webnovel

3E

Sesuai dengan judulnya, cerita ini menceritakan mengenai tiga bersaudara yang memiliki sejenis kekuatan aneh nan misterius. Meski adalah tiga saudara, pada awal cerita ketiganya diceritakan di tiga tempat dan tiga negara yang berbeda. Di sisi lain, terkisahlah seorang Dewa Perak - dewa yang turun ke dunia manusia guna mengumpulkan kembali tiga bintang kemujuran dan mengembalikan sosok dewi yang dicintainya ke wujud semula.

ATua · Celebrities
Not enough ratings
26 Chs

Doakan yang Terbaik buat Kami

BAB 26

Medan, 9 Februari 2019

Saat Erwie Vincent kembali dari lari pagi dengan kedua saudaranya, ia mendapati Yenty Marlina berdiri di halaman sanggar Solidaritas Abadi. Ketiganya tertegun sejenak. Yenty Marlina kontan membungkukkan badannya sebagai petanda ia meminta maaf kepada 3E atas racun yang telah ia bubuhkan ke cangkir kuning milik Erwie Vincent.

"Maafkan aku, 3E… Maafkan aku, Wie… Sorry… Sorry… Really really sorry…" tampak air mata mulai menggenang di pelupuk mata Yenty Marlina.

Erick Vildy mengangkat bahu. Erdie Vio tersenyum dengan tidak enak hati.

Erick Vildy sedikit menggemeretakkan gigi-giginya, "Siapa yang kasih kau racun itu?"

"Bang Rendy… Dia bilang setelah meminumnya, Wie Wie akan… akan… akan… berpaling ke aku. Aku sama sekali tidak menyangka itu adalah suatu jebakan. Aku juga tidak habis pikir kenapa aku menuruti saja perkataannya dan masuk ke dalam jebakannya. Aku tidak tahu kenapa aku bisa sebodoh itu… Maafkan aku, 3E… Really really sorry, Wie…" Yenty Marlina mulai berjongkok di tanah dan mulai menangis tersedu-sedu di sana.

"Kuserahkan saja padamu, Wie…" bisik Erick Vildy di telinga si saudara tengah dan meletakkan tangan kanannya di bahu si saudara tengah. "Motif utamanya melakukan hal itu adalah kau soalnya. Yakinkanlah dia bahwa kau hanya menganggapnya teman dan ke depannya ia bisa menemukan sumber kebahagiaannya sendiri."

Erwie Vincent mengangguk lembut nan serius.

"Kami menunggumu untuk sama-sama sarapan di dalam, Wie," kata Erdie Vio juga meletakkan tangan kanannya di bahu si saudara tengah.

Erwie Vincent mengangguk lagi. Dia menyerahkan bungkusan sarapan yang baru saja mereka beli tadi ke adik bungsunya. Erdie Vio menerima bungkusan plastik tersebut. Erdie Vio dan Erick Vildy berlalu masuk ke dalam bangunan sanggar.

Erwie Vincent perlahan-lahan mendekati Yenty Marlina yang masih berjongkok dan terisak-isak di tanah. Erwie Vincent memegangi bahu si gadis guna memberinya sedikit semangat dan penghiburan.

"Rick dan Die Die sama sekali tidak menyalahkanmu. Aku juga tidak menyalahkanmu. Aku mengerti kau tidak tahu bahwasanya yang kau bubuhkan ke dalam cangkir kuningku itu adalah racun kekuatan hitam misterius milik Rendy Ibrahim, Yenty. Berdirilah… Semuanya sudah berlalu dan baik-baik saja sekarang. Tidak ada yang perlu kautangisi ataupun kausesali lagi…"

"Hal yang kusesali adalah kenapa aku tidak bertemu denganmu lebih awal, Wie. Hal yang membuatku menyesal adalah kenapa Julia Dewi lebih duluan bertemu dan mengenalmu…" kata Yenty Marlina langsung memeluk Erwie Vincent erat-erat dan menumpahkan semua tangisannya ke dada si baju kuning.

Erwie Vincent jadi serba salah. Dia melepaskan diri pelan-pelan dari pelukan Yenty Marlina.

"Aku bukanlah laki-laki yang baik untukmu, Yenty. Dengan kondisi dan kriteriamu, aku yakin ke depannya kau bisa menemukan laki-laki lain yang lebih berhak mendapatkan cinta dan ketulusanmu."

"Tapi sekarang aku hanya membutuhkan cinta dan perhatianmu, Wie. Itu kan yang tidak bisa kauberikan padaku?" Yenty Marlina menghapus sendiri ranai air matanya. Masih terdengar beberapa isakannya.

"Maafkan aku, Yenty… Maafkan aku… Aku hanya memiliki sekuntum mawar kuning. Dan itu sudah kuberikan pada wanita lain yang teramat sangat kucintai, setelah mamaku. Cinta memang egois dan tidak bisa dipaksakan. Kelak ketika kau sudah menemukan cinta sejatimu, kau akan mengerti posisiku sekarang, Yenty," kata Erwie Vincent dengan sebersit senyuman simpul.

Yenty Marlina mengangguk-ngangguk lemah, "Iya… Oke… Aku takkan memaksa lagi, Wie. Aku tahu kau memang sangat mencintai Julia Dewi dan tak mungkin berpaling ke aku lagi. Aku juga dengan tulus mendoakan kebahagiaanmu dengan Julia Dewi. Semoga kalian langgeng sampai anak cucu…"

"Terima kasih… Kau tidak masuk sanggar Solidaritas Abadi lagi?" tanya Erwie Vincent ketika dilihatnya Yenty Marlina akan berpaling dan berlalu pergi.

"Aku bilang aku takkan memaksakan cintaku lagi. Tapi, aku tidak bilang aku bisa dengan mudah menghapus dan melupakan rasa cintaku begitu saja, Wie. Begitu juga dengan Yenny yang tidak mudah menghapus begitu saja perasaannya terhadap Rick dan Yuni yang dengan mudah meniadakan perasaannya terhadap Die Die. Dengan kondisi yang demikian, kau pikir mudahkah bagi kami untuk terus berada di Solidaritas Abadi?" Yenty Marlina tampak tersenyum sumbang.

"Kupikir… Kupikir… Kupikir setelah semuanya berlalu, kita semua masih bisa menjadi sahabat…" kata Erwie Vincent dengan suaranya yang serak-serak basah nan lemah lembut.

"Tidak mungkin, Wie… Tidak mungkin…" Yenty Marlina menggeleng lembut masih dengan senyuman sumbangnya. "Kau berbahagialah dengan kehidupanmu yang sekarang dan rencana pernikahanmu akhir tahun ini. Derita dan kerinduan ini biar aku sendiri yang simpan. Tidak apa-apa, Wie. Waktu yang akan menyembuhkan derita dan luka ini. Waktu, perlahan tapi pasti akan membuatku melupakan cinta ini. Ketika kita bertemu lagi suatu saat di masa mendatang nanti, aku baru bisa menganggapmu sebagai teman baik…"

Erwie Vincent hanya bisa mengangguk. Tidak ada lagi yang bisa dikatakannya. Perasaan memang tidak bisa dipaksakan. Karena dia menyuruh Yenty Marlina untuk tidak memaksakan perasaan cintanya kepadanya, ia sendiri juga tidak bisa memaksa Yenty Marlina untuk menghentikan perasaan cintanya itu bukan? Erwie Vincent hanya bisa menghela napas panjang menyaksikan kepergian Yenty Marlina dari Solidaritas Abadi, juga kepergian gadis itu dari hidupnya.

Erwie Vincent masuk ke dalam bangunan sanggar Solidaritas Abadi. Tampak Erick Vildy dan Erdie Vio yang menatapnya sembari merapatkan bibir mereka. Erwie Vincent tampak tersenyum santai menatap balik ke dua saudaranya.

"Sama juga dengan kalian berdua, Rick, Die. Yenny Mariana juga keluar dari sanggar kita karena tidak bisa melupakan Rick. Yuni Mariany juga keluar dari sanggar kita karena tidak bisa melupakan perasaan cintanya pada Die Die," kata Erwie Vincent sembari mengulum senyumannya.

"Jangan bilang lagi deh, Wie…" kata Erick Vildy sembari mengangkat tangannya ke udara dan mengarahkannya ke wajah si saudara tengah. "Gara-gara si Yenny Mariana waktu itu, Melisa uring-uringan dan tidak balas chat­- ku sampai dengan keesokan paginya. Aku butuh waktu berjam-jam untuk menyakinkan Melisa kembali bahwasanya Yenny Mariana itu bagiku tidak lebih dari sekadar teman."

Tampak Erick Vildy mendengus sesaat. Erdie Vio tertawa renyah sebentar dan kemudian ia juga berkata,

"Kalau soal si Yuni Mariany ini, kau tahu sendiri juga kan, Wie? Gara-gara aku bantu dia mengoleskan obat ke kakinya yang terluka malam itu, Sabrina jadi ketus ke aku dan tidak balas chat- ku sampai dengan keesokan paginya. Aku juga butuh waktu sampai dengan sore harinya di hari yang sama untuk menyakinkan Sabrina bahwasanya Yuni Mariany itu bagiku bukan siapa-siapa."

"Memang cinta dan perasaan tidak bisa dipaksakan, Wie. Yang penting kita sudah berusaha menjelaskan ke mereka bahwasanya kita hanya menganggap mereka teman. Yang penting kita sudah berusaha menjelaskan ke mereka bahwa kita sudah sold out dan sudah ada yang punya," kata Erick Vildy masih tampak sedikit bersungut-sungut.

"Ya, Wie. Rick memang benar," kata Erdie Vio. "Yang penting kita sudah jelaskan ke mereka dan tidak PHP mereka. Soal apakah mereka mau menghentikan perasaan mereka ke kita atau tetap mempertahankan perasaan mereka, itu sudah di luar kuasa kita bukan?"

Erwie Vincent mangut-mangut mendengar penuturan kedua saudaranya. Sama dengan pemikirannya kalau begitu.

Erwie Vincent mulai membuka bungkusan sarapan pagi mereka. Erdie Vio ke dapur sebentar dan kembali lagi dengan sebuah piring besar – piring besar yang biasa mereka pakai ketika mereka makan di Solidaritas Abadi.

Suap-menyuap pun terjadi. Seperti biasa, masing-masing tidak memasukkan makanan ke mulut sendiri, melainkan ke mulut dua saudara yang lain. Namun, pada akhirnya nanti masing-masing dari mereka bertiga takkan kelebihan ataupun kekurangan suap.

"Aku mulai bisa percaya kalian berdua adalah dua kehidupanku yang di masa depan, Rick, Wie…" kata Erdie Vio dengan senyuman keceriaannya.

"Aku juga mulai bisa menerima kalian berdua adalah dua kehidupanku yang di masa lampau, Wie, Die…" kata Erick Vildy dengan sebersit senyuman lebarnya.

"Akulah yang paling beruntung kalau begitu," kata Erwie Vincent kembali mengulum senyumannya. "Aku bisa melihat kehidupan lampauku dan masa depanku dalam waktu yang bersamaan. Sungguh beruntungnya menjadi saudara tengah seperti aku kan, Rick, Die…?"

"Jadi itulah sebabnya kau mencoba melindungi kami dengan menghadang kekuatan ular-ular hitam dari Siluman Batu Hitam waktu itu, Wie?" tanya Erick Vildy.

Erwie Vincent hanya tersenyum santai.

"Ya… Waktu itu kau pergi, menghilang diculik oleh Siluman Batu Hitam itu. Kemudian malamnya Rick juga pergi – langsung menghilang begitu saja begitu racun dalam tubuhnya itu mencapai puncak. Aku bertarung melawan Siluman Batu Hitam sendirian dan akhirnya aku berakhir di persimpangan enam jalur reinkarnasi itu. Asal kalian tahu saja ya, Rick, Wie… Tanpa kalian waktu itu, aku benar-benar merasa kesepian dan seolah-olah ada dua bagian dari diriku yang hilang. Untunglah aku kembali bertemu dengan kalian di persimpangan enam jalur reinkarnasi itu," kata Erdie Vio tampak sedikit bersungut-sungut.

"Dalam pertarungan sengit nan berbahaya seperti itu, kulihat ular-ular hitamnya sudah melesat bergerak ke arah kalian. Hanya itu satu-satunya yang terpikirkan olehku untuk menyelamatkan kalian," tukas Erwie Vincent santai.

"Waktu kau ditembus oleh ular-ular hitam itu, terus terang, Wie… Seluruh badanku sakit semua, remuk-redam, dan sakitnya itu sungguh tidak terperikan…" kata Erdie Vio mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Waktu aku tersadar di persimpangan enam jalur reinkarnasi, badanku juga terasa remuk-redam, dan sakitnya bukan main. Namun, itu hanya sebentar dan lewat beberapa menit kemudian, sakitnya tidak terasa lagi. Aku pikir itu mungkin dari Rick atau darimu, Die," kata Erwie Vincent mangut-mangut.

"Bisa jadi itu dari Die Die yang juga terkena racun dari Siluman Batu Hitam dan kalah dalam pertarungan, Wie. Pasalnya ketika aku tersadarkan di persimpangan enam jalur reinkarnasi itu, tubuhku juga sakit semua. Aku bahkan harus duduk di tepi jalan selama beberapa menit sebelum akhirnya rasa sakit itu hilang," kata Erick Vildy.

Erdie Vio kembali mangut-mangut, "Memang benar ya kita adalah satu jiwa yang terbagi ke dalam tiga zaman di tiga kehidupan. Benar-benar suatu misteri dimensi ruang dan waktu deh kalau begitu… Wie… Ketika Rick terkena racun yang dibubuhkan ke dalam cangkirmu itu, apa yang kaurasakan di masa lalu?"

"Sakitnya bukan main pada dada sebelah kiri. Kau, Die?" tanya Erwie Vincent santai.

"Sama… Sakitnya bukan main loh… Aku sampai tersungkur ke lantai dan mama kandungku sempat shocked sebentar dan dia sudah hampir memanggil para pelayan untuk membantuku. Aku cepat-cepat buka lorong waktu dan kembali ke zaman ini," kata Erdie Vio dengan gaya penceritaannya yang seru dan dramatis.

"Sama denganku kalau begitu," sahut Erwie Vincent santai. "Papa kandungku sudah hampir panggil satpam dan para pembantu untuk membantuku. Aku bilang tidak usah. Cepat-cepat aku buka lorong waktu dan kembali ke zaman ini. Ternyata Rick yang sedang berada dalam bahaya."

"Sama saja sebenarnya bukan? Apa yang terjadi pada salah satu di antara kita akan kontak ke dua yang lain. Memang kalian berdua adalah dua belahan jiwaku, Wie, Die… Untung saja semuanya sudah berlalu dan kalian berdua sudah kembali berada di sampingku kini. Kita takkan terpisahkan lagi bukan?" kata Erick Vildy meraih kedua saudaranya ke dalam sebuah pelukan persaudaraan.

"Iya… Takkan terpisahkan lagi… Seperti mitos anak kembar jadinya… Anak yang terlahir kembar tak boleh terpisahkan. Jika sampai terpisahkan, akan ada hal-hal yang tidak mengenakkan yang bakalan terjadi dalam kehidupan anak kembar tersebut," sahut Erwie Vincent santai sembari memeluk kedua saudaranya.

"Iya… Takkan terpisahkan lagi. Aku sudah merasakannya sekali. Tak enak sekali… Kelak ke depannya aku tak ingin merasakannya lagi. Seperti ada dua bagian dari diriku yang menghilang entah ke mana, dicari-cari tak ada, dan tak tahu harus mengadu kepada siapa sebagai curahan hati. Menyiksa sekali…" kata Erdie Vio sedikit bersungut-sungut.

Makanan sudah hampir habis. Suap-menyuap masih terus berlanjut.

"Ngomong-ngomong, kalian sudah bilang pada calon istri kalian tentang siapa sebenarnya kita?" tanya Erick Vildy.

"Julia Dewi sudah sedikit banyak tahu. Namun, belum semuanya kuceritakan. Ku bilang padanya ke depannya masih ada banyak kesempatannya untuk mendengarkan semua ceritaku," ujar Erwie Vincent.

"Aku sudah cerita setengah ke Sabrina… Ke depannya masih ada banyak waktu deh untuk cerita-cerita. Ini aku dan dia lagi membuat sedikit-sedikit persiapan untuk pernikahan kami akhir tahun nanti," kata Erdie Vio mengulum dan menahan senyumannya.

"Aku juga sudah cerita setengah ke Melisa… Ini juga lagi buat sedikit demi sedikit persiapan pernikahan kami di akhir tahun nanti," kata Erick Vildy agak tersipu malu dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. "Bagaimana dengan rencana pernikahanmu, Wie?"

"Juga sudah sampai tahap setengah, Rick, Die… Ribet sekali… Sungguh… Ribet sekali dalam memperistri anak orang… Tapi, demi cinta bukan? Apa pun harus kita lalui…" kata Erwie Vincent sembari mengulum senyumannya lagi.

"Yah begitulah…" sahut Erick Vildy.

"Sudah siap sarapan nih… Hari ini aku mau ke masa lalu dan menengok keadaan mama kandungku dulu ya, Rick, Wie. Kalian mau ikut?" tanya Erdie Vio kembali menampakkan semangat dan antusiasmenya.

"Tapi katanya manusia yang bukan dari zaman itu tidak bisa ikut juga ke zaman itu. Dewi Ruby kan yang bilang?" tanya Erick Vildy mengangkat kedua bahunya.

"Tenang saja…" kata Erdie Vio mengerling-ngerlingkan matanya dengan nakal. "Aku sudah minta bantuan Dewa Perak untuk meningkatkan kekuatan tiga bintang kemujuran kita. Kini kita bertiga bisa membuka lorong waktu dan pergi ke zaman mana pun sesuka hati kita."

"Yang benar, Die?" Erick Vildy mendekatkan tubuhnya ke adik bungsunya.

"Kau minta begitu dari Dewa Perak? Dia mau mengabulkannya?" tanya Erwie Vincent juga memajukan tubuhnya lebih dekat ke adik bungsunya.

"Tentu saja dia mau dong, Rick, Wie… Kan Dewa Perak adalah kita di masa depan. Kita adalah Dewa Perak di masa lampau. Dia mengabulkannya beberapa saat sebelum dia meninggalkan alam manusia ini dan kembali ke alam dewa sana," kata Erdie Vio dengan seraut kepuasan.

"Oke deh…" kata Erick Vildy penuh semangat kali ini. "Aku ikut ke zamanmu, Die. Sekalian berkenalan dengan mama kandungmu."

"Habis dari zaman Die Die, ke zamanku ya, Rick. Waktu itu aku kembali dalam keadaan panik. Aku sudah berjanji akan kembali mengabari papa kandungku jika keadaan sudah membaik," kata Erwie Vincent lemah lembut nan santai, sembari mengulum senyumannya.

"Tidak masalah. Aku ikut kalian saja… Anggap saja jalan-jalan," kata Erick Vildy tampak sangat bersemangat.

"Ke depannya kita akan sering-sering bolak-balik antara masa lalu dan masa sekarang, Rick, Wie…" kata Erdie Vio sembari melingkarkan kedua tangannya ke leher kedua saudaranya.

Terdengar tawa 3E yang lepas berderai.

Pintu Solidaritas Abadi dibuka dari luar. Serta-merta 3E menoleh ke arah pintu. Tampak 5T yang menjulurkan kepala mereka ke dalam sanggar.

"Boleh kami masuk?" tanya Timothy Ricky agak segan.

"Boleh dong, Tim… Kenapa nggak? Kalian berlima habis lari pagi juga?" tanya Erwie Vincent dengan sebersit senyuman santainya.

Lima T masuk dan juga mendaratkan pantat mereka di ruang makan Solidaritas Abadi. Masing-masing mulai membuka bungkusan makanan masing-masing. Namun, mereka tidak saling menyuapi seperti 3E. Mereka makan dari bungkusan sendiri-sendiri.

"Iya, Bang Erwie Vincent," jawab Thomas Robert. "Habis lari pagi, kami beli sarapan. Sebenarnya mau makan di rumah Teddy, tapi kami lewat sini dan lihat pintu pagar sudah dibuka sepagi ini, jadi kami memutuskan untuk mampir sejenak."

"Iya… Kami lari pagi dan memutuskan untuk sarapan sama-sama di sanggar saja," sahut Erwie Vincent santai nan lemah lembut.

"Keadaan kalian bagaimana? Sudah bisa main naga Imlek hari pertama, seharusnya sudah tidak ada masalah bukan?" tampak senyuman Erick Vildy yang sedikit sumbang, "Sorry… Really really sorry… Gara-gara pertarungan kami dengan Siluman Batu Hitam, kalian berlima juga terluka parah waktu itu. Really sorry, 5T…"

"Tidak apa-apa, Bang Erick Vildy," tukas Theo Rafael, "Yang namanya siluman jahat tetap harus dibasmi bukan? Meski kekuatan kami rendah dan kami bukan siapa-siapa, kami tetap takkan diam begitu saja melihat adanya ketidakadilan di depan kami."

Tiga E hanya tersenyum mendengar kata-kata Theo Rafael.

"Tapi keren juga sih dipikir-pikir…" celetuk Teddy Revan.

"Apanya yang keren?" tanya Erick Vildy kurang mengerti.

"Ya kekuatan Abang bertiga dong…" sahut Teddy Revan lagi, "Sejak kecil aku hanya menonton di TV saja kekuatan-kekuatan supranatural seperti itu. Sekarang baru berkesempatan melihatnya secara langsung. Sungguh tidak bisa dipercaya."

"Tapi itu benaran kan, Ted? Waktu Bang Erwie Vincent diserang ular-ular hitam siluman jahat itu, aku benar-benar berpikir Bang Erwie Vincent sudah tidak terselamatkan lagi deh. Ternyata pagi ini Bang Erwie Vincent masih sehat walafiat di depanku," ujar Tommy Rido.

"Dan ketika tubuh Bang Erick Vildy sudah semakin dan semakin hitam karena racun itu, aku kira Bang Erick Vildy juga sudah tidak selamat. Namun, ternyata pagi ini Bang Erick Vildy masih segar-bugar duduk di hadapanku," sambung Thomas Robert.

"Apakah memang sejak kecil Abang bertiga memiliki kekuatan seperti itu?" tanya Timothy Ricky.

Tiga E mengangguk berbarengan.

"Percaya tidak percaya, itu adalah kekuatan tiga bintang kemujuran dari alam dewa sana, 5T. Konon, tiga bintang kemujuran ini dipercaya oleh para dewa memiliki tiga kekuatan tertinggi untuk bisa menetralisir semua energi kebencian, keserakahan dan kebodohan di seluruh alam semesta ini," kata Erdie Vio dengan sebersit senyuman lebarnya.

"Maka dari itu, kami bertiga bisa mengalahkan Siluman Batu Hitam dengan menggunakan kekuatan dari tiga bintang kemujuran ini," sambung Erwie Vincent lemah lembut nan santai.

"Tapi ingat ya… Karena kalian sudah tahu tentang kekuatan tiga bintang kemujuran, kalian tidak boleh cerita ke siapa pun soal ini ya, termasuk ke Steve, Marco, dan Quentin yang waktu itu tidak berada di tempat kejadian. Oke ya…? Kalian bahkan harus merahasiakan hal ini dari anggota keluarga kalian. Bisa kan…?" kata Erick Vildy memberi suatu peringatan kecil.

"Kalau terlalu banyak orang yang tahu, posisi kami nanti jadi sulit. Sudah ada 3Y yang tahu tentang kekuatan tiga bintang kemujuran ini. Sekarang kalian 5T juga tahu. Nanti kalau terlalu banyak orang yang tahu, kami susah jadi orang," kata Erdie Vio dengan sebersit senyuman hambarnya.

"Kami berjanji takkan menceritakannya kepada siapa-siapa," tukas Teddy Revan mengangkat kedua tangannya.

"Rahasia Abang bertiga aman deh bersama kami," sambung Timothy Ricky.

"Kami juga tahu hal-hal mistis dan supranatural seperti ini pasti akan menimbulkan suatu kehebohan tersendiri dalam masyarakat. Kami takkan cerita ke siapa pun juga, Bang," sambung Thomas Robert.

"Oke deh… Kami bertiga mau ke suatu tempat dulu. Kalian berlima bisa jagain sanggar dulu tidak, kira-kira sampai jam 11 siang nanti?" tanya Erdie Vio dengan senyuman khasnya yang penuh dengan keceriaan dan antusiasme.

"Bisa… Bisa… Bisa…" kata Theo Rafael mewakili keempat saudara sepupunya.

"Hari ini kami masih liburan Imlek, Bang. Kami bisa bantuin Abang bertiga jagain sanggar sampai Abang bertiga balik nanti siang," kata Tommy Rido.

"Oke deh… Thanks very much kalau begitu…" kata Erick Vildy dengan senyuman lebarnya.

"Makan siang nanti kalian makan di sini saja. Kak Julia Dewi nanti siang akan ke sini dan masak buat kita semua," kata Erwie Vincent.

Lima T bertepuk tangan penuh semangat menyambut pernyataan Erwie Vincent.

***

Dewa Perak sedang duduk bersantai di depan halaman istananya. Dia baru saja pulang dari rapat distrik dengan Maha Dewa dan empat dewa distrik lainnya. Sudah saatnya bersantai dan mencicipi teh di sore hari setelah seharian melalui banyak pembahasan dan pertimbangan dalam rapat distrik dengan Maha Dewa dan empat dewa distrik lainnya.

"Pa… Papa… Lihat Dewi Semangka selalu berebutan mainan denganku," terdengar rengekan Dewi Nenas.

"Kau sendiri saja merebut mainanku dan mainan Dewi Melon ketika Papa dan Mama tidak ada di istana sepanjang pagi dan siang tadi, Dewi Nenas," protes Dewi Semangka balik. Dewi Nenas terdiam tidak bisa berkata apa-apa karena ia sadar sepanjang pagi dan siang tadi, ia juga ada berebutan mainan dengan kedua saudaranya.

Dewi Melon membela Dewi Semangka, "Ya… Tadi pagi dan siang ketika Papa dan Mama tidak ada di istana, kau berebutan mainan bonekaku dan alat masak-masakanku juga, Dewi Nenas."

"Itu kan kau mainnya sudah dari tadi pagi. Sudah lama kau mainnya. Ya seharusnya sudah tiba giliranku bermain dong…" protes kembali Dewi Nenas.

Dewi Ruby menghidangkan sedikit cemilan sore ke halaman istana untuk sang suami dan ketiga putrinya.

"Hei! Hei! Hei! Dewi Semangka! Dewi Nenas! Dewi Melon! Kan Mama sudah bilang mainan-mainan yang ada harus dikongsi antara kalian bertiga. Dewi Semangka… Dewi Melon… Lain kali satu mainan tidak boleh dimainkan untuk waktu yang terlalu lama ya… Dewi Nenas… Lain kali, kalau ada apa-apa, harus bicarakan secara baik-baik dengan kedua saudaramu ya… Tidak boleh main rebut dan main rampas begitu saja ya. Itu namanya tidak beretika dan tidak sopan. Mama paling tidak suka dengan dewi-dewi kecil yang kerjaannya hanya main rebut main rampas begitu ya. Mengerti ya…?" kata Dewi Ruby memberi suatu ceramah panjang lebar kepada ketiga anaknya.

"Iya, Ma…" jawab ketiga anaknya serempak.

"Heran Mama lihat kalian," kembali Dewi Ruby menggerutu. "Kalian itu adalah tiga bersaudara. Kenapa kalian asyik bertengkar dan berebutan saja? Kenapa kalian tidak bisa sekompak dan seiya sekata seperti 3E yang ada di alam manusia itu?"

Kali ini Dewa Perak yang meledak dalam tawa renyahnya, "Kau menjadikan 3E sebagai contoh teladan bagi Dewi Semangka, Dewi Nenas, dan Dewi Melon. Macam mereka kenal saja dengan 3E itu, Dewi Ruby."

"Ketika mereka agak besar nanti, tentu saja aku akan mengajak mereka ke alam manusia. Aku akan mengenalkan mereka pada 3E dan ketiga istri mereka itu. Dewi Semangka, Dewi Nenas, dan Dewi Melon pasti akan terheran-heran melihat ketiga istri 3E itu yang hampir-hampir mirip dengan mereka," kata Dewi Ruby sedikit menyeringai.

"Iya ya…" celetuk Dewa Perak menyesap sedikit tehnya. "Jika diperhatikan secara saksama, ketiga anak kita mirip dengan Melisa Rayadi, Julia Dewi, dan Sabrina Marcelina itu, Dewi Ruby."

"Takdir, jodoh, karma, dan entah apalah itu, Dewa Perak…" kata Dewi Ruby menikmati cemilannya pada sore hari itu. "Di tiga kehidupan lampaumu, mereka menjadi istri dan pendamping hidupmu. Di kehidupanmu yang sekarang, mereka terlahir menjadi ketiga anakmu. Misteri ya… Sungguh suatu misteri…"

Dewa Perak mengangguk santai dan meraih sang istri ke dalam pelukannya.

"Iya… Sungguh suatu misteri yang tidak terpecahkan, Dewi Ruby. Kita ikuti saja ke mana misteri jodoh dan karma itu akan membawa kita. Setuju, Sayang?"

Dewi Ruby hanya mengangguk lembut. Ketenangan dan kebahagiaan menggelincir ke padang sanubari hati.

***

EPILOG

Medan, 24 Februari 2019

Gilbert Yuwin mengarahkan tiang-tiang yang sedang dipegang oleh 5T, Steve Gabriel, Quentin Farson, dan Marco Angelo. Ini sudah hari kedua Gilbert Yuwin pulang ke Medan dan menginap di sanggar Solidaritas Abadi. Dia memang sengaja pulang ke Medan untuk membantu 3E mempersiapkan anak-anak didik mereka untuk mengikuti turnamen naga se-Asia di Kuala Lumpur bulan Maret mendatang.

Sementara itu, tampak Erwie Vincent sedang mengajari Melisa Rayadi, Julia Dewi, dan Sabrina Marcelina beberapa rumus musik pengiring naga yang baru.

Erdie Vio dan Erick Vildy tampak sedang memperhatikan pos akhir yang sedang dirancang oleh Gilbert Yuwin.

"Kira-kira begini sudah bisa tidak?" tanya Gilbert Yuwin kepada dua bersaudara itu. "Di Kuala Lumpur sekarang, memang pos ini yang sering dipakai di saat ada atraksi-atraksi untuk grand opening atau untuk perlombaan-perlombaan baik yang nasional maupun yang internasional."

"Bagaimana menurutmu, Rick? Aku rasa sudah bisa deh…" kata Erdie Vio mangut-mangut.

"Sudah boleh deh… Berbentuk bintang kan?" celetuk Erick Vildy mangut-mangut juga. Dia ke tiang tiga yang dipegang oleh Tommy Rido dan membetulkan posisinya sejenak. Dia ke tiang delapan yang dipegang oleh Timothy Ricky dan membetulkan posisinya sejenak.

"Sudah oke deh… Memang aku masih jarang melihat ada pos akhir di Medan sini yang berbentuk bintang segienam seperti ini sih, Bert," tukas Erick Vildy.

"Oke deh… Kalau begitu, kita putuskan pos awalnya berbentuk spiral seperti yang tadi, diikuti dengan atraksi mutiara naga dan musik pengiringnya. Pos akhirnya berbentuk seperti bintang segienam seperti ini ya…" kata Gilbert Yuwin memberi isyarat kepada seluruh pemain tiang untuk menurunkan tiang mereka sejenak.

"Istirahat dulu… Lima belas menit lagi kita ulangi lagi latihan untuk satu skenario yang tadi ya, Teman-teman…" terdengar suara Erdie Vio di seisi auditorium lantai satu.

"Oke… Jadi rumus musik pembukanya seperti yang tadi saja ya…" kata Erwie Vincent kepada ketiga kekasih pujaan hati 3E dan kepada Gilbert Yuwin yang kebetulan membantu mereka memukul simbal naga kecil.

tang tang chi… tang tang chi… tang chi tang chi tang chi chi… Erwie Vincent mengulang rumus musik pengiring itu sebanyak tiga set. Dilanjutkan dengan rumus perpaduan tiga set irama cepat.

chi tang chi chi tang…

chi tang chi tang chi chi tang…

tang cer tang cer… tang chi tang chi tang cher…

Erwie Vincent menghentikan musik pembukanya hanya sampai di sana. "Musik pembuka untuk atraksi mutiara naga hanya sampai di sana. Mutiara naga akan berhenti. Seluruh badan naga akan bergetar dan kita semua akan masuk ke gerakan pertama dari skenario yang ada."

Tiga kekasih pujaan hati mereka mengangguk mantap. Gilbert Yuwin juga mengangguk mantap. Tampak Erdie Vio yang datang mendekat dan meletakkan siku kanannya ke bahu si saudara tengah.

"Break saja dulu sebentar, Wie… Julia kan bisa memasakkan mie goreng untuk kita semua makan begitu latihan ini selesai nanti," kata Erdie Vio pura-pura bersungut-sungut.

Erwie Vincent meletakkan kedua tongkat pemukulnya ke atas tambur. Dia melingkarkan lengannya ke leher si saudara bungsu dan pura-pura mencekiknya.

"Iya, Die... Iya, Die… Break sebentar dulu… Break sebentar dulu… Aku tahu perutmu sudah keroncongan, makanya kau segera minta tolong Julia masakkan mie goreng bukan?" terdengar suara Erwie Vincent yang serak-serak basah nan lemah lembut meski dia terlihat sangat kegirangan.

Julia Dewi tersenyum cerah sembari berjalan ke arah dapur untuk segera menyiapkan makanan mereka sehabis latihan.

"Aku yang akan siapkan minum," kata Melisa Rayadi mengikuti Julia Dewi ke dapur.

"Aku bantu kalian. Tunggu aku…" kata Sabrina Marcelina juga menyusul ke arah dapur.

Tampak Erick Vildy yang bercakap-cakap dengan 5T. Tampak Erwie Vincent yang bercakap-cakap dengan Steve Gabriel, Marco Angelo, dan Quentin Farson.

"Bisa ya, Semuanya?" tanya Erick Vildy.

"Turnamen kali ini berskala internasional. Terus terang saja, Bang Erick Vildy… Aku agak gugup," celetuk Theo Rafael.

"Tidak usah khawatir. Asalkan kita tekun latihan, dan kita menguasai skenario kita sendiri, kita takkan malu-maluin di depan para penonton," kata Erick Vildy penuh semangat.

"Penilaiannya pasti lebih ketat daripada turnamen-turnamen lokal, Bang Erick Vildy," ujar Tommy Rido.

"Jelas dong… Makanya jangan sampai berbuat kesalahan di setiap gerakan yang ada dalam skenario kita…" sahut Erick Vildy.

"Lalu… Sesampainya di sana, kita akan menginap di hotel yang mana, Bang Erick Vildy?" tanya Timothy Ricky.

"Acara perlombaannya dekat dengan hotel kita menginap?" tanya Thomas Robert. Mendengar itu, Erick Vildy hanya mengangguk mantap.

"Jauh kan bisa naik MRT kan, Bang Erick Vildy?" tanya Teddy Revan sangat gugup dan kegirangan dalam waktu bersamaan. Jelas tampak ia tidak pernah ke luar negeri sebelumnya. Mendengar itu, Erick Vildy juga hanya mengangguk mengiyakan.

"Hotel selama di sana sudah kami urus. Kalian hanya bayar tiket pesawat kalian masing-masing saja. Untuk transportasi di sana, makan-makan, dan biaya hotel sudah kami atur sedemikian rupa. Kalian tinggal berangkat saja. Persiapkan stamina sehingga kalian bisa mengikuti pertandingan dengan baik," tukas Erick Vildy dengan sebersit senyuman lebarnya.

"Iya, Bang Erick Vildy," jawab 5T serempak.

"Jadi… Jadi sesampainya di sana langsung acara pertandingannya atau bagaimana, Bang?" tanya Steve Gabriel yang kelihatan begitu kegirangan dengan turnamen naga se-Asia yang bakalan diikutinya kali ini.

"Kita turun dulu ke hotel atau langsung ke tempat pertandingan, Bang Erwie Vincent?" tanya Quentin Farson juga sama girangnya dengan Steve Gabriel.

"Tentu saja turun ke hotel dulu, Quentin, Steve… Akan ada welcome dinner dulu dan habis itu, ada technical meeting dan pengumpulan formulir pendaftaran ulang. Habis itu, para peserta boleh tes main sekali dulu di arena pertandingan yang sesungguhnya. Habis itu, istirahat di hotel. Turnamen sesungguhnya akan dimulai pada keesokan harinya," Erwie Vincent menjelaskan panjang lebar kepada beberapa anak didiknya yang baru ini.

"Aku dengar sebelum pertandingan dimulai, masing-masing tim akan diminta untuk cabut nomor urut pertandingan. Iya kan, Bang Erwie Vincent?" tanya Marco Angelo yang juga tak kalah girangnya dibandingkan dengan teman-teman timnya yang lain.

"Iya, Marco… Kadang nomor urut pertandingan bisa saja sudah diambil pada saat technical meeting. Dan kadang nomor urut bisa saja baru diambil beberapa menit sebelum pertandingan dimulai. Tergantung pada kebijakan dan peraturan yang ditentukan oleh pihak panitia," kata Erwie Vincent menjelaskan panjang lebar lagi. Dia tersenyum-senyum sendiri melihat sikap beberapa anggota Solidaritas Abadi yang baru ini, yang sudah tidak sabar ingin berangkat ke Kuala Lumpur mengikuti pertandingan tersebut.

"Jadi benaran nih akhir tahun ini 3E akan melangsungkan pernikahan mereka?" tanya Gilbert Yuwin mengerling-ngerling penuh arti ke Erdie Vio. "Aku dengar dari Oom Faiz dan Tante Florencia loh kemarin malam."

"Ya sudah… Kalau kau dengarnya dari papa mamaku, berarti informasi itu sudah akurat. Ngapain lagi kau tanya-tanya ke aku? Sudah tahu, tanya lagi…" kata Erdie Vio pura-pura bersungut-sungut.

Gilbert Yuwin terbahak sejenak, "Kalau dengar langsung darimu kan lebih pasti dan lebih seru dong, Die. Jadi bagaimana dengan persiapan pernikahanmu akhir tahun ini? Sudah berapa persen?"

"Sudah setengah. Berhenti dulu. Pulang dari pertandingan Maret nanti baru dilanjutkan lagi persiapannya," kata Erdie Vio mengerling-ngerlingkan matanya dengan penuh semangat dan antusiasme.

Gilbert Yuwin terbahak lagi.

"Kau sendiri? Setelah pertandingan Maret nanti, kau akan tetap tinggal di Kuala Lumpur?" tanya Erdie Vio lagi.

"Iya dong… Pacarku orang sana loh, Die. Tak mungkin dalam masa pendekatan dan penjajakan seperti ini aku langsung memaksanya untuk tinggal di Medan. Kan aku tidak sepertimu, yang sudah punya rencana pernikahan di akhir tahun ini," kata Gilbert Yuwin sedikit menyeringai.

Erdie Vio menyiku pinggang temannya. Gilbert Yuwin terbahak lagi. Erick Vildy dan Erwie Vincent menghampiri mereka.

"Ternyata si Gilbert ini diam-diam sudah punya pacar di KL sana, Rick, Wie," kata Erdie Vio kepada kedua saudaranya.

"Selamat dong… Jangan-jangan kau juga punya rencana menikah di akhir tahun seperti kami bertiga, Bert," kata Erick Vildy dengan senyuman lebarnya.

"Tidak dong… Pacaran saja baru tiga bulan belakangan ini, Rick. Pelan-pelan lihat dulu. Nanti baru diputuskan ke depannya mau bagaimana. Kan aku dua tahun lebih muda dari kalian. Aku tidak terburu-buru seperti kalian, 3E…" kata Gilbert Yuwin kembali meledak dalam tawa renyahnya.

Erdie Vio kembali menyiku pinggang temannya. Erwie Vincent hanya mengulum senyumannya. Erick Vildy juga meledak dalam tawa renyahnya.

"Menurutmu bagaimana kemampuan mereka semua, Bert?" tanya Erwie Vincent santai nan lemah lembut.

"Sudah 70% memenuhi kriteria tiga juara besar sih, Wie," jawab Gilbert Yuwin agak serius kali ini. "Masih ada dua minggu lagi. Jangan khawatir. Aku yakin dengan kesungguhan dan tekad mereka yang seperti sekarang, tim kita pasti bisa masuk tiga besar minimal."

"Yooss…!!" tampak Erick Vildy sangat bersemangat terhadap pertandingan naga se-Asia Maret nanti. "Ala bisa karena biasa. Mari kita tingkatkan semangat kita semua untuk pertandingan naga Maret nanti. Kita pasti bisa."

"Jadi ingin menyanyikan satu lagu tentang keyakinan dan semangat yang pernah kita karang sama-sama waktu SMA dulu, Rick, Die," kata Erwie Vincent dengan senyuman santainya.

"Iya… Lagu tentang keyakinan bahwa kita bisa menghapus kegelapan tak berujung dengan pedang harapan hari esok, bahwa segala kenangan ini akan berubah menjadi sebentuk kekuatan dalam pikiran kita – kekuatan untuk memperdengarkan mimpi kita pada seluruh dunia. Itu kan?" tampak senyuman khas Erdie Vio yang penuh dengan keceriaan dan antusiasme.

Tiga E mulai bernyanyi. Tiga kekasih pujaan hati dan seluruh anggota Solidaritas Abadi mulai mengikuti mereka – dengan penuh keceriaan, penuh antusiasme.

Keceriaan dan kegembiraan menyelangkupi padang sanubari hati semuanya.

SELESAI