webnovel

gagal meminta maaf

Riki memang sering marah pada hal-hal yang sepele. Tetapi dia selalu berusaha menahan diri agar tidak mengeluarkan kemarahannya tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi.

Sayangnya kali ini dia lupa cara mengendalikan diri. Kemarahannya sudah terlanjur membludak, bercampur dengan rasa kecewa dan juga kesal yang meluap-luap di balik dadanya.

"Riki?" Bela terkejut melihat teman sebangkunya itu datang ke kelas. Dia mendadak teringat janjinya dengan bocah lelaki itu yang dia lewatkan.

Tadi karena terlalu fokus membantu Andi bersembunyi dari para penggemarnya, Bela sampai tidak ingat dengan hal lain. Bahkan dia juga tidak mempedulikan rasa haus yang dia dapatkan karena tadi lupa minum saking buru-buru pergi dari kantin.

"A-aku—" gadis itu kehilangan kata. Dia mencoba membela diri sebisanya, "Maafkan aku. Tadi aku … lupa … harus menemui di—"

Ucapannya terputus karena Riki langsung melengos dan melaluinya begitu saja. Teman sebangkunya itu langsung duduk di tempatnya dengan mengeluarkan aura kesal yang sangat kentara.

Bela yang sedang duduk di bangku sebelah Andi pun langsung bangkit, menyusul Riki. Meski dia merasa sedikit takut Riki akan meledak dan memarahinya, tapi itu lebih baik dari pada tidak meminta maaf saat sudah melakukan kesalahan.

Bela duduk di tempatnya, di sebelah Riki dengan hati-hati. Seakan suara lirih saja bisa membangunkan singa tidur dalam diri Riki.

"Maafkan aku," Bela mencicit. Masih belum berani bersuara terlalu keras.

Riki tidak mengindahkan keberadaannya sama sekali. Bocah itu sibuk dengan urusan dia sendiri. Menyiapkan buku untuk pelajaran lah, mengecek ponsel lah, menulis catatan kecil di halaman belakang buku lah. Riki berlagak seperti dia memiliki segudang kesibukan sampai tidak punya waktu melirik Bela barang sebentar saja.

"Riki. Tadi aku ada urusan. Jadi lupa dengan janji kita di perpustakaan. Aku tidak sengaja melupakannya, sungguh," Bela membujuk sosok dia sampingnya itu dengan seotenuh hati. Dia sendiri bingung bagaimana harus membujuk Riki untuk memaafkannya karena dia sendiri sadar kalau dia salah.

Kalau saja tadi dia tidak bertemu Andi, mungkin sekarang dia sudah menyelesaikan tugas kelopaknya dengan Riki. Mungkin sekarang mereka bisa bersantai tanpa khawatir masalah nilai tugas lagi.

Kalau saja tadi dia tidak terlalu peduli dengan Andi, pasti sekarang dia tidak perlu terjebak dalam keadaan yang penuh ketegangan seperti sekarang.

Kalau saja tadi Andi tidak membuatnya merasa kasihan— karena diserbu para penggemar yang jumlahnya luar biasa banyak —maka semua tidak akan berakhir seperti ini.

Bela melirik Andi. Si anak populer itu tertangkap basah sedang memperhatikan dirinya. Tetapi dia langsung mengalihkan pandangan begitu Bela meliriknya.

Bela menghela napas. Kembali beralih pada Riki, "Maafkan aku sekali ini saja. Janji aku tidak akan melewatkan janji kita lagi ke depannya."

"Kau pikir ke depannya aku masih mau janjian bertemu denganmu lagi?"

Bela terdiam.

Setelah diabaikan selama beberapa menit, kalimat pertama yang keluar dari mulut Riki terdengar sangat tajam. Bela bisa merasakan hatinya sakit meski hanya sepersekian detik. Seperti dicubit dengan kuku panjang.

"Kau tidak mau … menemuiku … lagi?" Bela bertanya dengan takut-takut. Ada keraguan dalam suaranya, tapi juga ingin memastikan apa maksud Riki barusan.

"Aku sudah menunggu selama jam istirahat di sana, Bela. Ke mana saja kau?" tanya Riki dengan tanpa emosi.

Wajah bocah lelaki itu datar, matanya juga begitu. Membuat Bela merinding merasa takut. Apa yang sebenarnya ada dalam mata Riki sampai bisa mengintimidasinya dalam sekali pandang?

Riki bertanya padanya dengan suara lirih, pelan, dan datar. Tetapi itu tetap terasa menusuk seperti kalimatnya yang sebelumnya. Terasa begitu tepat menusuk hati gadis itu.

Bela tergagap, "A-aku tadi— habis dari kantin, aku lalu—"

Untuk yang ke sekian kali, Bela tidak bisa menyelesaikan kalimat. Dia merasa tidak bisa menggerakkan lidah karena terlalu takut dengan Riki. Lelaki itu tampak begitu menyeramkan di matanya.

Padahal orang lain hanya akan beranggapan kalau Riki sedang kesal sehingga wajahnya kehilangan segala macam ekspresi. Namun Bela tahu kalau sekarang Riki sedang lebih dari kesal, dia marah. Mungkin juga ada hal lain yang dia rasakan.

Yang jelas Riki tidak hanya sekadar kesal. Dan Bela takut sosok di sebelahnya itu meledak.

"Kau bersenang-senang dengan anak baru itu?"

"Ti-tidak." Bela memang tidak bersenang-senang dengan Andi saat jam istirahat tadi. Dia malah dibuat lelah karena harus membantu si anak baru itu bersembunyi.

Bela tadi sibuk mengendap-endap sambil menutupi Andi sebisanya. Dia mencoba membawa anak itu ke tempat yang sepi, sehingga tidak ditemukan oleh para penggemar. Masalahnya perjalanan menuju tempat sepi tersebut menghabiskan waktu yang banyak. Nyaris seluruh waktu istirahat yang masih tersisa dia habiskan hanya untuk membantu Andi saja.

Lalu saat jam istirahat kurang lima menit, baru lah mereka bisa ke kelas dengan damai karena semua orang sudah mulai bersiap ke kelas masing-masing, agar tidak terlambat memulai pelajaran lagi.

Dan begitu dia duduk di sana, bel masuk pun berbunyi. Sambil menunggu guru datang Bela dan Andi mengobrol ringan tentang apa saja yang mereka berdua lakukan barusan demi menghindari anak-anak seisi sekolah.

Kemudian, tanpa diduga, kedatangan Riki ke kelas membuat Bela ingat kalau dia memiliki rencana dengan Riki sebelumnya. Dia melewatkan waktu yang seharusnya dia pakai untuk mengerjakan tugas bersama Riki.

"Begitu? Jadi kau tidak bersenang-senang dengan dia?" Riki bertanya retoris. Dia menunjukkan ekspresi sinis yang sanggup menyinggung orang lain yang dia tatap. Dan saat ini, dia sedang menatap Bela.

"Aku tidak sengaja melupakan tugas kita. Tadi aku sudah dalam perjalanan ke perpustakaan. Tapi, kemudian … aku …." Bela menghela napas kasar. Kesal karena tidak bisa menjelaskan keadaannya dengan baik di saat dia seharusnya menjelaskan dengan detail supaya tidak terkena marah teman sebangkunya itu.

Riki mendengus. "Terserah kau saja."

"Riki, ayolah. Maafkan aku." Bela terus merengek, meminta ampun dari lelaki di sebelahnya yang sekarang sudah dalam mode cuek lagi. Riki sudah kembali mengabaikan Bela tidak peduli berapa kali gadis itu memanggil namanya dan terus saja meminta untuk dimaafkan.

Sebelum ini, gadis itu juga sudah meminta maaf kepada dirinya. Dia sudah memaafkan tingkah gadis itu yang sangat tidak peduli itu. Lalu dia membiarkan gadis itu untuk kembali, menyetujui untuk mengerjakan tugas bersama, dan mengatur waktu di perpustakaan saat jam istirahat.

Riki tidak berharap apa-apa. Hanya nilai tugas saja yang sedang dia pedulikan di sini. Dia bisa saja mengerjakan semuanya sendiri, karena meski bukan peringkat satu, dia masih bisa memakai otaknya untuk berpikir.

Namun karena Bela terus merengek, dia pun membiarkan gadis itu ikut mengerjakan.

Riki sudah memasang harapan tinggi; mengerjakan bersama Bela, menyelesaikan secepat mereka bisa, lalu bisa tenang karena tidak dikejar deadline lagi.

Namun yang ditampilkan oleh kenyataan justru berbeda dari harapannya.

Bela tidak datang ke perpustakaan sesuai yang sudah dijanjikan. Riki harus menunggu tanpa hasil.

Lalu, dia mendapati gadis itu sedang mengobrol santai dengan Andi, si anak baru idaman seluruh sekolah.

"Apa kau salah satu penggemar anak baru itu?"