"Ya sudah… Aku ke bagian sound system dulu untuk memberitahu mereka dua lagu mana yang harus mereka putar," kata Erdie Vio bergegas keluar dari kamar.

Dua E yang lain menyusulnya. Erick Vildy dan Erwie Vincent segera naik ke atas panggung. Terdengar teriakan dan sambutan riuh dari para penonton. Tiga kekasih pujaan hati mereka keluar dari kamar peninggalan Dewa Perak dan kembali berbaur dengan tamu-tamu yang lain.

"Dari mana saja, Mel…? Cobain deh nih kue… Enak loh…" kata Nyonya Nina Melina menyodorkan sepotong kue ke mulut anak perempuannya.

"Dari tadi Mama makan terus saja kulihat…" Melisa Rayadi sedikit bersungut-sungut.

"Enak loh… Ini kesempatan langka… Tidak boleh disia-siakan…" kata Nyonya Nina Melina.

"Makan boleh saja makan. Namun, jangan sampai makanan yang kauambil berjatuhan semuanya ke lantai ya – membuat aku dan Melisa malu ya…" tegur Pak Fernandus lemah lembut, takut kedengaran tamu-tamu lain yang ada di sekitar mereka.

Nyonya Nina Melina mencibir suaminya sebentar. Kemudian, ia melanjutkan perburuan makanannya lagi.

"Ada apa, Ma?" tanya Sabrina Marcelina menghampiri mamanya.

"Kemarin malam kami sudah membicarakannya dengan kedua calon mertuamu itu. Sama sekali tidak ada perjanjian pranikah dari keluarga Makmur ini," tukas Nyonya Candy dengan matanya yang berbinar-binar.

"Akhir tahun ini Erdie akan langsung melamarmu, Nak…" sambung Pak Louis Willy.

Sabrina Marcelina terperanjat kaget sejenak, "Hah…? Jadi Papa dan Mama menanyakan soal perjanjian pranikah pada orang tua Die Die?"

"Tentu saja tidak dong, Sayang. Mana berani kami…" tepis Nyonya Candy menepuk ringan bahu anak perempuannya.

"Sampai akhir makan malam, Pak Faiz dan Nyonya Florencia itu tetap tidak mengungkit apa yang namanya perjanjian pranikah, berarti sama sekali tidak ada dong. Iya kan?" sahut Pak Louis Willy lagi.

Sabrina Marcelina kembali bernapas lega, "Sebelumnya aku sudah pernah membahas soal perjanjian pranikah ini dengan Die Die. Tapi, Die Die bilang tidak usah dan ke depannya dia tak mau mendengar lagi soal perjanjian pranikah ini. Kalau Papa & Mama mengungkit soal perjanjian pranikah ini di hadapan kedua orang tua Die Die lagi, nanti aku jadi tak enak hati pada Die Die dan pada kedua orang tuanya loh. Kemarin kalian sama sekali tidak mengungkit soal perjanjian apa pun bukan?"

Pak Louis Willy mengangkat kedua tangannya, "Sama sekali tidak. Soal itu, kau bisa percaya pada Papa dan Mama…"

"Iya… Iya… Nggak sama sekali… Kami juga bisa jadi orang loh, Rin… Soal itu, kau tenang saja. Konsentrasilah dengan pernikahanmu yang akan segera dilaksanakan akhir tahun ini," ujar Nyonya Candy menyeringai.

Sabrina Marcelina hanya mengangguk sembari mengulum senyumannya.

"Bagaimana kondisimu, Jul? Masih capek seperti kemarin?" tanya Nyonya Isabella sedikit cemas ke anak perempuannya.

Julia Dewi menggeleng lembut. Dia terpaksa berbohong alasannya masuk rumah sakit adalah karena terlalu lelah mengikuti pementasan naga dan barongsai di beberapa tempat sekaligus. Dia sama sekali tidak berniat menceritakan soal pertarungan 3E dengan Siluman Batu Hitam kepada kedua orang tuanya, apalagi kepada papanya yang diketahuinya kurang mempercayai hal-hal berbau mistis dan supranatural.

"Sudah mendingan, Ma. Kan kemarin itu karena kelelahan saja aku, Ma. Sudah istirahat penuh di rumah sakit, sudah segar kembali aku, Ma," kata Julia Dewi sedikit menyeringai.

"Jangan terlalu lelah lagi, Jul. Jika memang sudah capek, bilang saja pada Wie Wie kau sudah capek dan butuh istirahat sebentar. Wie Wie pasti mengerti deh," sahut Pak Samuel Luvin melahap sepotong kue yang disodorkan oleh istrinya.

"Oke, Pa… Siap, Pa…" kata Julia Dewi mengangkat tangan kanannya dengan gayanya yang setengah bercanda.

"Lusa nanti Mama dan Papa sudah akan kembali ke Los Angeles, Jul. Kau bisa kan sendirian di Medan sini?" tanya Nyonya Isabella seolah-olah meminta suatu kepastian kebisaan dari anak perempuannya.

Julia Dewi tertawa renyah, "Tentu saja bisa dong, Ma. Mama tidak usah khawatir. Ada Wie Wie di sampingku. Selain itu, aku memiliki beberapa sahabat baru di sini. Dua saudara Wie Wie dan dua kekasih mereka juga oke-oke deh, Ma."

Tampak senyum merekah di bibir Pak Samuel Luvin, "Jika Julia sudah bilang begitu, aku juga merasa tenang, Bell… Ada Wie Wie di sampingnya yang selalu mencintai dan memanjakannya, aku yakin putri kita akan baik-baik saja, Bell."

"Oke deh… Mama tenang kalau begitu," kata Nyonya Isabella Huang ke anak perempuannya lagi. "Jadi istri dan menantu orang harus bisa menempatkan diri dengan baik, Jul. Harus bisa melayani dan menghormati suamimu dan keluarga suamimu dengan baik."

Julia Dewi tampak tersipu malu, "Ah, Mama ini… Menikah kan masih lama, Ma… Kan masih akhir tahun ini…"

"Iya… Sekarang sudah Februari. Desember itu bukanlah waktu yang lama, Jul. Tutup mata sebentar saja sudah Desember tuh. Akan ada banyak persiapan yang harus kalian lakukan sebelum pernikahan itu, termasuk persiapan lahir dan batin. Begitu loh…" kata Nyonya Isabella Huang.

Julia Dewi kembali mengangkat tangan kanannya dengan gayanya yang sedikit bercanda, "Iya, Ma… Siap, Ma…"

Nyonya Isabella Huang mengelus-elus kepala anak perempuannya dengan gemas. Sejurus kemudian, mulai terdengar suara Erdie Vio dari atas panggung,

"Jumpa lagi dengan 3E… Bagaimana dengan serangkaian acara yang kami sajikan pada pagi hari ini, Hadirin? Tentu saja menarik ya…" kata Erdie Vio dengan senyuman khasnya, yang bersemangat nan penuh keceriaan.

Terdengar lagi teriakan riuh dari para penonton.

Beberapa penonton yang duduk di barisan depan mengacungkan tangan mereka. Erdie Vio turun dari atas panggung dan memberikan mic- nya kepada salah satu penonton yang dianggapnya mengacungkan tangan untuk pertama kali tadi.

"Tadi dibilang 3E akan membawa tim Solidaritas Abadi ikut turnamen naga se-Asia pada Maret nanti. Kami doakan semoga tim Solidaritas Abadi bisa meraih juara satu dalam turnamen tersebut," kata si penonton tersebut yang kebetulan adalah seorang wanita berumur empat puluhan.

Terdengar lagi teriakan dan sambutan riuh dari para penonton yang lain.

"Ya… Itu memang adalah impian kami. Sejak pertama kali Solidaritas Abadi ini didirikan, kami memang sudah bercita-cita akan mengikutkan sanggar ini ke suatu turnamen internasional. Bagaimana dengan hadirin sekalian? Apakah impian kalian sudah terealisasi di tahun baru ini?" terdengar suara Erick Vildy yang penuh semangat dari atas panggung.

Terdengar lagi teriakan riuh dari para penonton. Beberapa penonton bahkan ada yang mengangkat papan tinggi-tinggi, yang bertuliskan nama-nama 3E. Suasana di auditorium Solidaritas Abadi itu lebih mirip dengan suasana konser daripada suasana perayaan tahun baru Imlek.

"Oke… Lagu ini masih tentang impian. Sanggar Solidaritas Abadi kami akan membantu mewujudkan impian anak-anak muda yang berminat dalam seni atraksi naga dan barongsai," terdengar suara Erwie Vincent yang santai nan serak-serak basah dari atas panggung.

Para penonton bertepuk tangan riuh. Erdie Vio naik ke atas panggung. Musik mulai mengalun. Terdengar suara 3E yang penuh semangat dari atas panggung. Ada beberapa penonton yang bahkan berdiri dan menari-nari mengikuti alunan irama musik yang cepat dan menghentak-hentak.

Have you got ready? Every moment of preparation…

Blowing the youths' assembly numbers of dream…

The world's pride, let's build it…

Ticking, ticking, and ticking…

Follow me, follow me…

Every moment of preparation…

Follow me, follow me…

Every moment of preparation…

Every moment of preparation...

Having falling down before…

Forgetting about those all…

The youth proclaim…

The dreams are the most important…

Being presumptuous and laughing loudly…

Shouting and claiming crazily…

I've got my own pride…

More sparkling than others'…

The hot heart's pumping…

Deciding my foot paces…

The slogan of the dreams, let's build it…

Having been prepared already,

Blowing the assembly numbers…

I've got my own pride,

More sparkling than others'…

Follow me, follow me…

Every moment of preparation…

Follow me, follow me…

Every moment of preparation…

Have you got ready? Every moment of preparation…

Blowing the youths' assembly numbers of dream…

The world's pride, let's build it…

Ticking, ticking, and ticking…

Begin your steps, run together with me…

Let the dreams set sail, we've already prepared for that…

Let's lead our own future…

Ticking, ticking, and ticking…

"Oke… Ada lagi lagu berikutnya, Rick, Wie?" tanya si baju hijau ke dua saudaranya.

"Tentu saja masih ada satu lagu lagi…" jawab si baju kuning.

"Lagu apa itu, Wie…?" tanya si baju merah dan si baju hijau berbarengan.

Tiga E berpandangan sesaat. Kemudian si baju kuning membuka mulutnya dan mengatakan, "Lagu ini juga sebagai suatu pengumuman kepada hadirin sekalian bahwa… bahwa… bahwa…"

Tampak Erwie Vincent yang sudah tidak bisa menahan rasa gelinya, tapi akhirnya ia tetap membuka mulutnya dan mengatakan, "bahwa akhir tahun ini kami 3E akan segera menikah dan berkeluarga. Mohon doa dan dukungan dari para hadirin sekalian ya…"

Para penonton serta-merta berteriak riuh. Bahkan ada beberapa penonton yang bertepuk tangan sambil berdiri. Tampak tiga kekasih pujaan hati 3E tersipu-sipu malu, menenggelamkan diri ke dalam pelukan orang tua mereka dengan wajah mereka yang sudah semerah delima.

"Selamat ya, Kak Mel… Akhirnya bisa menjadi Nyonya Erick Vildy juga…" kata Teddy Revan menyeringai.

"Akhirnya Kak Sabrina bersanding juga dengan sang pangeran, Bang Erdie Vio…" celetuk Theo Rafael.

"Kami sudah tidak sabar menunggu tiga undangan pernikahan tahun ini," sahut Tommy Rido.

"Bakalan makan enak besar-besaran tahun ini," sambung Thomas Robert.

"Selamat ya, Kak Jul… Akhirnya akan menjadi Nyonya Erwie Vincent juga tahun ini," ujar Timothy Ricky menyeringai.

"Oke… Lagu kami yang berikutnya bukan lagi tentang impian masa muda. Ini sudah tentang cinta… Cinta kami bertiga…" kata Erdie Vio dengan sedikit sayu, tapi masih belum kehilangan semangat dan antusiasme yang menjadi ciri khasnya.

Musik latar mulai mengalun. Tiga E mulai menari dan menyanyi pada saat yang bersamaan. Tampak beberapa penonton yang bahkan berdiri dan menari mengikuti irama musik yang santai, tapi masih sedikit menghentak-hentak.

I always believe that somewhere in this world,

I have my own little universe.

It's you, it's you, it must be you…

It's you, it's you, it's really you…

It's you, it's you, if it's you,

Let me see and meet you…

Like a planet which turns by itself…

Sometimes drifting quickly, sometimes drifting slowly…

Thinking that loneliness is the only rhythm in which I'm good at…

Playing in the milky way by myself,

Going against the meteors by myself, going against…

Very delighted, but it feels that something's missing…

The rose which likes crying, I've met already…

The fox which likes laughing, I've also encountered…

But I never stop, I always step forward…

As if my heart heard an ensemble…

Who's also making a seemingly silly dream?

Whose thoughts are also a little sour? (a little sour)

Who's also looking for a certain small universe?

Who else in this world who's also a little weightless?

Whose daydreams which aren't understood? (aren't understood)

Who's the little universe that I want to protect?

It's you, it's you, it must be you…

It's you, it's you, it's really you…

It's you, it's you, if it's you,

Let me see and meet you…

***

Matahari sore sudah menunjukkan dirinya di cakrawala belahan barat. Pak Faiz melirik ke arlojinya sebentar. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Terdengar Suhu Ce Hui sudah melantunkan gatha pengembangan jasa-jasa yang terakhir. Tandanya kebaktian sudah mau selesai.

Begitu gatha tersebut sampai ke huruf yang terakhir, nada pun berhenti dan semua alat bunyi-bunyian pengiringnya pun berhenti total. Setelah seluruh umat bersujud tiga kali, kebaktian pun selesai. Barisan umat kebaktian bubar baris demi baris.

Tampak Nyonya Florencia yang langsung menghampiri meja tulis Suhu Ce Hui. Kelihatannya Nyonya Florencia sedang memasang pelita keselamatan awal tahun untuk seluruh anggota keluarganya. Pak Faiz juga menghampiri meja tulis Suhu Ce Hui. Tampak Suhu Ce Hui langsung menebar senyuman ramah nan lembut begitu ia melihat kehadiran sosok Pak Faiz di depan meja tulisnya.

"Selamat datang, Pak Faiz. Selamat tahun baru…" kata Suhu Ce Hui masih dengan senyuman keramahan dan kelembutannya.

"Selamat tahun baru, Suhu Ce Hui," kata Pak Faiz juga menebar senyuman keramahan dan kelembutannya.

"Jadi lima pelita keselamatan awal tahun untuk aku dan suamiku, dan untuk 3E, Suhu. Berapa ya dananya, Suhu?" tanya Nyonya Florencia.

"Dana sukarela, Nyonya Florencia. Yang bisa dana banyak, dana sedikit, semua tergantung jodoh dan karma masing-masing, Nyonya Florencia," kata Suhu Ce Hui kali ini menebar senyuman diplomatisnya.

Nyonya Florencia mengeluarkan uangnya dari dalam dompet dan menyerahkannya kepada Suhu Ce Hui. Suhu Ce Hui menerima uang tersebut sembari merangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Jadi bagaimana dengan 3E kemarin malam?" tanya Suhu Ce Hui dengan senyuman ganjil ke pasangan suami istri Makmur yang kini duduk di hadapannya.

"Sepertinya suatu pertarungan sengit melawan siluman jahat itu, Suhu," kata Pak Faiz agak ragu, "Yah aku juga tidak melihat dan terlibat langsung dalam pertarungan itu dan sekembalinya mereka dari medan perang, mereka hanya bilang segalanya telah berakhir dengan baik-baik saja."

"Mereka enggan bercerita tentang pertarungan melawan siluman jahat itu, Suhu. Hanya mereka bertiga sendiri yang tahu bagaimana pertarungan mereka melawan siluman jahat itu. Karena mereka enggan bercerita, kami juga tidak memaksa lagi. Yang penting mereka bisa kembali dengan selamat dan sehat walafiat, Suhu," sambung Nyonya Florencia.

"Iya… Memang semuanya sudah berakhir dengan baik-baik saja. Mereka tetap akan kembali dengan selamat, Pak Faiz, Nyonya Florencia. Sudah kukatakan sebelumnya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tak ada yang bisa menandingi kekuatan tiga bintang kemujuran jika mereka bersama-sama. Oleh sebab itulah, berkali-kali kukatakan kepada kalian jangan biarkan 3E hidup terpisah-pisah di lain-lain tempat. Jika sampai terpisah-pisah, kekuatan tiga bintang kemujuran akan sangat sulit untuk dikeluarkan. Begitulah… Sudah tenang sekarang, Pak Faiz, Nyonya Florencia?" tanya Suhu Ce Hui lagi-lagi dengan senyuman diplomatisnya.

"Jadi… Jadi… Jadi dari mana sebenarnya tiga bintang kemujuran berasal, Suhu? Kenapa… Kenapa… Kenapa kok bisa begitu mereka memilih 3E sebagai tuan rumah mereka?" tampak Pak Faiz masih mengerutkan dahinya di sini.

"Tiga bintang kemujuran mengikuti Dewa Perak ketika dia terlahir di alam dewa sana. Karena Maha Dewa sana melihat kekuatan tiga bintang kemujuran yang tiada taranya dan mengetahui bahayanya jika tiga bintang kemujuran jatuh ke tangan dewa-dewi yang salah, dia menitipkannya pada Dewi Ruby yang diketahuinya adalah jodoh dari Dewa Perak. Ketika Siluman Batu Hitam ini ingin merebut tiga bintang kemujuran dari tangan Dewi Ruby, Dewi Ruby melemparnya kembali ke masa lalu, ke tiga kelahiran lampau dari Dewa Perak sendiri. Jadi, memang sejak awal tiga bintang kemujuran ini mengikuti Dewa Perak dari masa lalu ke masa depan, dari masa depan ke masa lalu dan akhirnya terciptalah siklus sebab akibat yang berbentuk lingkaran. Nah, Pak Faiz, Nyonya Florencia. Jika siklus suatu sebab akibat berbentuk sebuah lingkaran, masih dapatkah kalian menentukan mana yang merupakan sebab pertama dan mana yang merupakan akibat terakhir?"

Pak Faiz dan Nyonya Florencia menggelengkan kepala mereka.

"Begitulah, Pak Faiz. Aku sudah menjawab pertanyaanmu yang tadi," senyuman diplomatis Suhu Ce Hui merekah lagi. "Jika kau bertanya padaku dari mana tiga bintang kemujuran berasal, itu sama saja kau bertanya padaku asal mula alam semesta ini. Penjelasannya sangat rumit karena memang siklus sebab akibatnya berbentuk sebuah lingkaran, Pak Faiz."

Pak Faiz mangut-mangut mendengar penjelasan Suhu Ce Hui.

"Yang penting 3E sudah kembali dengan selamat dan akhir tahun ini mereka akan menikah. Semoga pernikahan mereka akhir tahun ini lancar-lancar dan kelak tiga keluarga mereka akan berbahagia. Tolong berkati mereka, Suhu – seperti ketika Suhu memberkati mereka dan mencarikan nama buat mereka ketika mereka masih bayi," kata Nyonya Florencia sembari mengulum senyumannya.

Suhu Ce Hui menebar senyuman diplomatisnya lagi.

"Ngomong-ngomong dari mana inspirasi Suhu untuk memilihkan nama-nama yang hampir mirip untuk ketiga anak kami? Boleh kami tahu tidak?" tanya Pak Faiz sedikit menyeringai.

"Aku hanya mengambil huruf E sebagai huruf depan nama mereka bertiga karena huruf E menempati posisi nomor lima dalam 26 abjad yang ada. Begitu Nyonya Florencia membawa ketiga bayi kalian ke sini, aku melihat angka lima adalah angka yang cocok untuk mereka bertiga. Aku juga memilih huruf V karena huruf V menempati urutan kelima dari akhir 26 abjad yang ada. Angka lima yang mencerminkan kesempurnaan, kebebasan, kejayaan, dan kemakmuran, memang cocok dengan garis hidup, karakter dan kepribadian mereka bertiga, Pak Faiz, Nyonya Florencia. Begitulah…" kata Suhu Ce Hui masih dengan senyuman diplomatisnya.

Pak Faiz dan Nyonya Florencia kembali mangut-mangut mendengarkan alasan dan penjelasan Suhu Ce Hui.

Suhu Ce Hui kembali membuka mulutnya dan berkata,

"Pernikahan mereka akhir tahun ini akan ada sedikit masalah, Pak Faiz, Nyonya Florencia. Tapi jangan khawatir… Kembali tiga bintang kemujuran akan menuntun mereka dan menyelesaikan segalanya."

"Masalah apa itu, Suhu? Apakah… Apakah… Apakah masalah besar dan rumit lagi seperti pertarungan mereka melawan siluman jahat itu?" tampak Nyonya Florencia sedikit khawatir.

"Hanya sampai di sana yang bisa aku katakan, Nyonya Florencia. Selebihnya, biarkan waktu yang menjawabnya. Jika sudah sampai waktunya, aku yakin kalian bisa mengerti dengan sendirinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika tiga bintang kemujuran berkumpul bersama-sama, Pak Faiz, Nyonya Florencia. Semua yang diawali dengan niat yang baik pasti akan berakhir dengan baik pula," kata Suhu Ce Hui nonkomital.

Pak Faiz dan Nyonya Florencia mangut-mangut lagi mendengar penjelasan Suhu Ce Hui.

"Oke deh… Kalau begitu kami permisi dulu, Suhu. Sudah capek juga karena acara silaturahmi di sanggar Solidaritas Abadi seharian ini," kata Pak Faiz sedikit menyeringai.

"Ya… Sudah sore menjelang malam pula. Sudah waktunya istirahat. Besok masih ada serangkaian silaturahmi yang harus dijalani," kata Suhu Ce Hui dengan senyuman keramahan dan kelembutannya.

"Kami permisi dulu, Suhu," kata Nyonya Florencia merangkupkan kedua tangannya di depan dada. Pak Faiz juga melakukan hal yang sama.

Suhu Ce Hui juga merangkupkan kedua tangannya di depan dada mengantar kepergian suami istri Makmur itu. Bayangan Pak Faiz dan Nyonya Florencia pun menghilang di balik pintu depan. Tinggallah Suhu Ce Hui seorang diri di balik meja tulisnya. Namun, tempat ibadah masih ramai dengan beberapa umat kebaktian yang masih memanjatkan doa, memasang pelita, dan memasang dupa untuk keselamatan di awal tahun.

Suhu Ce Hui menghitung-hitung dengan jari-jemarinya lagi seraya tersenyum dikulum.

"Oh, Dewa Perak… Dewa Perak… Di alam dewa sana kau begitu terkenal. Di alam manusia ini kau juga begitu terkenal. Aku jadi penasaran karma baik apa yang telah kaulakukan di kehidupan sebelum kau terlahir menjadi Erdie Vio Makmur."

***

Medan, 9 Februari 2019

Ahmad Sentosa tampak memandangi seisi bangunan sanggar yang kini sudah mulai kosong. Begitu mendengar kabar menghilangnya Rendy Ibrahim, banyak sekali anggota yang mulai tidak menemukan kejelasan masa depan sanggar Gagak Hitam. Satu per satu mulai angkat kaki dari sanggar. Hanya tinggal Ahmad Sentosa dan beberapa anggota senior lainnya, yang memang sudah lama sekali di sanggar Gagak Hitam, yang tetap tinggal.

Ketika Ahmad Sentosa mau menutup pintu sanggar pagi itu, tampak Yenny Mariana dan Yuni Mariany masuk ke halaman sanggar dan berjalan-jalan ke pintu utama bangunan sanggar.

"Sudah tahu balik kalian berdua? Bukankah di sana ada 3E yang jauh lebih keren dan gagah?" tanya Ahmad Sentosa dengan sebersit senyuman sinisnya.

"Erick Vildy sama sekali nihil, Mad. Akhir tahun ini kudengar dia akan segera menikah. Aku balik saja deh… Apalagi dengan keluarnya beberapa anggota dari sini setelah menghilangnya Bang Rendy, aku yakin tenagaku masih dibutuhkan. Iya kan?" tampak mata Yenny Mariana yang mulai berkaca-kaca. Tentu saja ia tidak mengatakan perihal kekuatan hitam dan kematian Rendy Ibrahim kepada Ahmad Sentosa yang diketahuinya tidak tahu-menahu tentang rahasia gelap Rendy Ibrahim selama ini.

Ahmad Sentosa paling tidak bisa berbuat kasar pada wanita yang mulai menangis di hadapannya. Oleh karena itu, di depan Yenny Mariana dan Yuni Mariany yang mulai menitikkan air mata, ia kembali melunak dan melembut.

"Kau benar-benar tertarik dan ada hati dengan si Erick Vildy itu?" tanya Ahmad Sentosa dengan pandangan nanar ke Yenny Mariana.

"Tentu saja dong… Yang membuatku jatuh hati pertama kali adalah tatapan matanya yang serius. Keseriusannya itu mengatakan kepadaku bahwa memang ialah laki-laki yang paling bisa kuandalkan di masa-masa mendatang nanti. Namun, sungguh sayang… Dia lebih mencintai Melisa Rayadi dan mereka akan segera menikah akhir tahun ini. Bagaimana pun aku berusaha, aku tetap tidak bisa mengungguli kenangan-kenangan mereka selama ini," mulai terbit air mata Yenny Mariana di sini.

"Kau juga sama… Erdie Vio itu begitu membius kesadaranmu kulihat, Yun…" kata Ahmad Sentosa berpaling ke Yuni Mariany sekarang.

"Candaannya, semangatnya, antusiasmenya… Segala yang ada pada dirinya terasa bisa melengkapi segala yang ada pada diriku. Namun, sungguh sayang sekali… Sial sekali… Aku tidak bisa memisahkannya dari Sabrina Marcelina itu. Aku sudah capek begini terus, mengejar-ngejar suatu harapan semu. Aku keluar dari Solidaritas Abadi saja dan memutuskan untuk masuk ke Gagak Hitam ini bersama-sama dengan Yenny," kata Yuni Mariany dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Bisa kan kau menerima kami lagi?" tanya Yenny Mariana masih dengan matanya yang berkaca-kaca.

Ahmad Sentosa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal, "Bang Rendy sudah menghilang entah ke mana dan menelantarkan sanggar Gagak Hitam ini begitu saja. Tidak biasanya aku yang membuat keputusan di sini. Jelas kalian tahu itu, Yen, Yun…"

"Kalau begitu, biar aku saja yang membuat keputusan mulai dari sekarang…" kata Aldo Morales yang mendadak entah sejak kapan berdiri di belakang mereka.

"Aldo? Kukira kau juga menghilang loh…" kata Ahmad Sentosa mengerutkan dahi dan bernapas lega pada saat yang bersamaan.

"Tidak… Aku masih memiliki kepedulian dan tanggung jawabku pada sanggar Gagak Hitam ini. Jika Rendy sudah tidak menginginkannya lagi, tidak apa-apa… Aku yang akan meneruskannya. Kau tidak keberatan bukan?" tanya Aldo Morales santai ke Ahmad Sentosa.

Ahmad Sentosa tertawa renyah, "Tentu saja tidak. Baik Rendy maupun kau sama-sama memiliki banyak uang yang bisa mengelola dan mengembangkan sanggar ini. Syukur kau masih mau peduli, Aldo. Tadinya kukira sanggar ini tinggal menunggu waktu grand closing- nya saja dan bangunan ini siap-siap tinggal dijual ke sanggar Solidaritas Abadi saja."

"Tidak… Bangunan ini takkan dijual ke mereka. Kita akan sama-sama mengembangkan sanggar ini lagi. Sanggar Gagak Hitam dan Solidaritas Abadi ke depannya akan bersaing secara adil dan sehat dalam dunia seni atraksi naga dan barongsai. Iya kan, Yenny, Yuni?" tanya Aldo Morales sembari tersenyum penuh arti kepada dua kakak beradik itu.

Yenny Mariana dan Yuni Mariany berpandangan sesaat. Sejurus kemudian, sudah tampak keduanya mengangguk mantap nan penuh semangat.

"Ngomong-ngomong, mana Yenty?" tanya Ahmad Sentosa kembali tampak bergairah dan penuh semangat.

"Dia sedang mengucapkan salam perpisahan dengan Erwie Vincent, Mad…" tukas Yenny Mariana.

"Sekaligus mengucapkan salam perpisahan dengan masa lalunya yang kelam dan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Setelah itu, dia akan out dari Solidaritas Abadi dan kembali ke Gagak Hitam ini, Do, Mad. Apakah… Apakah… Apakah dia masih diterima di sini, Do, Mad…?" tanya Yuni Mariany harap-harap cemas.

Aldo Morales tersenyum simpul kali ini, "Jangan berulang-ulang menanyakan hal yang sama padaku, Yun. Kau jelas-jelas tahu aku tidak suka mempermasalahkan hal-hal kecil seperti si Rendy itu dulu."

Mendengar itu, senyum yang membawa secercah harapan kembali merekah di bibir Yenny Mariana dan Yuni Mariany.

Ahmad Sentosa tampak bersiul dengan penuh semangat. Ia tidak jadi menutup pintu depan bangunan sanggar. Ia naik ke lantai dua untuk merapikan kembali segala peralatan dan perlengkapan Gagak Hitam.