webnovel

gugup setengah mati

"Bel, tugasnya mau dikerjakan kapan?"

Ini sudah dua hari sejak tugas kelompok diberikan. Tetapi mereka berdua belum melakukan apa-apa. Lembar tugas mereka masih kosong melompong.

Masalah utamanya adalah karena mereka tidak berkomunikasi dengan baik. Setiap hari saling mendiamkan dua batu yang berjejeran. Dan juga seperti kutub Utara dan Selatan, begitu dingin satu sama lain.

Bela menoleh pada teman sebangkunya itu. "Terserah mau dikerjakan kapan. Yang penting bisa selesai tanpa terlambat."

Setelah berujar begitu, Bela kembali fokus pada kegiatannya sendiri, membaca novel sambil menunggu guru datang. Dia tidak memberi perhatian lebih pada lawan bicaranya itu.

Riki hanya menghela napas karena diabaikan. Bela tidak tampak niat mengerjakan tugas tersebut. Dia juga tidak pernah membicarakannya seakan tidak ada tugas sama sekali.

Perilakunya kelewat santai. Membuat Riki gelisah karena takut tugasnya tidak akan selesai tepat waktu. Bisa-bisanya dia mendapat nilai nol untuk tugas pertamanya di semester ini. Dia tidak mau itu terjadi.

"Kita kerjakan besok saja kalau begitu," usul Riki. Dia berpikir bahwa besok akan jadi hari yang tepat untuk mengerjakan tugas tersebut.

Tetapi pemikirannya itu berbeda dengan Bela. Gadis itu tidak berpikir bahwa hal tersebut cepat untuk bekerja kelompok.

"Besok kan Sabtu, sekolah libur," ujar gadis itu.

Mendengar itu pun Riki mengerutkan kening, merasa heran. Baginya, justru bagus mengerjakan tugas di hari libur. Mendapatkan distraksi dari kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan di sekolah misalnya.

Dia pun berkata, "Makanya itu. Mumpung libur kita bisa fokus mengerjakan tugas tanpa terganggu pelajaran lain."

Bela menggeleng, dan itu kembali membuat Riki merasa heran. Lelaki itu bertanya-tanya mengapa Bela tidak setuju dengan hal tersebut?

Kemudian gadis itu menjelaskan, "Libur itu untuk istirahat, bukannya malah bikin pusing kepala."

Bela ingin menggunakan waktunya dengan efektif. Dia pikir dia harus memanfaatkan hari libur untuk meliburkan diri dari segala macam kegiatan yang berpotensi membuat kepalanya pusing. Karena itu dia lebih memilih untuk beristirahat daripada mengerjakan tugas kelompok di hari tersebut.

"Kan masih ada hari Minggu untuk istirahat. Hanya Sabtu saja kita berpusing-pusing ria," ujar Nata.

Mereka memiliki dua hari libur, Sabtu dan Minggu. Jadi kenapa harus repot? Hari Sabtu bisa digunakan untuk menyelesaikan semua tugas sekolah yang mereka punya, dan hari Minggu bisa dipakai untuk beristirahat sepuasnya.

Jika membuat pembagian waktu seperti itu, maka mereka bisa menyelesaikan tugas sekolah tepat waktu, dan juga mendapatkan istirahat yang puas pada akhir pekan.

"Tidak, aku tidak mau merelakan libur akhir pekan untuk belajar," tolak Bela dengan keras kepala.

"Apa salahnya merelakan satu hari libur, sih?" tanya Riki dengan tidak paham. Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran gadis itu? Mereka tidak akan mati hanya dengan menggunakan otak mereka pada hari libur.

Mereka bahkan masih punya hari lain untuk bersantai. Jadi apa salahnya mengerjakan tugas kelompok pada hari Sabtu?

"Sudah kubilang tidak. Aku tidak mau mengerjakan tugas akhir pekan," kembali dengan keras kepala Bela menolak Riki mentah-mentah.

Gadis itu sama sekali tidak mau merelakan satupun dari hari liburnya untuk mengerjakan tugas. Dia pikir akan lebih baik jika dia bisa berleha-leha tanpa menghawatirkan apapun pada dua hari sakral di ujung pekan itu.

Sebenarnya dia baik-baik saja jika memang harus belajar pada hari Sabtu. Hanya saja memikirkan bahwa dia harus bersama dengan Riki, hanya berdua, membuat Bela merasa gugup. Dia tidak siap jika harus menghabiskan waktu hanya dengan bocah lelaki itu.

Riki menghela napas. "Terus kau maunya kapan?"

"Terserah kau saja," jawab Bela dengan tidak acuh. Dia menutup novel saat sudah menyelesaikan bab yang dia baca sejak tadi. Dia pun mengambil ponsel dari sakunya. Matanya berfokus pada layar benda pipih tersebut yang menampilkan beranda media sosialnya. Gadis itu pun tenggelam pada kegiatannya sendiri.

"Astaga anak ini." Riki menyugar rambut frustasi.

Bela menoleh, menatap lelaki itu penuh penghakiman. Dia berujar sinis, "Kenapa? Kau menyesal satu kelompok denganku? Harusnya kau membiarkan guru itu mengubah kelompoknya saja. Tidak usah sok-sokan menerima nasib kalau kau sebenarnya tidak suka."

Bela tidak mau disalahkan atas tingkahnya. Dia pun menyalahkan Riki yang tadi dengan seenak jidat meminta agar mereka dibiarkan satu kelompok saja. Padahal Bela sudah berusaha membujuk guru agar mereka dipisah.

"Suka atau tidak suka, aku tidak peduli. Mau dengan siapapun aku berkelompok, aku tidak peduli. Yang penting tugasku bisa selesai," ujar Riki menegaskan apa yang ada dalam pikirannya.

Ini bukan soal siapa yang berada satu kelompok dengan dirinya. Riki tidak peduli Dia harus mengerjakan tugas tersebut bersama dengan siapa. Karena baginya yang penting hanyalah menyelesaikan tugas tersebut tepat waktu, dan mendapatkan nilai yang cukup agar tidak perlu melakukan pengulangan.

Bahkan jika dia dipasangkan dengan anak yang pernah berkelahi dengannya pun dia tidak akan protes. Dia bisa mengerjakan tugas tersebut tidak peduli siapa teman sekelompok yang dia dapat.

Masalahnya dia tidak bisa tahan jika teman sekelompok yang dia punya justru mengabaikan tugas tanpa merasa bersalah. Seperti halnya Bela yang begitu sulit untuk diajak kerja sama. Gadis itu terus saja menghindar tiap kali Riki mengajak bicara.

"Kalau begitu selesaikan saja sendiri," sambar Bela tiba-tiba.

Rahang Riki terjatuh saat mendengar itu.

Dia mengerjap terkejut. Benar-benar tidak menyangka akan mendengar kalimat semacam itu dari mulut Bela.

"Kau mau numpang nama saja di tugas kelompok ini?" tanya Riki dengan tidak percaya. "Kau mau menulis namamu di daftar kredit sementara aku yang harus mengerjakan semuanya sendiri? Begitu?"

Bela mengendikkan bahu dan tidak menjawab apa pun. Dia bahkan tidak melirik lelaki itu. Tidak memberikan atensi di saat mereka seharusnya sedang bicara serius.

Baru saja Riki ingin mengomeli gadis itu, tiba-tiba saja seorang guru datang. Membuat Riki mau tak mau harus mengurungkan niat, tidak jadi mengomeli gadis itu.

Bocah lelaki itu pun menarik napas dalam, menahan diri agar tidak meledak saat itu juga.

Dia meraih tangan Bela dan menyeret gadis itu mendekat.

"Kita perlu bicara setelah ini," bisik Riki pada gadis itu dengan penuh penekanan. Matanya menyorot dengan tajam, memberikan peringatan pada gadis itu. "Jangan coba-coba kabur saat jam istirahat."

Bela memutar bola mata. Berlagak seakan dia tidak peduli. Padahal di balik dadanya, jantung gadis itu sudah berdegup sedikit lebih cepat dari pada yang seharusnya.

Gadis itu pun melepaskan tangannya yang dicengkeram Riki. Kemudian dia menarik diri menjauh. Duduk dengan tegak dan memperhatikan guru di depan, mengabaikan Riki yang ada di sebelahnya.

Bukan karena dia tidak peduli pada lelaki itu, tapi karena jantungnya mulai berpacu dengan gila. Detaknya jauh lebih cepat dari pada tadi.

Gadis itu sedang merasa gugup setengah mati!