1 Masalah dalam Keluarga Besar

Diperkirakan cuaca hari ini akan cerah hingga petang dengan suhu di atas dua puluh empat derajat. Begitulah terdengar dari siaran berita televisi di distrik Songtan, di ujung utara kota Pyeontaek provinsi Gyeonggi.

Burung-burung gereja ke hulu ke hilir, memangsa beberapa serangga dan bergegas terbang melihat segelintir manusia tua. Mata kecil berjaga sembari terbang menguasai udara. Sepasang sayapnya membelah kabut yang menyelimuti langit, tetes-tetes partikel embun menumpang hinggap pada sayap si burung gereja. Siulannya terdengar saat hinggap di ranting pohon pinus muda di depan seorang berbadan lapuk dimakan usia. Si orang tua itu sering dipanggil nenek Nam dengan nama asli Kim Nam Yoo. Anak dari seorang petani lobak dari keluarga Kim.

Kebanggannya sewaktu muda, nenek Nam adalah bunga desa yang diperebutkan para pria di zamannya, tahun 60-an. Sekarang, sekuntum bunga anggun itu kini duduk dengan tubuh nan keriput dan beraroma apek. Senyumnya tak secantik dulu, tetapi semangat dan perjuangannya untuk hidup masihlah awet muda. Nenek Nam adalah orang tua dari seorang anak tunggal bernama Kim Jae Suk yang kini sudah berumah tangga dan dikaruniai dua anak laki-laki.

Sekarang dirinya hidup sebatang kara, tempat favoritnya adalah taman luas panti jompo bangunan bertingkat dua, yang kini menjadi atap dan alas tidurnya.

Hari itu pagi-pagi sekali, Si tua itu duduk sambil memandangi langit kuning kebiruan nan berlapis embun. Matanya sudah tak senormal dulu, ia kadang mengusap mata kelabu kebiruan itu dengan tangan yang menebal dan kendur. Seringkali, ia mengeluhkan rasa sakit pada tulang-tulang raganya yang perlahan-lahan akan mati. Napasnya berat tiap kali duduk sendirian seperti sekarang. Hamparan luas lahan yang diliputi bangunan-bangunan perumahan serta pertokoan dan jauh ke depan matanya masih dapat menangkap bangunan pencakar langit nan elok seperti batu giok. Sungguh indah tempat anaknya bekerja.

Panti jompo itu dibangun di perbukitan luas yang di kelilingi hutan dengan dataran yang menurun. Wilayah itu kerap kali dijadikan oleh pecinta alam sebagai pendakian. Di dekat hutan di pinggiran, mendekati jurang adalah posisi bangunan itu berdiri, dan merupakan tempat menikmati pemandangan kota yang nyaman.

Meski disuguhkan pemandangan dan udara bersih, akan tetapi bangunan itu bagaikan isolasi untuk para orang tua yang ditinggalkan atau dititipkan oleh anak mereka sendiri. Ironisnya, mereka yang sudah masuk ke sana tidak mudah untuk kembali ke bawah meski hanya untuk bertemu keluarga. Dengan alasan, jalan pendakian dan kendaraan tidak memungkinkan untuk ditumpangi para lansia itu. Kebanyakan dari mereka hanya mengandalkan keberuntungan dan rasa kasih sayang yang masih tersisa dari keluarga yang mau berkunjung ke panti jompo.

Cukup lama Nenek Nam duduk sendirian di tempat itu hingga suatu ketika datanglah dua orang yakni seorang perawat bernama Alice dan seorang tua yang dipanggil nenek Soo Jin. Setelah melihat Nenek Nam termenung, dua orang itu menghampiri dan duduk di sebelahnya.

Alice menyelimuti punggung besar nenek Nam memakai selimut rajut buatannya. Sensasi dingin pun hilang seketika, nenek Nam tersenyum menerimanya.

''Nam, apa yang kau lamunkan? Tak sekali dua kali, aku melihatmu meditasi di tempat ini?'' canda nenek Soo Jin.

Nenek Nam menoleh. ''Seperti biasa, hanya melihat matahari pagi selagi bisa,'' jawab nenek Nam, santai.

''Tatapan anda begitu dalam kepada upuk timur. Meski cahaya masih belum muncul, tampaknya ada sebab lain yang menarik mata untuk melihat ke arah sana.'' Si perawat itu memperhalus nada bicaranya. ''Kalau boleh menebak, Alice rasa, Nenek sedang kangen keluarga.''

Nenek Nam tersenyum kecut. ''Alice pandai sekali menebak.'' Lalu mempererat selimur rajut itu di badannya.

''Tiap minggu pagi, nenek selalu menyempatkan diri bersantai di sini pada pukul 05. 55 seperti sekarang. Pasti ada sekelebat kisah tentang pukul 05.55 itu.'' Alice memandang hamparan kota yang mengelilingi kawasan perbukitan panti Jompo.

Nenek Nam tampak sedih ketika ditanya, ia pun menceritakan bagaimana dirinya berakhir di tempat itu bersama mereka.

***

Malam itu, nenek Nam duduk di depan TV menonton drama percintaan. Adapun di belakangnya, seorang wanita berusia 43 tahun sedang sibuk membersihkan piring sisa makan malam. Menantunya itu seorang wanita karir yang bekerja dari pagi sampai pukul 05.00 sore, sehingga hanya punya waktu malam hari untuk mengurus rumah.

Ketika melihat senyum nenek Nam saat menonton TV, wajah wanita itu selalu masam dan ditekuk. Apa lagi ketika nenek Nam meninggikan suara dan terbahak sendirian. Si tua itu tak menyadari ketidaksukaan menantunya yang sudah lama tumbuh dan memupuk kebencian.

''Ibu, pelankan suara TV!'' Ia membuang napas lelah, tengkuk lehernya sakit ketika stres tiap kali menegur si tua itu. Lalu katanya lagi, ''Siaran drama itu sudah tayang bulan lalu, ibu sudah menontonnya selama dua kali bulan ini. Kenapa buang-buang waktu dengan itu—''

''Memang apa salahnya menonton lagi ...,'' sela nenek Nam dengan nada jutek. ''Lagi pula TV ini tak sering dinyalakan. Lalu apa gunanya ada TV kalau tidak dipakai. Jangan begitu hemat dengan ku. Kau hemat pun tak kaya-kaya!''

Tiap kali ditegur, nenek Nam selalu terdengar marah dan suaranya begitu tinggi dan unggul. ''Yeo Ran! Kapan kau berhenti dari pekerjaanmu? Sekarang anakku sudah bekerja tetap di perusahaan besar ibu kota provinsi. Seharusnya kini kau hanya mengurus dan mendidik cucu-cucuku. Mau jadi apa mereka jika tidak didampingi. Jangan membuat aku menggantikan posisimu terus. Lusa lalu saat aku berkumpul dengan teman-teman sekomplek, mereka membicarakan dan membanggakan menantunya. Aku malu karena mereka bertanya tentang mu,'' ujar nenek Nam mengeluh.

Yeo Ran, si menantu memutar bola matanya. Tengkuk lehernya yang ngilu dielus-elusnya berkali-kali. ''Kalau begitu berhenti saja bertemu mereka. Sampai kapan ibu hendak mencampuri urusan mendidik anak. Aku sudah dewasa dan aku bisa mendidik anak-anakku dengan caraku sendiri.''

Remot kontrol diacungkan kembali ke depan TV dan volume suara ditingkatkan lagi sebelumnya sempat dikecilkan ketika mereka sedang adu mulut.

Kalau masalah perdebatan dengan menantunya, nenek Nam selalu tak mau kalah. Ia tak sungkan menegur balik sang menantu yang tak pandai memasak dan hanya bekerja tanpa merawat anak. Sejak dulu memang, nenek Nam lah yang selalu merawat kedua cucunya hingga sekarang cucu-cucunya berusia 19 dan 7 tahun.

Ketegangan turun sejenak di antara keduanya saat cucu terkecil memanggil sang ibu. Malam itu mereka hanya bertiga di rumah, sang anak yang katanya bekerja di perusahaan ibu kota, sebenarnya sedang mengurus kepindahahan mereka yang dirahasiakan dari nenek Nam. Hal itu sengaja tak diberitahukan karena si menantu tak ingin tinggal bersama mertuanya lagi.

Yeo Ran yang tengah menemani anak terkecilnya belajar, terganggu lagi dengan suara TV yang nyaring, lantas mulutnya gatal menegur lagi, ''Ibu! Menonton drama tak baik untuk kesehatan mentalmu. Suaranya mengganggu Yeo Ning belajar!''

''Yoo Ning-ku saja tak mengeluh ... kau terlalu melebih-lebihkan. Lalu apa yang harus ku tonton? Kau akan membiarkan orang tua ini menikmati sisa umur dengan duduk dan tiduran saja, hah? Menantu macam apa kau ini, sungguh tak perhatian sekali.'' Suaranya yang serak dan besar, mengalahkan suara TV.

''Kecilkan volumenya!'' suara Yeo Ran ditekan namun masih memiliki kesabaran.

''Oh, Tuhan! Kasihan sekali telinga tua ini tidak dapat mendengar suaranya...,'' Nenek Nam menyela lagi dan berpura-pura tidak mendengar.

Sifat si tua itu semakin menjadi-jadi dan selalu tak ingin dikalahkan. Ia sensitif dan mudah tersinggung meski hanya teguran ringan. Yeo Ran, si menantu sudah mengalah dan memilih menutup mulutnya. Sudah ditekankannya bahwa ia benar-benar tak tahan dengan ibu mertuanya itu. Dan yakinlah keputusannya untuk tinggal terpisah dari sang mertua. Memulai hidup baru bersama suami tercinta dan dua anak laki-lakinya.

avataravatar
Next chapter