1 1

"Hey Elias, bangun."

"Eliaass"

"Bangun, lihat itu," bisik Januar, teman sebangkuku sembari terus menyikut lenganku. Setengah sadar aku mendengar ramai suara tawa teman sekelas.

"Sudah cukup tidurnya Elias? Atau…. belum selesai mimpinya?" ujar guruku dengan tatapan sinis "Ehmmmm...." Belum selesai aku menjawab guruku langsung memotong, "Yasudah kamu boleh tidur di kelas saya, tapi kamu harus menyelesaikan soal di papan tulis. Dengan benar! Maju ke depan!"

"Ehm… Baik Bu,"

"Ah, sungguh merepotkan" kataku dalam hati sambil berjalan menuju papan tulis. Sesampainya di depan papan tulis aku mengambil spidol kemudian aku melihat ke belakang dan saat itu pula tiba-tiba suasana menjadi hening. Aku melihat Bu Rahayu berada di sudut kelas sedang melipat kedua tangannya.

Kembali aku bergumam dalam hati. "Eh itu Bu Rahayu bukan ya? Ini pelajaran apa sih?" aku melihat ke arah Januar dan dia langsung menunduk. Dengan wajah takut? Kebingungan? Entahlah yang jelas dia menghindariku. Teman sekelas lainnya pun begitu. Tidak pikir panjang lalu aku langsung mencoba menyelesaikan soal-soal di papan tulis.

Perlahan aku membaca soal tersebut dalam hati "Suatu gas mengalami proses isopabrik. Awalnya volume gas 2,8 m3, lalu dimampatkan sehingga volumenya menjadi 3,3 m3 pada tekanan 2×104 N/ m2. Hitunglah besar usaha luar oleh gas!"

"Ah, ini soal fisika" pikirku. "Ehm… Dilihat dari data tersebut sepertinya aku harus mengurangi volume akhir dengan volume awal. Jadi 3,3 dikurangi 2,8 dan jawabannya 0,5. Lalu apa yang harus kulakukan kemudian? Apakah aku harus mengalikan dengan tekanannya? Tapi kenapa tekanannya memiliki banyak angka 0 dibelakangnya? Bagaimana aku bisa mengalikannya dengan 0,5? Oh iya, aku bisa mengubah 0,5 menjadi 5×10−1 lalu mengalikannya dengan 2×104 jadi hasilnya 10×103 atau 104. Tapi satuannya apa? Entahah aku akan mengerjakan sampai sini saja"

Karena tidak mau berpikir lebih jauh lagi, aku akhirnya mengakhiri jawabanku dan meletakkan kembali spidol yang kugunakan untuk menulis di tempatnya semula. Aku berbalik badan dan menunggu reaksi Bu Rahayu atas jawabanku.

"Elias? Bagaimana bisa kamu mengerjakan soal untuk XI?" Ucap Bu Rahayu setelah beberapa menit melihat jawabanku di papan tulis. Hal pertama yang aku rasakan setelah reaksi dari Bu Rahayu adalah perasaan lega dan 'akhirnya aku bisa tidur lagi setelah ini, fiuh'. Aku hanya mengangkat kedua bahuku mendengar reaksi Bu Rahayu higga akhirnya bel istirahat berbunyi.

"Oke, karena jam pelajaran saya sudah habis, Elias kamu boleh duduk kembali dan untuk semuanya, pelajari bab 1 sampai 3, minggu depan Ibu akan adakan latihan soal" ujar Bu Rahayu mengakhiri sesi kelasnya hari ini. Aku pun kembali ke tempat duduk berencana untuk melanjutkan tidurku, sementara teman sekelas bergemuruh merasa tidak siap dengan latihan soal yang Bu Rahayu rencanakan untuk minggu depan.

"Oh iya, tambahan lagi untuk Elias, setelah ini ikut saya ke kantor." Lanjut Bu Rahayu. "Sial!" batinku.

*****

Namaku adalah Elias Anderson, anak dari Bapak Andre Hartoyo dan Ibu Eli Siswati. Ya, aku orang Indonesia asli, lebih tepatnya arek Malang Jawa Timur. Banyak yang mengira aku merupakan anak blasteran atau memiliki keturunan luar negeri hanya karena namaku yang terbilang cukup keren ini. Andai saja mereka tau kisah konyol dibalik namaku yang sebenarnya hanya gabungan dari kedua nama oraang tuaku 'Elias nama ibuku yang dirubah supaya terlihat seperti nama laki-laki, dan kemudian Andre's son yang kemudian menjadi Anderson dimana memiliki arti anak laki-laki Pak Andre. Hah! Sangat konyol.

Aku merupakan siswa kelas X SMAN 3 Malang. Banyak yang mengatakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah. Tapi menurutku tidak, apalagi masa-masa kelas X dimana mereka semua hanya anak ingusan yang baru lulus SMP beberapa bulan lalu. Termasuk aku.

Aku benci melakukan sesuatu yang tidak penting bagiku. Aku benci melihat semua orang melakukan tindakan-tindakan bodoh yang akhirnya hanya akan mempersulit diri mereka sendiri. Untuk apa belajar? Untuk apa menjadi pintar? Untuk apa semua hal bodoh itu dilakukan jika hanya untuk mengabdikan diri pada sebuah pekerjaan yang membuatmu sibuk? Apa untungnya menjadi sibuk jika hanya akan membuatmu menelantarkan anak-anakmu? Hanya orang bodoh yang melakukan itu!

****

Dengan berat hati aku kembali bangkit dari tempat dudukku dan mengikuti Bu Rahayu ke ruangannya. Januar teman sebangkuku hanya bisa memberiku kata-kata semangat yang sebenarnya tidak membuatku semangat sama sekali. "Biar saya bantu Bu," kataku membawakan buku-buku milik Bu Rahayu. "Oh iya, terimakasih" kata Bu Rahayu sambil beranjak. "Saya kira kamu anak yang cuek dan tidak mau membatu orang lain Elias?" Lanjut Bu Rahayu. Aku hanya diam mendengar kata-kata Bu Rahayu. Bu Rahayu bukanlah guru tua yang butuh bantuan, sebaliknya ia adalah guru muda yang enerjik, namun bagiku membantu orang lain bukanlah hal yang tidak berguna, ini juga merupakan hal yang penting, ini masalah moral. Untung saja aku masih memiliki prinsip ini.

Sesampainya di ruang Bu Rahayu, aku meletakkan buku-buku milik Bu Rahayu di atas meja dan Bu Rahayu langsung duduk lalu membuka lembaran-lembaran kertas di dalam kumpulan dokumennya. "Silahkan duduk Elias" kata Bu Rahayu mempersilahkanku duduk. "Jadi, menurutmu kenapa Ibu memanggil kamu ke sini?" tanya Bu Rahayu yang hanya aku sambut dengan wajah heran. "Tidak tahu Bu." Jawabku singkat.

"Begini Elias, sebagai wali kelasmu, Ibu cukup banyak mendapat teguran dari guru-guru lain atas sikapmu yang suka tidur di tengah jam pelajaran." Suasana menjadi hening sejenak, dan aku tidak tahu harus menjawab apa hingga Bu Rahayu berkata lagi, "Dari hasil ujian kamu selama beberapa bulan sekolah disini, nilaimu tidak buruk." Bu Rahayu menatapku, "tapi tidak sangat bagus juga. Biasa, standart nilai rata-rata anak disini. Bedanya, Ibu tahu kamu tidak pernah belajar, bahkan beberapa guru mengira kamu pasti mencontek. Apa benar?" "Tentu tidak Bu!" kataku spontan. "Lalu dari mana kamu bisa mendapat nilai sebagus ini? Kamu tahu apa artinya?" kembali suasana menjadi hening.

Bu Rahayu menghela napas kemudian melanjutkan pembicaraan, "Kamu itu cerdas Elias. Kenapa kamu tidak belajar lebih giat lagi? Ibu yakin kamu bisa mendapat lebih dari ini. Kamu bisa mengincar universitas terbaik di negeri ini, kamu bisa bekerja di perusahaan terkenal jika sudah lulus nanti." Cih, guru ini mulai membicarakan hal bodoh. Hilang sudah minatku mendengarkan nasehat Bu Rahayu, aku hanya diam dan mengangguk berharap pembicaraan ini cepat selesai.

*****

"Bruuukkk…" suara benturan tembok dengan tas yang ku lempar ke sudut kamarku. Aku kembali menutup pintu kamar kemudian berjalan menuju dapur berharap ada yang bisa dimakan, tapi seperti yang aku duga tidak ada apa-apa disini. Aku kembali menuju kamarku di lantai dua, kurebahkan badanku di kasur springbed yang empuk ini. Kembali aku berpikir, untuk apa kasur senyaman ini? Di karpetpun aku tetap bisa tidur.

"Kruyuk kruyuk kruyuk…" sepertinya perutku mulai meronta-ronta. Aku memutuskan untuk beranjak dan berganti pakaian. Aku akan beli mie ayam pangsit di warung Pak Somat.

Setelah selesai makan siang di warung mie ayam pangsit Pak Somat, aku mampir terlebih dahulu ke supermarket membeli beberapa snack sebagai teman menonton TV. Kemudian aku pun pulang dan sesampainya di rumah ternyata masih belum ada siapapun yang datang. Tidak ayahku, tidak pula ibuku.

Kembali aku rebahkan badanku di sofa sambari ku nyalakan televisi di depanku. Tidak sengaja aku menonton sebuah berita kasus pembunuhan seorang janda di salah satu Desa di Singosari, Malang. "Wah, kecamatan sebelah." Pikirku. Setelah bosan, aku mengganti chanel TV ku berusaha menemukan tontonan yang lebih menarik, namun lagi-lagi aku mendapati kasus pembunuhan si janda muda Singosari tadi sebagai berita utama. Sedikit penasaran akhirnya aku ikuti kronologis keadaan korban sebelum ditemukan tewas dengan visualisasi yang ditayangkan program berita tersebut. Aku melihat begitu banyak masyarakat yang menonton, "Kalian pikir ini adalah pertunjukan yang pantas kalian tonton?" Aku sungguh tidak habis pikir dengan orang-orang yang benar-benar melakukan suatu hal bodoh dan tidak penting seperti itu. "Woy, rusak itu TKP!" kataku berteriak pada TV.

Program berita tersebut menampilkan visualisasi tempat korban dibunuh, di semak blukar 200m dari rumah korban. Korban diperkirakan tewas antara pukul 04.30 hingga pukul 07.30 pagi waktu setempat. Pengakuan keluarga tidak ada satupun yang mendengar suara gaduh, dan korban memang memiliki kebiasaan untuk pergi ke toilet sekitar jam 04.30 dini hari. Visual yang muncul menunjukkan bahwa letak toilet korban berada terpisah di luar rumah korban, dan berdekatan dengan kandang sapi. "Hmmmmm.. Ada yang aneh."

Aku mencoba menuliskan analisis yang seketika itu terpikir olehku hanya melalui berita di TV tadi. "Korban adalah janda, itu artinya dia berjenis kelamin perempuan. Disebut muda karena masih berumur 27 tahun. Tewas di semak belukar 200m dari rumah korban. Coba telusuri kronologi saat menjadi korban mulai dari bangun tidur hingga akhirnya sampai ke kamar mandi. Seharusnya ada jejak yang sedikit akan terlihat. Sandal apa yang korban pakai? Apakah sandalnya ditemukan? Bagaimana keadaan korban setelah ditemukan? Apakah ada indikasi kejahatan seksual? Jika iya, kemungkinan besar pelaku berjenis kelamin laki-laki dengan motif asmara. Oh iya, sapi! Ada sapi disana dan pengakuan keluarga korban tidak terdengar suara gaduh? Pelaku pasti orang yang dekat dengan korban maupun keluarga korban, karena sapi-sapi tersebut pasti akan merasa terganggu bila ada orang asing mendekat terutama apabila kronologi pembunuhan terjadi dini hari."

"Mungkin tetangga korban." Kataku sambil menaruh bulpen yang baru saja aku pakai.

*****

Hari ini hari Sabtu, hari menyebalkan yang sama seperti hari lainnya. Pukul setengah delapan pagi akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, dan sudah tidak ada orang. Aku beranjak ke dapur, dan di atas meja makan sudah tersedia sandwich selai kacang yang aku benci. "Sudah berapa kali aku bilang, aku tidak suka sandwich kacang!" kataku berbicara sendiri.

Aku membawa sandwich busuk itu ke depan rumah tetanggaku dan kuberikan pada anjing milik si penghuni rumah. Aku kembali ke dapur mencari sisa roti atau apapun yang tersisa disana, Aku hanya menemukan selembar roti sisa, dua batang sosis, dan sebutir telur. Ah, ini cukup mewah untuk mengawali pagi hariku. Aku duduk di sofa dan menyalakan TV, dan sialnya lagi-lagi aku menonton berita pembunuhan. Tidak, ini masih kasus pembunuhan yang sama, dan berita ini hanya memberitakan ketidakmampuan polisi menangani kasus tersebut. "Yang benar saja? Ini sudah lewat 4 hari dari waktu kejadian!" dan saat itu aku melihat tulisan analisisku di meja. Terbersit ide aneh di otakku, namun aku terlalu malas untuk melakukannya. Akupun memutuskan untuk kembali tidur, berharap hari ini cepat berlalu.

Tiga jam tertidur, aku bangun sekitar jam setengah satu siang dan aku merasa lapar. Aku bangkit dari tempat tidurku, menuju kamar mandi hanya untuk membasuh wajahku. Aku berganti pakaian dan memakai parfum yang banyak, membawa uang secukupkan dan keluar mencari makan. Belum keluar dari rumahku, aku kembali melihat catatan analisisku di atas meja, ada perasaan terancam yang menyesakkan dadaku. Mungkin aku harus keluar dari zona nyaman untuk sejenak.

Usai makan siang, aku menuju supermarket untuk membeli amplop. Ku masukkan catatan analisisku ke dalam amplop tersebut, kutuliskan alamat kantor Polrestabes Kota Malang, ku tempelkan perangko, kemudian ku kirim melalui kotak pos tanpa menuliskan nama dan alamat pengirimnya. Perasaan terancam yang sejak tadi kurasakan semakin memudar, "Beginikah rasanya keluar dari zona nyaman? Cukup menyenangkan. Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya." Benakku dengan rasa bangga.

*****

Hari Minggu, aku bangun tidur dengan lebih semangat pagi ini, bahkan aku merasa sulit tidur memikirkan tindakan yang aku lakukan kemarin. Pagi ini aku mandi dan berpakaian rapi. Entahlah aku hanya bersemangat.

"Selamat pagi!!" kataku menyapa kedua orang tuaku. Ayahku sedang sibuk dengan handphone nya, sedangkan ibuku sedang sibuk menyiapkan sandwich untuk sarapan. "Biar aku bantu Bu" kataku. "Tumben sudah bangun?" kata ibu."Aku selalu bangun pagi Bu, hanya malas turun saja," jawabku. "Lalu, kenapa sekarang sudah turun?" kata ibuku lagi. "Aku hanya lapar, dan yang paling penting aku tidak mau ibu menyiapkan sandwich kacang yang sia-sia itu lagi," jawabku menyindir. "Lho? Kenapa?" Ibuku terus bertanya. "Ayolah Ibu! Aku sudah berkali-kali bilang aku benci sandwich kacang!!" kataku merengek. "Oh ya? Maafkan Ibu sayang, selama ini yang Ibu ingat sandwich kacang adalah kesukaanmu. Ternyata malah sebaliknya. Ibu benar-benar minta maaf," kata Ibu sambil memelukku. "Hahaha.. Ibumu itu memang payah!" kata Ayahku tertawa.

Setelah sarapan, hal yang aku benci terjadi. "Ayah dan Ibu berangkat kerja dulu ya sayang? Belajar yang rajin, hati-hati di rumah" kata Ibuku berpamitan untuk pergi bekerja. "Ah Ibu, bahkan di Hari Minggu? Yang benar saja? Ayolah!" kataku. "Kau akan mengerti jika sudah dewasa nanti Elias," kata ayah sambil mengusap rambutku. "Yang benar saja, memangnya aku ini apa? Belum cukup dewasakah aku untuk kalian? Bahkan mungkin kalian yang jangan berpikir terlalu dewasa agar kalian tau bagaimana rasanya menjadi aku!" kataku dalam hati.

Jam sepuluh pagi akhirnya aku memutuskan untuk menonton TV, aku mencari chanel berita berharap kasus pembunuhan yang aku analisis menemukan titik terang. Sekian lama mencari, aku terus mengganti chanel TV, sampai aku cari berita di internet, aku tetap tidak menemukan apa yang aku cari. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur lagi.

*****

Beberapa hari berlalu, aku merasa apa yang aku lakukan sia-sia. Aku merebahkan badanku di sofa dan kembali aku menyalakan TV di depanku. Aku tidak berminat untuk menonton apapun, aku hanya terus menikmati iklan demi iklan yang terus muncul di chanel ini. Empat iklan berlalu, hingga akhirnya berita rutin tiap jam muncul, "Breaking news! Pelaku kasus pembunuhan janda muda di Singosari Kota Malang akhirnya terungkap. Tersangka merupakan tetangga dekat korban yang disinyalir menjadikan motif asmara sebagai alasan untuk membunuh korban. Berikut adalah keterangan lebih lanjut dari Aiptu Pudji, selaku anggota Identifikasi Polrestabes Kota Malang," dan sejenak penyiar berita ini membuatku terpana.

"Iya benar. Tersangka merupakan tetangga korban. Beberapa hari kasus ini mengalami kebuntuan karena rusaknya TKP dan minim barang bukti, namun setelah ditelusuri lebih lanjut lagi kronologi kejadian dengan bantuan kesaksian dari keluarga korban, hal tersebut menunjukkan kejanggalan-kejanggalan. Sandal yang korban kenakan hilang sebelah, yang akhirnya ditemukan terpisah di depan toilet dan di lokasi pembunuhan. Pada tubuh korban terdapat beberapa jejak kejahatan seksual yang diduga karena aksi pemerkosaan. Terlebih lagi, sapi yang berada di dekat kamar mandi tidak menimbulkan kegaduhan saat kasus ini terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku merupakan orang dekat dimana sapi-sapi ini sudah tidak asing dengan keberadaannya." Orang di televise itu berhenti berbicara. "Tidak salah lagi! Tidak salah lagi!! Ini adalah analisisku!!!" kataku berteriak girang.

*****

Setelah kejadian itu aku semakin rajin menonton berita dan mengirimkan analisis-analisis ku ke kantor Polrestabes Kota Malang, masih dengan tanpa nama dan alamat pengirim. Begitu banyak yang aku kirim dan begitu banyak kasus terselesaikan. Polrestabes Kota Malang mendapatkan beberapa penghargaan karena prestasinya dalam menangani sebuah kasus. Aku cukup bangga, tapi rasa bangga ini hanya bisa kunikmati sendiri, karena aku tau tidak ada satu orang pun yang akan percaya dengan ceritaku. Bahkan, mungkin apabila aku mencantumkan nama dan alamat pengirimnya, lalu polisi tau bahwa aku hanya anak ingusan yang baru lulus SMP, pasti mereka tidak akan lagi memperayai analisisku.

Tengah semester dua akan segera berakhir, sudah saatnya untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian kenaikan kelas. Omelan guru yang protes karena aku sering tidur di tengah pelajaran sudah semakin sedikit ku terima. Bukan karena aku yang mengurangi tidurku di kelas, tapi mungkin karena mereka sudah lelah memarahiku. Kabar baik untukku. Kemampuan analisis yang semakin ku asah membuat nilai ku makin baik tanpa harus banyak belajar, namun menganalisis suatu kasus demi kasus membuat jam tidurku semakin berkurang, otakku lebih sering kupaksa untuk berpikir. Menyenangkan memang, tapi tekadang aku merasa lelah.

Beberapa saat kemudian aku memutuskan untuk berhenti sejenak, tidak menonton berita, tidak mencoba menganalisis sebuah kasus, dan yang paling penting, tidak mengirimkan analisisku lagi ke kantor Polrestabes Kota Malang. Aku ingin istirahat dan tidur sepuasnya.

*****

Usai mengerjakan soal terakhir ujian kenaikan kelas, aku menutup mulutku yang menguap lebar dan menjatuhkan setengah badanku di atas meja."Ah, soal-soal ini cukup menghabiskan banyak tenaga," bisikku pelan pada diriku sendiri. Baru beberapa saat aku kehilangan kesadaranku, aku mendengar suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh menghampiriku. Setengah sadar aku bangun dan melihat Bu Rahayu dengan tergesa-gesa memanggilku. "Elias, Ibu sudah telfon kedua orangtuamu. Sekarang ikut Ibu ke kantor, polisi menunggumu."

Aku melihat seluruh temanku, mereka terkejut seolah tak percaya. Ekspresi mereka seakan sedang meduga-duga kesalahan apa yang sudah aku perbuat sampai-sampai polisi mendatangiku. Tidak terkecuali pengawas ujian, Pak Suryo juga tampak cemas dan tidak percaya dengan yang telah dikatakan oleh Bu Rahayu. Aku sendiri pun bingung, aku merasa tidak melakukan apa-apa. Ya, aku tidak melakukan apapun kecuali satu hal, mengirim surat.

*****

Polisi memang tidak bisa diremehkan, meskipun tanpa nama dan alamat pengirim, mereka tetap tau akulah yang mengirim surat itu. Sesampainya di kantor guru, beberapa polisi sudah menungguku disana. Setelah menanyakan namaku, salah seorang dari polisi tersebut menunjukkan surat-surat yang pernah aku kirim ke Kantor Polrestabes Kota Malang. Mereka tersenyum tanpa aku ketahui maksudnya. "Apakah aku akan dihukum karna tindakanku ini?" pikirku dalam hati.

Salah satu dari merekapun memperkenalkan diri sebagai anggota Identifikasi Polrestabes Kota Malang, ia bernama sekaligus bergelar Aiptu Pudji. Rasanya aku tau orang ini. Aiptu Pudji terlihat girang menceritakan isi surat-suratku kepada Bu Rahayu, beberapa kali ia memujiku, hingga akhirnya kedua orangtuaku datang.

"Elias?? Kamu kenapa nak?" kata Ibu langsung memelukku. "Apa yang anak saya lakukan sampai kalian berani datang kesini?" kata ayahku tidak bisa menahan emosinya. Ayah menatapku begitu garang membuatku ketakutan, padahal aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Tenang Pak," kata Aiptu Pudji sambil merangkul bahu ayahku. "Anak Bapak ini adalah anak yang luar biasa, dia adalah harta karun terbesar Bapak dan Ibu." Mendengar perkataan Aiptu Pudji, Ayah dan Ibuku terdiam dan menjadi semakin bingung. "Mari duduk dulu Pak," kata Bu Rahayu mempersilahkan Ayahku duduk.

"Jadi begini Pak, hampir dalam waktu satu tahun ini, anak Bapak secara rutin mengirimkan surat berisi analisi kasus-kasus yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Surat dari saudara Elias membuat suasana di Kantor Polrestabes Kota Malang menjadi sejuk. Semua rekan-rekan saya mengakui kemampuan analisis beliau dan mengaguminya. Cukup sulit untuk menemukan siapa yang mengirimkan surat-surat ini karena tidak dicantumkannya nama serta alamat pengirim, namun setelah ditelusuri lebih lanjut, akhirnya diketahuilah bahwa anak Bapak dan Ibulah yang memiliki otak berlian ini yang selalu membantu pihak Polrestabes Kota Malang dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan bantuan saudara Elias Anderson dalam mengungkap kasus kejahatan, saya mohon ijin Bapak dan Ibu untuk memperkenankan saudara Elias menjadi asisten pribadi saya, dan tidak lupa beasiswa Sekolah Menengah Atas sampai saudara Elias lulus. Bagaimana Bu? Ini surat perintah langsung dari Kapolres Kota Malang, mohon dibaca dan apabila disetujui silahkan ditandatangani."

Aku terkejut mendengar penjelasan dari Aiptu Pudji, kulihat begitu pula dengan Ayah dan Ibuku bahkan tak terkecuali Bu Rahayu yang sedari tadi menahan air matanya. Aku merasakan haru, aku pandangi wajah bahagia kedua orang tuaku. Aku mencoba tersenyum, sambil berkaca-kaca Ayah dan Ibuku memandangku dan membalas senyumku. Merekapun memelukku secara bersamaan, akupun memeluk mereka. Ini adalah kunjungan kedua orang tuaku yang paling membahagiakan sepanjang hidupku. Aku bersyukur akhirnya aku bisa membahagiakan mereka.

-selesai-

avataravatar