webnovel

365 Days Angela

Bagaimana rasanya terlibat cinta dengan 3 lelaki sekaligus??? Pertama, dengan sahabat sendiri. Kedua, dengan selebriti sekolah dengan basis fans halu tingkat akhirat. Ketiga, dijodohkan paksa dengan guru olahraga killer dan songong. Angela Kamaratih, yang baru saja menerima tantangan 365 hari untuk mengubah hidup datarnya menjadi lebih berwarna, dihadapkan pada situasi yang bikin puyeng. Ia sudah memilih satu lelaki, namun dua lainnya masih membayanginya, Membuat hari-harinya dipenuhi drama yang menguras emosi dan bikin tensi naik. "Kita berdua nggak boleh saling jatuh cinta." Sama-sama menolak perjodohan, Angela dan Valdy memilih menjalin hubungan dengan orang yang memang mereka inginkan. Dan untuk mengelabui keluarga, mereka saling membantu dengan akting romantis dan sikap manis. Padahal di belakang layar, nggak ada kata akur bagi mereka! Berantem tiap hari! Tapi seiring waktu berjalan, Angela sadar ia harus memilih. Jika tidak, ia akan kehilangan segalanya, dan semua karena kebodohannya. Cover by Pixabay

Karayu_S · Teen
Not enough ratings
206 Chs

Nyaris Saja!

Angela tak mampu menyingkirkan senyum dari wajahnya. Roni mengantarnya pulang sebelum jam 6 sore, mengecup tangannya dengan sangat manis dan kembali membisikkan kata-kata romantis sebelum akhirnya pergi. Angela hanya bisa melompat-lompat riang sepanjang perjalanannya dari gerbang hingga pintu depan. Demamnya sudah lama lenyap, tersapu bersih oleh gelora kebahagiaannya setelah kencan pertamanya dengan Roni.

Ia masuk ke dalam rumah sambil berputar-putar layaknya ballerina, masih mendambakan waktu yang lebih panjang bersama Roni. Namun kekasihnya itu mengatakan akan main basket bersama teman-temannya, janji yang tak bisa dihindari, dan ia berjanji akan menghubungi Angela setelahnya. Angela jadi tak sabar menunggu jam 8 malam tiba.

Suara bel dari gerbang membuatnya tersentak, sedikit heran, mengira-ngira siapa yang datang. Roni tak mungkin datang lagi, karena mengejar waktu untuk bersiap sebelum bertemu teman-temannya di GOR. Angela melangkah ke arah gerbang dan membuka kuncinya. Saat ia menggeser gerbang sedikit, matanya kontan membelalak.

"Hai, Angela sayang! Tante kangen banget sama kamu!"

Angela hanya ternganga saat Mirna memeluknya dengan antusias. Sosok Valdy yang berdiri di belakang Mirna terlihat muram dan dingin. Lelaki itu mengisyaratkan gerakan memotong leher dengan satu tangan, membuat Angela meringis seketika.

"Ayo, menginap di rumah Tante! Orangtuamu sudah setuju, Sayang. Siapkan barang-barangmu ya."

Tolong….

***

Ini sih terlalu cepat dari sepuluh tahun yang diajukan Valdy ke orangtua mereka, pikir Angela. Ia menyuap makanannya, sesekali menjawab jika Mirna atau Jagad bertanya padanya. Devon, adik Valdy, hanya menatapnya dengan ingin tahu, persis sekali dengan kakaknya yang bertampang dingin sedari tadi.

Suasana di sekitar mereka cukup ramai. Resto tempat mereka makan malam bersama adalah milik keluarga Valdy, yang letaknya di pusat kota Jenggala, bernuansa modern ala Skandinavian yang didominasi warna putih. Menunya beragam dengan harga bersahabat, belum lagi kualitas makanannya yang layak mendapat pujian. Seandainya saja situasinya berbeda, Angela akan sangat menikmati menu pesanannya yang berupa chicken cordon bleu.

"Ponselnya ditaruh dulu, Devon." Mirna menegur Devon, yang menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di sebelah piringnya.

Angela mengawasi sekitarnya dengan keresahan yang berusaha disembunyikannya baik-baik. Ia tak ingin salah satu pengunjung mengenalinya di tempat ini, tengah makan bersama keluarga Valdy. Ia telah menggerai rambutnya, membiarkannya menjuntai di kedua pipinya agar menyamarkan wajahnya.

"Gimana Valdy kalau mengajar, Angela?" tanya Jagad, membuat Angela hampir tersedak ayamnya. Valdy melirik tajam ke arahnya, tak berpaling sedikitpun. Ingatan olahraga terakhir melintas di kepala Angela.

"Hmm… Nggak seperti guru sebelumnya, Om." Angela menjawab diplomatis, melirik Valdy jengkel.

"Galak atau gimana? Nggak usah takut. Masa takut sama Valdy. Nanti juga jadi suami." Mirna tersenyum menatap Angela dan Valdy. Angela menggigit bibir untuk menahan luapan emosinya.

"Tegas. Biasa aja, nggak galak kok, Tante." Dilihatnya Valdy menyipitkan mata, curiga.

Makanya jangan suruh gue remedial lagi, batin Angela.

"Kamu suka diajar sama Valdy?"

"Hmm… Yang jelas Angela belajar banyak dari Valdy, dan sekarang jadi lebih bisa berolahraga dibanding dulu." Angela tersenyum manis, lalu menyeruput es jeruknya, ingin sekali pergi dari tempat itu.

"Yang baik sama Angela, Valdy. Jangan galak sama calon istri sendiri." Jagad menasehatinya, membuat Valdy makin memelototi Angela. Angela balas memelototinya. Di luar dugaan, Devon terkikik.

"Kenapa tertawa, Devon?" tanya Mirna curiga.

"Itu… Aduh!"

Devon membelalak pada kakaknya. Angela yakin bocah itu baru saja ditendang dari bawah meja dengan kecepatan kilat, membungkamnya dalam sekejap.

"Nggak jadi, Ma." Devon meringis, dan Angela mendengar suara gedubrakan di bawah meja. Valdy berjengit pada adiknya, sedikit membungkuk di kursinya untuk mengusap kakinya.

Angela memutar bola mata melihat tingkah kedua kakak beradik itu, lalu kembali memusatkan perhatian pada orang-orang di sekitar mereka. Beberapa pengunjung masuk ke dalam resto, dan mata Angela melebar melihat sosok berambut panjang ikal muncul di pintu. Karina.

Angela spontan membungkuk di kursinya saat Karina melayangkan pandang ke seputar ruangan. Ia datang bersama kedua orangtuanya, memakai gaun terusan pink yang mencolok di keramaian. Angela pura-pura mengambil tisu yang dijatuhkannya ke lantai, lalu sedikit demi sedikit menaikkan kepala ke tepi meja untuk mengintip. Karina berjalan menuju satu meja kosong tak jauh dari meja mereka, masih memandang ke sekitarnya.

"Kenapa, Angela?" tanya Mirna yang keheranan melihat kelakuan aneh Angela.

"Nggak apa-apa, Tante. Eh…" Karina terlihat memandang ke meja mereka, mengamati sosok Valdy dari samping. Sial…. Sedikit lagi ia akan melihat gue, pikir Angela panik. "Kaki Angela mendadak sakit."

Angela memberi isyarat pada Valdy, yang mengernyit membaca gerakan bibir Angela. Saat akhirnya ia menangkap maksudnya, Angela melihat Karina telah berdiri, dengan senyum manis berjalan mendekat. Angela dengan kalut menunjuk arah toilet dan melambaikan tangan meminta Valdy menahan Karina. Valdy melebarkan mata. Tiga orang lain di sekitar mereka saling pandang dengan bingung melihat kelakuan Angela dan Valdy.

Angela menghitung sampai hitungan dua, lalu mengepalkan tangan. Valdy bangkit dari kursinya dan berbalik, berhadapan langsung dengan Karina, yang tersentak kaget melihat Valdy mendadak berdiri tegap di hadapannya.

"Oh, hai, Karina."

Angela lalu berjalan membungkuk ke arah toilet, sementara Valdy menghalangi pandangan Karina ke arah Angela dengan tubuh jangkungnya.

"Sakit perut, tante. Nggak tahan. Toilet." Angela menjawab cepat dan melesat secepat yang dimungkinkannya ke arah toilet. Setelah berhasil masuk ke satu bilik yang kosong dan menguncinya, ia mendesah lega, menghembuskan napas panjang sambil duduk dengan lunglai di atas tutup toilet.

"Ya Semesta…. Dua kali dalam satu hari…" Ia menggumam sendiri. "Apa maksudnya semua ini?"

***

"Oh, hai, Karina."

Valdy menyaksikan wajah cantik di hadapannya tersentak dan berhenti melangkah, lalu senyum Karina mengembang. Penampilannya manis sekali, dengan gaun pink yang senada dengan warna bibirnya. Gadis itu memandangnya dengan antusias dan sepasang mata berkilauan.

"Hai, Val. Nggak nyangka banget ketemu kamu disini."

Wajah Karina merona. Ia memandang ke arah tiga orang di meja Valdy, sedikit mengerutkan kening saat melihat sesosok gadis dalam gaun ungu pendek berkelebat lenyap di balik tubuh seorang waiter. Valdy mengikuti arah tatapannya dan menggeser tubuhnya untuk menutupi pandangannya.

"Sama siapa, Rin?" tanya Valdy.

"Sama mama dan papa. Kamu?"

"Oh, ini orangtuaku, juga adikku." Valdy melambai ke arah orangtuanya. Mirna tersernyum pada Karina, lalu kembali memalingkan kepala ke arah toilet, terlihat cemas.

Karina menyalami kedua orangtua Valdy, lalu Devon, yang terlihat cengengesan dan melempar pandang menegur pada Valdy. Valdy membelalak penuh ancaman padanya dan bocah itu terkikik.

"Oh, muridnya Valdy di sekolah?" tanya Mirna. "Jangan-jangan sekelas dengan…"

"Sebaiknya jangan lama-lama ngobrolnya, Ma." Valdy memotong ucapan mamanya. "Karina baru sampai, pasti ingin memesan makanan." Valdy melirik ke arah toilet, tak ada tanda-tanda Angela. "Silakan lanjut, Rin. Sampai ketemu lagi di sekolah." Valdy tersenyum padanya.

Senyum di wajah Karina mendadak lenyap berganti cemberut.

"Oh." Karina lalu mengangguk pada Jagad, dan Mirna, yang kembali memandang cemas ke arah toilet. "Sampai jumpa lagi, Om, Tante, Devon." Antusiasmenya lenyap. Ia melirik Valdy dengan tatapan merajuk.

"Kenapa?" tanya Valdy heran, dengan suara pelan.

"Nggak suka ya kalo ketemu aku?" Karina berkata, tanpa berniat memelankan suaranya sama sekali, membuat Mirna menoleh dengan penasaran. "Kamu bahkan nggak memuji penampilanku kayak biasanya."

Haissshh… Dasar bocah, pikir Valdy, ngambeknya tak melihat tempat dan situasi!

"Maaf, tapi aku sedang ada acara keluarga, Rin." Valdy yakin setelah ini Mirna akan menanyainya dengan gencar mengenai ada apa antara dirinya dan Karina. Dan sebelum Mirna curiga lebih jauh lalu mulai lagi dengan keputusan-keputusan sepihak dan nekatnya, Karina lebih baik menjauh. "Sampai jumpa di sekolah Senin nanti." Valdy mengangguk padanya.

Karina terlihat berang, menghentakkan satu kaki dengan jengkel lalu berbalik pergi, kembali ke mejanya. Valdy menghela napas dalam, memikirkan dengan cepat kemungkinan terburuk dari upaya pedekatenya dengan Karina yang sudah setengah jalan. Tapi masih lebih baik menghadapi Karina yang ngambek ketimbang menghadapi kemarahan Mirna, yang bisa saja muncul dengan gagasan baru, seperti misalnya : meresmikan pertunangannya dengan Angela dan mengumumkannya ke publik.

Itu, akan menjadi akhir dunia, alias kiamat!

"Dia cuma muridmu kan, Nak? Kenapa sikapnya manja begitu di depanmu?" Mirna memulai interogasinya saat Valdy telah duduk kembali.

"Banyak yang seperti itu, Ma." Valdy mencoba berkilah. "Bukan cuma Karina."

"Bersikap tegas dong! Jika dibiarkan nanti mereka ngelunjak." Mirna berdecak. "Apa Angela semanja itu juga padamu?" Mirna bertanya dengan nada menggoda yang membuat Valdy tersentak.

Benak Valdy dipenuhi omelan Angela, kelakuan tak berakhlaknya di jam olahraga, lalu insiden detensi yang masih membekas di ingatan dan juga kakinya. Tanpa sadar Valdy mengepalkan tangannya, gatal ingin menjitak tunangan tengilnya itu.

"Kurang lebih begitu." Valdy menjawab, tak tahu harus jujur atau berbohong, tak ingin menyeret dirinya ke lubang jebakan lain.

"Hmm…" Mirna bertukar pandang dengan Jagad, terlihat berpikir. Valdy merasakan tanda bahaya dan buru-buru mengoreksi.

"Tapi Angela itu pemalu banget, jadi nggak akan terang-terangan menunjukkan perasaannya, Ma. Jangan dipaksa-paksa, nanti dia malah stress, tambah sakit nanti." Valdy berharap orangtuanya meninggalkan topik ini secepatnya.

"Sakit? Haduh… Pantesan lama sekali di toilet. Angela sakit apa, Nak? Kenapa kamu nggak cerita-cerita?" Mirna berubah cemas dan bangkit. "Mama susul dulu ke toilet."

"Valdy aja, Ma." Valdy mengutuki kecerobohannya sendiri. "Mama lanjut aja makan. Valdy sudah selesai."

"Pastikan dia baik-baik aja, Valdy."

"Tenang, Ma."

Valdy lalu berjalan ke arah toilet, menepuk lengan satu waitress yang lewat dan memintanya menemukan Angela di dalam toilet wanita. Sementara menunggu, Valdy berusaha menghubunginya melalui ponselnya. Tak tersambung sama sekali, nada sibuk.

"Haiss… Ngapain pula tuh bocah di dalam?" Ia memaki pelan dan kembali menghubunginya. Gagal lagi. Waitress tadi keluar dari toilet, dan melapor padanya.

"Disuruh nunggu di parkiran, Pak Valdy. Lima menit lagi, nanti dia keluar sendiri."

"Mona, tolong tungguin dia, lalu antar ke parkiran." Valdy melirik ke arah supervisor resto, Grace, yang berdiri di dekat pintu masuk bersama satu waitress lain. "Saya nanti yang kasih tahu Grace kalo kamu meninggalkan posmu."

"Siap, Pak Valdy. Saya masuk lagi."

"Oke, Mona. Terima kasih banyak."

Valdy mendahului yang lain berjalan ke tempat parkir, mampir sebentar untuk memberitahu Grace, yang dengan sigap mengiyakan kata-katanya. Ia berdiri bersandar di mobil keluarganya sambil mengawasi pintu resto. Kurang dari lima menit, Angela keluar bersama Mona. Gadis itu celingukan dengan gelisah untuk menemukannya di area parkir yang luas. Valdy menghubungi ponselnya yang seketika diangkatnya.

"Aku disini, La. Arah jam 9."

Angela menoleh dan Valdy melambai padanya. Gadis itu menurunkan ponsel dan melangkah cepat ke arahnya. Rambutnya yang panjang melambai di sekeliling wajahnya, tertiup angin sepoi yang berhembus.

"Val, aku nggak tahu harus bilang apa…"

Valdy menarik tangannya dan membawanya ke arah belakang mobil yang lebih tersembunyi. Angela terlihat sama gelisahnya seperti sebelumnya walaupun kini mereka berada dalam posisi yang aman dan tak terlihat oleh siapapun.

"Kenapa?" tanya Valdy. "Kita masuk saja ke mobil."

Angela mengangguk cepat menyetujui usulnya, lalu buru-buru masuk saat Valdy membukakan pintu untuknya. Valdy ikut masuk dan duduk di kursi pengemudi, menghidupkan mesin mobil dan AC. Ia lalu keluar lagi dan membuka pintu di sebelah Angela, duduk di sebelah gadis itu dalam kursi terpisah.

"Calm down, La. Ada apa?" tanya Valdy, masih penasaran pada wajah Angela yang dipenuhi kecemasan.

"Karina nggak melihatku kan?" Valdy menggeleng. "Kamu yakin soal itu?"

"La, aku bisa jamin…"

"Val, kalo ketahuan orangtuamu soal permainan kita, apa yang akan terjadi? Aku takut banget, Val. Hari ini dua kali hampir kejadian. Orangtuamu nggak curiga kan, Val?"

"Nggak akan ketahuan." Valdy menukas, walaupun ia juga bertanya-tanya sendiri, sama seperti Angela. "Yang penting di depan mereka, kita bisa terlihat dekat dan jangan bertengkar sama sekali." Valdy memandangnya serius. "Kamu bisa melakukan itu? Bisa berakting bahwa kita tunangan yang baik-baik saja? Kalau enggak, Mama akan melakukan hal lain untuk mendekatkan kita, La."

Angela menutup wajah dengan kedua telapak tangan, Valdy mendengar suara erangannya yang lirih.

"Cuma akting, La."

"Ya, bisa. Aku harus melakukannya." Angela melepas tangannya dan menyandarkan kepala di sandaran kursi. Sepasang matanya memandang Valdy dengan sendu. "Thanks, Val. Untuk hari ini. Kita partner in crime yang kompak." Senyum merekah di wajahnya yang masih lesu. "Suatu saat jika kamu butuh bantuanku, aku siap membantu."

Valdy mengangguk.

"Berusahalah lebih keras, Angela." Ia menyandarkan punggung di kursinya, menolehkan kepala untuk memandang Angela. "Untuk tak bersama denganku seumur hidupmu."

Valdy tak menanggapi raut penuh tanya di wajah Angela dan memilih memejamkan mata.

***

Ruwet banget hidup lo, Laaaa....

Jangan lupa Vote dan komen ya readers!

Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Karayu_Screators' thoughts