webnovel

Öde

Alde tidak pernah menganggap keahliannya ini adalah sebuah anugerah. Malahan, ia merasa jika dirinya telah terkutuk. Benang-benang merah yang selalu muncul di depan matanya tanpa ia minta, memberitahukan dirinya bagaimana takdir dari hubungan orang-orang disekitarnya. Membuatnya muak melihat kenyataan yang tidak permah ia inginkan. Alde ingin, jika keahlian ini segera menghilang dari hidupnya. Tapi, bagaimana jika seseorang tiba-tiba saja datang kedalam hidupnya dan membantu Alde merubah pemikiran sempit tersebut? Ketika ia dipertemukan dengan seseorang yang membuatnya ingin tetap memiliki kemampuan tersebut agar bisa melihat benang-benang merah tersebut terikat di antara jari kelingking mereka. Membuatnya berharap jika ia adalah satu-satunya takdir dalam hidup orang tersebut. Dan di saat seperti itu lah, takdir kembali mempermainkannya. — Aku mencintaimu, sangat. Akan tetapi, kau bukanlah takdirku. Benang merahmu, bukanlah benang merah milikku. Cerita kita... tidak bisa berakhir bersama. -Aldelina Jika kau memberikanku satu kesempatan lagi, aku akan melawan benang takdir itu. Tak peduli jika itu malah akan menghancurkanku. Karna... dari awal hingga selamanya, aku hanya akan mencintaimu. -Elio

angst00 · Teen
Not enough ratings
34 Chs

16

"Elio?"

Elio segera berjalan mendekati Alde. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.

"Aku mau pulang sehabis mengunjungi Nenek Pak Bian."

Jawaban itu membuat Elio akhirnya menolehkan pandangannya ke arah Bian yang sedari tadi memperhatikannya. Manik obsidian bertabrakan dengan manik kelabu. Untuk sesaat keduanya saling bertatapan sebelum akhirnya Elio tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Bian.

"Selamat malam Pak." sapanya.

Awalnya Bian hanya menatap uluran tangan tersebut, hingga akhirnya ia mulai menyambutnya dengan mata yang penuh akan tak suka ke arah Elio. "Malam." jawabnya.

Tak adanya kalimat basa basi yang keluar dari mulut Elio atau pun Bian membuat Alde memutuskan untuk menginterupsi kesunyian yang tiba-tiba menelingkupi mereka. "Kau sendiri kenapa bisa berada di sini Elio?"

Senyuman murung muncul di wajah Elio. "Kakek ku sakit, jadi aku datang untuk merawatnya."

Kedua alis Alde terangkat tinggi, "Lalu bagaimana keadannya?"

"Sudah mulai membaik." jawabnya. Walau begitu Alde masih bisa merasakan kekhawatiran mau itu dari nada atau pun raut wajahnya.

"Baguslah kalau begitu. Semoga dia bisa cepat keluar dari sini dalam keadaan sehat."

"Terima kasih." balas Elio, "Ngomong-ngomong, tadi kau bilang mau pulang kan?" tanyanya tiba-tiba, mengingatkan Alde akan tujuan utamanya yang terlupakan.

Alde menganggukkan kepalanya. "Iya, aku mau menunggu taksi."

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku antar saja? Sekalian aku pun mau pulang karna sudah ada yang menggantikanku menjaga kakek."

Tawaran yang hampir disetujui oleh Alde jika saja Bian tak menarik legannya dan melangkah maju kehadapannya. "Tidak usah, aku yang akan mengantarnya"

Alde mengedipkan matanya beberapa kali. Ia menatap aneh pria yang saat ini berdiri dihadapannya Bukankah tadi Bian tak mau mengantarnya? Tapi kenapa sekarang dia seperti ini?

Elio menoleh ke arah Alde yang saat berada di belakang Bian. Ia bertanya, "Jadi kau mau di antar oleh siapa?"

Dengusan lolos dari mulut Bian. "Bukankah sudah jelas, dia akan—"

"Aku akan ikut denganmu." potong Alde tiba-tiba. Ia segera melangkah melewati Bian. "Aku akan ikut denganmu." lanjutnya dengan suara yang tegas.

Elio tersenyum. "Kalau begitu Saya dan Alde pamit dulu Pak." ucapnya, lalu dengan segera menarik Alde untuk pergi dari sana.

Sebelum Alde melangkahkan kakinya keluar dari pintu utama rumah sakit ia menolehkan kepalanya ke belakang. Ia melihat jika Bian hanya berdiri diam di tempatnya. Tak ada protesan atau tatapan sebal yang biasanya selalu dilancarkan padanya oleh pria itu. Bian hanya berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun. Dan hal tersebut membuat Alde merasa jika pilihannya saat ini telah menyakiti pria itu. Hingga ia keluar dari gedung rumah sakit, pandangannya pun akhirnya terputus dari punggung pria itu.

Kembali pada Elio yang saat ini masih menggandeng tangan Alde dan membawanya keluar dari gedung rumah sakit. Saat ini keduanya tengah melangkah menuju parkiran motor yang berada tak jauh dari gedung rumah sakit. Mencari salah satu kendaraan beroda dua milik Elio yang terparkir dari puluhan motor yang ada.

"Apa kau membawa jaket?"

"Umm... tidak." jawab Alde.

"Kalau begitu," Elio menghentikan langkahnya di belakang sebuah motor besar yang Alde yakni memiliki harga sepuluh kali dari gaji sebulannya. Pria itu melepas jaket parasut berwarna hitam yang saat ini dipakai olehnya dan memberikannya pada Alde. "Pakai ini. Udara malam terlalu dingin untukmu." lanjutnya.

"Tapi bagaimana denganmu?"

Elio tersenyum, "Aku baik-baik saja."

Akhirnya Alde menerima jaket tersebut dan mengenakannya. Ukuran yang lebih besar dari tubuhnya itu membuat kedua tangan Alde terkubur di balik lengan jaket yang panjang dan sebagian dari wajahnya pun tertutup karna leher jaket yang cukup tinggi untuknya.

"Pakai ini." ucap Elio, memberikan helm cadangan yang kebetulan ia bawa pada Alde. Dan dengan segera Alde pun memakainya.

Elio yang sudah mengenakan helmnya segera bergerak untuk menduduki jok motornya. Ia mengeluarkan kendara roda dua tersebut dari jejeran tempat parkir dan berkata, "Ayo naik."

Tanpa menunggu lebih lama lagi Alde segera naik ke atas motor yang tinggnya hampir sejajar dengan pinggangnya, atau mungkin lebih tinggi lagi. Ia menggunakan bahu Elio sebagai pegangan agar ketika ia naik ia tak terjatuh. Setelah Alde akhirnya bisa dengan nyaman mendudukki bangku belakang motor Elio ia berkata, "Sudah." memberikan kode pada sang pengemudi agar segera melajukan kendaraannya.

Anggukkan kepala dilakukan oleh Elio. Mesin motor dinyalakan dan mereka pun akhirnya meningglakan kawasan kawasan rumah sakit.

"Di mana rumahmu?" tanya Elio di tengah-tengah perjalanan, sedikit berteriak dari balik kaca helm full face nya yang terbuka agar Alde bisa mendengar suaranya.

"Gedung apartemen F di dekat perumahan kota."

Mengetahui keberadaan tempat tersebut Elio segera mengangguk paham. "Pegangan, kita akan sampai dalam waktu lima belas menit."

'Huh, lima belas menit?'

Tiba-tiba saja laju motor yang sebelumnya tenang dan pelan berubah menjadi kencang dan liar. Alde yang terkejut tanpa sadar memeluk pinggan Elio seerat mungkin. Sang pelaku yang menyadari hal tersebut hanya tertawa tanpa rasa dosa sedikit pun.

"Kau baik-baik saja?" tanya Elio yang sebenarnya sudah mengetahui jawabannya dari wajah Alde yang saat ini sudah berubah sangat pucat.

"A-apa kau tak bisa menyetir sedikit pelan?" pinta Alde dengan suara bergetar.

Tawa lepas kembali lolos dari mulut Elio. "Pegangan yang erat!"

Bersamaan dengan kalimat itu laju motor yang sudah cepat pun kian bertambah cepat. Alde yang sudah tak tahan lagi akhirnya menjerit. Ia merasakan jika nyawanya sudah melayang tanpa harus adanya kejadian buruk atau apa pun menimpahnya. Saat ini ia hanya bisa berharap pada tuhan jika ia tidak akan tutup usia dengan cepat.

Seperti yang Elio katakan, hanya dalam waktu sekitar lima belas menit mereka tiba di depan gedung apartemen Alde. Dengan tubuh yang agak terhuyung seperti orang mabuk ia melangkah turun dari bangku belakang motor, lalu menatap pria di hadapannya dengan wajah pucat yang sangat serius.

"Ka-kau harus berhenti mengendarai motor."

"Maaf, aku tak bisa mengendalikan diriku jika sudah bersentuhan dengan motor." ucap Elio dengan raut agak bersalah.

Alde menghela nafasnya. Walau tadi ia merasa jika nyawanya hampir hilang di tengah jalan tetapi tetap saja, "Terima kasih karna sudah mengantarku selamat sampai rumah." ucapnya sambil tersenyum. Ia lalu mengembalikan helm cadangan milik Elio yang sebelumnya ia gunakan.

Sambil menerima helem tersebut Elio menganggukkan kepalanya. "Sama-sama." balasnya.

Merasa jika berbicara di tengah jalan malah akan menghalangi pengguna jalan yang lain, Alde memutuskan untuk mengajak Elio masuk ke dalam apartemennya.

"Um.. kau mau menghagatkan dirimu di rumahku dulu?"

"Huh?"