webnovel

Young Girl Revenge

Kiana harus membalas dendam pada orang-orang yang sudah bermuka dua di belakangnya. Namun, hal itu tidaklah mudah baginya, karena pengkhianat itu ternyata adalah keluarganya sendiri. Bukan hanya tentang balas dendam, tapi juga dipenuhi dengan intrik percintaan anak muda. Apakah Kiana sanggup membalas dendam pada mereka?

AnggunMarimar1997 · Urban
Not enough ratings
7 Chs

Kematian Kedua Orang Tua

"Bersabarlah, Nak, kedua orang tuamu sudah meninggal."

Ucapan pria berkulit cokelat dengan tinggi semampai itu membuat gendang telinga Kiana begitu terngiang-ngiang mendengar suara tersebut. Ini tidak mungkin bagi Kiana, mengingat kedua orang tuanya begitu sehat sejak pagi tadi.

"Mobil ayahmu mengalami rem blong," ucapnya.

"Bagaimana bisa, Om? Ayah selalu mengecek mobilnya dengan teliti. Ini tidak mungkin!"

"Mungkin saja, Nak, kalau sudah takdir. Bersabarlah. Masih ada Om, Tante, dan sepupu-sepupumu."

Kedua jasad orang tua Kiana sudah terbujur kaku tak berdaya. Lubang hidung mereka pun telah tertutup oleh kapas. Ia tak bisa membendung kesedihannya sendiri tatkala membuka kain penutup jenazah orang tuanya.

"Ayah, Ibu ...!" Kiana menangis deras di samping jenazah orang tuanya.

Ali–selaku Om dari Kiana, adik dari mendiang sang Ayah tampak mendekat dan memeluk tubuhnya. Pun disusul juga oleh Rosa, selaku tantenya.

"Sabar, Nak. Masih ada Tante dan Om kok. Kami akan merawat kamu layaknya anak sendiri," ucap Rosa.

Mereka berdua mencoba menguatkan Kiana yang saat ini tengah berdukacita. Mereka juga akan menjaganya dengan sepenuh hati, seperti anak sendiri. Ali tak mungkin bisa meninggalkan keponakannya tinggal sendirian di sini.

"Kamu ikut tinggal sama Om ya mulai sekarang," bujuk Ali.

"Gak, Om. Aku tetap akan tinggal di sini. Biar sendirian aja."

Usia Kiana masih dua puluh tahun sekarang. Saat dirinya menginjak usia dua puluh dua tahun nanti, maka Kiana akan mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya, berupa rumah, perusahaan, dan seluruh aset lainnya. Saat ini, ia masih belum cukup umur untuk mendapatkan harta warisan tersebut.

Kiana masih terus terisak di depan jasad kedua orang tuanya. Sebentar lagi, akan dilakukan pemakaman. Namun, Kiana tak kuasa harus terpisah alam seperti ini dengan Ayah dan ibunya.

"Om gak bisa ninggalin kamu sendirian di sini, Nak. Ikut sama Om, ya," bujuk Ali.

Kiana masih menggeleng-geleng. Ia tak mau pindah dari rumah ini. Di rumah besar nan mewah ini banyak sekali kenangannya bersama dengan kedua orang tua. Lantas, Kiana tak akan pergi ke mana pun dan akan tetap berada di sini.

Pelukan hangat Ali berikan untuk sang keponakan tersayang. Saat ini Kiana sangat terpukul karena telah kehilangan kedua orang tuanya. Gadis malang itu masih nyaman berada dalam pelukan Ali.

"Sudah, Nak, jangan menangis lagi. Ikhlaskan kepergian Ayah dan ibumu." Ali membelai-belai dengan lembut puncak kepala Kiana.

Rosa juga ikut menenangkan keponakannya yang tengah berdukacita. Ada juga adik-adik sepupu dari Kiana yang bernama Linda dan Adel. Sebentar lagi, proses pemakaman akan segera dilakukan. Tangis Kiana kembali pecah dengan deras. Bahkan Ali tak kuasa untuk membujuk sang keponakan yang meronta-ronta.

"Ana, tenangkan diri kamu! Jangan kayak gini," ucap Ali.

Kiana pun merasakan kepalanya sangat pusing. Matanya sudah berkunang-kunang. Kedua kakinya tampak bergetar, tak sanggup lagi untuk menapak.

"Kiana!"

***

Malam ini, Kiana diselimuti dengan kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan tak kuasa saat melihat Ayah dan ibunya masuk ke dalam liang lahat saat siang tadi. Ia juga pingsan beberapa saat dan akhirnya disadarkan oleh Ali.

Kiana berada di dalam kamar dan mengurung diri sendirian. Ia tak ingin bertemu dengan siapa pun, termasuk pada Om dan tantenya.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar ketukan pintu dari luar kamar. Kiana menengok sejenak, tapi enggan untuk membukanya.

"Non, makan dulu ya," ucap sang pembantu yang berada di luar pintu kamar.

Tak berapa lama, pembantu itu pun masuk ke dalam kamar Kiana sambil membawa makan malam. Gadis itu langsung duduk dan menatap pembantunya yang bernama Bi Asih.

"Non," panggil Bi Asih.

"Kenapa Ayah dan Ibu ninggalin aku sendirian di sini, Bi?" tanya Kiana sambil menangis tersedu-sedu.

"Non yang sabar, ya." Bi Asih langsung memeluk tubuh Kiana yang kian bergetar karena terus menangis.

Kantung matanya pun kian membesar dan menghitam. Ia tak bisa menghentikan tangisannya ini. Kiana masih memikirkan kedua orang tuanya yang sudah pergi jauh di sana.

"Aku gak sanggup, Bi kalau harus ditinggal sama Ayah dan Ibu. Apa aku bisa melanjutkan hidupku sendiri?" tanya Kiana yang tak yakin akan keberlangsungan hidupnya.

Bi Asih tak tega mendengar rintihan Kiana. Ia terus menenangkan gadis itu. Gadis malang itu terus saja menangis di hadapannya. Kiana adalah anak yang baik dan santun terhadapnya.

"Non pasti sanggup buat menjalani semua ini. Bibi yakin kok."

Kiana mencoba menghapus air matanya yang terus saja mengalir. Ia mencoba untuk tegar, tapi rasanya sangat sulit. Kiana sudah terbiasa hidup bersama dengan kedua orang tuanya. Dan, sekarang saat maut yang memisahkan mereka, ia jadi terpuruk sangat dalam.

"Non, makan dulu ya. Bibi suapin nih." Bi Asih mencoba untuk menghibur hati Kiana.

"Gak, Bi. Aku gak nafsu sama sekali. Aku kenyang," jawab Kiana.

"Kenyang abis makan apa, Non? Dari pagi, Non belum makan sampai sekarang." Bi Asih sangat mencemaskan keadaan Kiana. Gadis malang itu bahkan tak makan seharian ini.

"Aku beneran lagi kenyang, Bi. Gak mau makan." Kiana meninggikan sedikit suaranya pada wanita yang sudah berusia empat puluh tahun lebih itu. Ia tak selera untuk bersantap makan.

Pikiran Kiana selalu tertuju pada kedua orang tuanya yang telah tiada. Andai saja, ia berada dalam mobil bersama orang tuanya, tentu Kiana tak akan sendirian di sini.

Bi Asih meletakkan kembali piring tersebut ke atas meja. Ia merasa tak tega melihat Kiana seperti ini. Gadis itu menangis tersedu-sedu. Rumah besar ini pun tampak sepi jadinya karena tak ada Tuan dan Nyonya lagi. Bi Asih juga merasa kehilangan.

"Ya udah, kalau Non gak mau makan, gak apa-apa. Bibi gak akan maksa kok," ujar Bi Asih pada Kiana.

"Makasih ya, Bi, udah ngertiin aku."

Alhasil, Bi Asih mengambil piring makan tersebut dan akan ke luar dari kamar Kiana. Wanita paruh baya itu tak ingin mengganggu gadis malang itu.

"Bibi mau ke luar dulu ya, Non," ucap Bi Asih dengan sopan sambil membawa piring makan.

"Iya, Bi."

Kiana melihat kepergian Bi Asih yang melangkah menuju pintu kamar. Wanita itu mulai ke luar dari kamarnya. Ia kembali menjadi murung seperti tadi. Kiana tak bisa melupakan kenangan-kenangannya bersama orang tuanya sendiri.

"Ayah, Ibu, apa aku bisa hidup tanpa kalian?" Kiana terus saja menangis seperti ini. Ia bahkan tak sanggup kalau harus menanggung rasa sakitnya ditinggal kedua orang tua. Hidup Kiana sudah terbiasa bersama dengan mereka.

Apakah Kiana sanggup untuk terus melanjutkan hidupnya tanpa kedua orang tua di samping?