webnovel

Öde

Alde tidak pernah menganggap keahliannya ini adalah sebuah anugerah. Malahan, ia merasa jika dirinya telah terkutuk. Benang-benang merah yang selalu muncul di depan matanya tanpa ia minta, memberitahukan dirinya bagaimana takdir dari hubungan orang-orang disekitarnya. Membuatnya muak melihat kenyataan yang tidak permah ia inginkan. Alde ingin, jika keahlian ini segera menghilang dari hidupnya. Tapi, bagaimana jika seseorang tiba-tiba saja datang kedalam hidupnya dan membantu Alde merubah pemikiran sempit tersebut? Ketika ia dipertemukan dengan seseorang yang membuatnya ingin tetap memiliki kemampuan tersebut agar bisa melihat benang-benang merah tersebut terikat di antara jari kelingking mereka. Membuatnya berharap jika ia adalah satu-satunya takdir dalam hidup orang tersebut. Dan di saat seperti itu lah, takdir kembali mempermainkannya. — Aku mencintaimu, sangat. Akan tetapi, kau bukanlah takdirku. Benang merahmu, bukanlah benang merah milikku. Cerita kita... tidak bisa berakhir bersama. -Aldelina Jika kau memberikanku satu kesempatan lagi, aku akan melawan benang takdir itu. Tak peduli jika itu malah akan menghancurkanku. Karna... dari awal hingga selamanya, aku hanya akan mencintaimu. -Elio

angst00 · Teen
Not enough ratings
34 Chs

32

"Apa yang kau lakukan padanya?!"

Bersamaan dengan bentakan itu tubuh Pak Erik melambung ke belakang. Seorang pria dengan postur tubuh yang sangat familier di mata Alde sudah mulai memukuli Pak Erik dengan bogemnya. Alde yang melihat itu pun hanya bisa terdiam.

"Apa yang mau kau lakukan padanya brengsek!!" ucap pria itu penuh akan emosi.

Tanpa henti pria itu memukuli wajah Pak Erik. Walau Pak Erik sudah memohon ampun sekali pun tangan Elio tidak akan pernah berhentj hingga ia merasa puas.

"Elio..." sebut Alde dengan suara kecil ketika akhirnya ia bisa melihat jelas wajah pria yang sudah menerobos masuk restoran dan menolongnya.

Yang disebut segera berhenti memukul. Elio menoleh, memperhatikan sosok Alde dari bawah hingga atas sebelum cepat-cepat berlari mendekatinya dan mengecek keadaannya.

"Kau baik-baik saja kan? Dia belum melakukan apa pun kan?"

Dengan wajah yang sudah berurai air mata Alde menganggukkan kepalanya. Tiga bagian teratas kancing blousenya sudah terbuka, memperlihatkan sebagian pakaian dalam dan bahu putihnya yang bergetar karna takut. Geraman lolos dari sela-sela bibir Elio ketika ia melihat itu.

Segera ia kembali berbalik, hendak menyerang Pak Erik yang wajahnya sudah babak belur dan berdarah jika saja Alde tidak segera menggenggam erat lengannya untuk menghentikannya.

"Kenapa kau menghentikanku?" tanya Elio geram, tapi ketika melihat sosok Alde saat ini, emosinya seketika menghilang.

Alde menggelengkan kepalanya, "Sudah cukup, ayo kita pergi dari sini."

Awalnya Elio enggan melakukan hal tersebut, ia masih ingin memukul pria yang saat ini sudah terkapar di atas lantai restoran namun, memikirkan kondisi tubuh dan mental Alde yang saat ini sudah tak memungkinkan untuk terus berlama-lama di sini membuatnya segera menghentikan niat dan bangkit.

"Ayo Elio, ayo kita pergi dari sini." mohon Alde, menggandeng tangan Elio dan segera membawanya untuk melangkah pergi.

Sebelum benar-benar pergi, dengan sengaja Elio menginjak kemaluan Pak Erik ketika melangkahinya, tak peduli dengan erangan dan makian yang sudah lolos dari mulut pria itu, hanya ingin memuaskan emosinya yang masih tersisa.

Ketika mereka sudah melangkah cukup jauh dari restoran dan tak ada lagi orang di sekitarnya Alde berhenti melangkah. Ia membalikkan tubuhnya, melepas genggaman tangannya dari tangan Elio, menatapnya tepat di manik mata dan bertanya,

"Kenapa kau bisa datang kemari?"

Bukan ucapan terima kasih yang Elio dapatkan, melainkan sebuah pertanyaan yang seakan-akan menuntut sebuah jawaban.

"Dengan menggunakan mo—"

"Bukan itu maksud dari pertanyaanku." potong Alde.

Elio mengusak rambut hitamnya. Ia menghela nafas dan menjawab,

"Perasaanku tidak nyaman ketika meninggalkanmu. Aku khawatir, jadi aku kembali untuk menjemputmu."

Alde mencengkram lengannya, "Seharusnya kau tidak usah repot-repot melakukan hal itu."

"Dan membiarkanmu diperkosa oleh pria itu?" nada yang menusuk dari kalimat Elio membuat Alde terdiam.

Tak ada yang berbicara. Alde menundukkan kepalanya, menahan gejolak emosi yang terwujud sebagai air mata. Hampir saja ia meneteskannya jika tak ia meremas lengan kirinya, membuat kuku jarinya menancap ke dalam daging.

"Terima kasih sudah membantuku." ucap Alde dengan suara bergetar. "Karna sudah terlalu larut lebih baik kau pulang saja, selamat malam." buru-buru Alde segera berjalan pergi untuk meninggalkan Elio. Ia tak ingin pria itu melihat air mata yang sudah menetes dari sudut matanya.

"Kau mau pergi ke mana dengan keadaan seperti itu? Mau menarik perhatian orang-orang seperti pria di dalam restoran itu lagi?"

Seketika Alde menghentikan langkahnya ketika mendengar kalimat itu. Ia segera melirik pakaiannya. Terlihat jika saat ini bajunya sudah berantakan, rusak, karna tarikan dari Pak Erik. Belum lagi kaitan celana yang sudah terlepas dan retsleting yang terbuka setengah.

Tawa hambar lolos dari mulut Alde. Ia segera memperbaiki penampilannya, dengan frustasi menutupi bagian bajunya dengan mata yang sudah basah dan isak yang berusaha ia tahan, berharap bisa mengembalikan kondisi baju yang sudah rusak kembali seperti semula.

"Dari pertama kali kita bertemu, hingga saat ini, kau itu selalu memaksakan dirimu untuk menjadi orang yang kuat."

Bersamaan dengan suara Elio yang terdengar tepat di samping telinga Alde, sebuah jaket tersampirkan di tubuhnya, menutup sebagian tubuh Alde yang terbuka.

"Kau boleh menjadi orang yang kuat, tapi kasihani dirimu juga. Baja saja bisa hancur jika terus menerus diberi tekanan, apalagi kau yang hanya manusia biasa."

Alde menggigit kencang bibir bawahnya. Tangan yang menggenggam baju mengerat. Dengan suara yang bergetar ia berbicara, "Lalu... aku harus bagaimana sekarang?"

Elio mendengus. Dengan sekali tarikan ia membawa Alde ke dalam pelukannya. "Kalau kau mau menangis, menangis saja. Hanya ada aku di sini." jawabnya.

Saat itu juga tangis Alde pecah. Air mata yang sudah susah payah ia tahan mengalir bebas dari sudut matanya, membasahi kaus hitam yang Elio kenakan. Isakan yang sebelumnya ditahan pun sudah lolos.

"Kenapa kau selalu memintaku untuk memperlihatkan kelemahanku padamu?" tanya Alde disela-sela tangisnya.

Elio mengerutkan dahinya. Helaan nafas lolos dari dalam mulutnya sebelum bergerak untuk mendekap erat Alde dan mengistirahatkan dagunya di atas pucuk kepalanya.

"Aku tak suka melihatmu seperti ini. Menyiksa diri sendiri."

"Kenapa?"

"..." Elio terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "...karna kau mengingatkanku pada seseorang."

Kepala yang sebelumnya tersandar di dada Elio terangkat. Dengan mata yang basah Alde memandang wajah pria yang saat ini sudah tertunduk ke arahnya. Ada sebuah ekspresi yang tak bisa dijelaskan dari wajah itu. Sebuah ekspresi yang membuat Alde merasa sesak ketika melihatnya.

"Kau mengingatkanku pada orang bodoh yang selalu menganggap jika semuanya akan baik-baik saja..." ucap Elio, sebuah senyuman sudah ia paksakan untuk muncul di wajahnya. Sebuah senyuman yang sangat sedih. "...menyakiti diri sendiri tanpa menyadarinya." lanjutnya.

Alde tak tau siapa yang Elio maksud. Ia ingin bertanya namun, pria itu sudah terlebih dahulu melanjutkan pembicaraannya.

"Lebih baik aku antar kau pulang saja sebelum udara malam semakin dingin."

Pelukan pun terlepas. Elio tersenyum, ia membenarkan jaket yang ia pakaikan pada Alde, menutup resletingnya sebelum mengulurkan tangan.

"Ayo."

Entah mengapa, Alde merasa jika ingin mengikuti ajakan itu. Tanpa ragu ia menyambut uluran tangan tersebut, berjalan bersama Elio menuju motor yang sudah menunggu mereka sejak tadi di pinggir jalan. Setelah mengenakan helem keduanya segera menaiki kendaraan beroda dua tersebut mulai berangkat pergi dari tempat itu.

"Elio." panggil Alde ditengah-tengah perjalanan.

"Ya?"

"Bisakah kau bawa aku pergi dulu sebelum pulang? Kemana pun itu asal jangan ke rumah." Alde mengeratkan pegangannya pada Elio, menyembunyikan wajahnya pada punggung pria itu.

Alde merasa, jika ia kembali sekarang maka ia akan kehilangan rasa nyaman ini. Ia belum ingin hal itu terjadi. Ia masih ingin bersandar di punggung lebar nan hangat ini. Beristirahat pada punggung pria yang ia cintai.

"Baiklah. Ayo kita mengelilingi kota hingga pagi menjelang."

Senyuman muncul di wajah alde. Ia memejamkan matanya.

'Semoga waktu bisa berhenti di saat seperti ini.'