1 LUCINDA

"Arghhh sialan, si bujangan tua itu mau ngebunuh aku ya? Udah tau ini midnight masih aja nyuruh hunting foto buat besok. Dasar bujangan tua." Ucap gadis ini. Sepanjang jalan gadis ini selalu mengucapkan sumpah serapahnya untuk bujangan tua yang ia sebut-sebut sedari tadi dan tak lain itu adalah bosnya sendiri. Lucinda memang berkerja sebagai fotografer profesional tapi siapapun akan marah saat dirinya yang sedang asik bermimpi indah, namun mimpi indah itu telah musnah karena Mr.Tom yang secara mendadak memintanya untuk hunting foto saat tengah malam.

What the hell.

Lucinda melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Ia berkeliling kota untuk mendapatkan objek yang bagus untuk fotonya yang bisa berharga ratusan dollar dan cukup untuk membeli stok bir kesukaannya.

"Damn, kenapa tidak ada objek yang bagus disini?" Kesal Lucinda.

Lucinda terus melajukan mobilnya dan tanpa ia sadari saat ini mereka (ia dan mobilnya) hampir berkendara keluar kota. Mencari objek yang bagus bukan hal yang mudah. Apalagi saat ini sedang winter, meski Lucinda berada di dalam mobil tapi ia bisa merasakan hembusan angin di luar sana sangat dingin dan menakutkan. Saat ini ia sangat merindukan kasur hangatnya.

Lucinda menghentikan mobilnya di suatu gang untuk mengambil beberapa foto pemandangan gang itu yang menurutnya cukup bagus sebagai objek foto. Suasana gang yang cukup gelap karena hanya disinari oleh 2 lampu jalanan dan ditambah dengan tumpukan salju diantara bangunan yang mengapitnya menambahkan kesan misterius yang Lucinda rasa sangat cocok untuk menjadi objek fotonya. Dengan kamera yang ia bawa, Lucinda turun dari mobilnya dan memulai perkerjaan yang sebenarnya sudah menjadi hobi tersendiri baginya.

Hari menjadi semakin malam dan Lucinda rasa ia sudah mendapatkan foto yang bagus untuk Mr.Tom yang selalu ia sebut sebagai bujangan tua. Ia melangkahkan kakinya kembali ke mobilnya. Namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar jeritan seseorang yang berasal dari gang tempat ia berdiri tadi.

Siapa itu?

Lucinda masih terdiam di tempatnya. Akal sehatnya mengatakan ia harus segera pergi dari sana. Namun rasa penasaran yang ada didalam diri Lucinda tiba-tiba saja menjadi sangat kuat. Lucinda menjadi sangat bingung. Jeritan siapa itu? Apa yang terjadi? Apakah ia harus menghubungi polisi? Bagaimana jika itu hanya ulah iseng saja? Semua pertanyaan itu berputar dikepala Lucinda.

Lucinda masih berdiam ditempatnya hingga ia mendengar jeritan kedua yang terdengar sangat keras. Lucinda melihat kesekitarnya. Mengapa tidak ada orang disini? Apakah orang-orang disini tidak mendengar jeritan itu? Semakin Lucinda memikirkannya, rasa penasaran yang ada dalam dirinya semakin besar. Ternyata Lucinda tidak menuruti akal sehatnya. Lucinda dengan perlahan mendekati asal suara tersebut. Gang yang awalnya terlihat sangat indah untuk objek fotonya kini menjadi sangat menakutkan. Langkah Lucinda terasa semakin berat disaat ia mulai memasuki gang itu. Namun langkah Lucinda terhenti saat ia berhasil menemukan asal suara tersebut. Malam ini Lucinda menemukan hal yang tidak pernah ia bayangkan.

Mayat.

Didepan matanya ada mayat seorang lelaki dengan tubuh berlumuran darah. Tunggu dulu, bagaimana Lucinda yakin jika lelaki itu sudah mati?

Kepalanya...terpenggal.

Kaki lucinda menjadi lemas dan tidak berhenti bergetar. Kedua tangan Lucinda berusaha menutup mulutnya dan juga berusaha untuk tidak memuntahkan makan malamnya tadi.

Lucinda melihat wajah lelaki itu yang penuh dengan sayatan. Ia bahkan tidak memiliki mata kirinya. Tubuh lelaki itu yang berada tak jauh dari kepalanya juga tidak kalah mengerikan. Kedua kakinya hampir putus. Kedua tangannya pun lebih mengerikan ... hancur.

"Pemandangan yang indahkan?"

Seorang lelaki tiba-tiba sudah berada dibelakang Lucinda. Lucinda sangat terkejut akan kehadiran lelaki ini yang muncul secara tiba-tiba. Lucinda rasanya ingin berteriak, namun mulutnya masih terkunci. Matanya membulat ketika lelaki itu memutar tubuh Lucinda dan kini mereka saling berhadapan. Badan gadis ini masih bergetar dan keringat terus saja membasahi pelipisnya. Lucinda mencoba menatap lelaki itu. Lucinda menangkap hal yang asing pada lelaki itu.

Matanya...berbeda.

Mata sebelah kanannya berwarna biru sedangkan yang kiri berwarna hijau.

"Apakah aku terlalu tampan hingga kau tidak berkedip melihatku?" Ucap lelaki aneh itu membuyarkan pikiran Lucinda tentang dirinya.

"Si...siapa kau?" Akhirnya mulut Lucinda bisa kembali berfungsi meskipun keringat dipelipisnya semakin bertambah.

"Aku? Orang yang membuat pemandangan indah dibelakangmu itu." Jawab lelaki itu dengan santai.

"Ka...kau membunuhnya?" Lucinda seakan-akan ingin berteriak dan lari dari sini namun mulutnya malah melontarkan pertanyaan untuk lelaki misterius tersebut.

"Tepat sekali."Lagi-lagi Lucinda terpesona dengan suara lelaki itu. Namun, ia harus sadar bahwa lelaki itu adalah orang yang membunuh lelaki yang saat ini tergeletak di belakangnya.

"Ka...kau akan membunuhku juga?" Sudah tiga pertanyaan bodoh yang meluncur dari mulut Lucinda dan pertanyaan itulah yang saat ini mengurangi angka persentase untuk hidup Lucinda. Tentu saja hidupnya akan berakhir malam ini seperti lelaki malang di belakangnya.

"Untuk apa aku membunuh gadis cantik sepertimu? Aku tidak punya alasan untuk membunuhmu." Ucap lelaki itu.

Lucinda terdiam mendengar jawaban yang keluar dari mulut lelaki itu. Apakah ia tidak salah dengar kan? lelaki itu bilang tidak akan membunuhnya. Lucinda terdiam beberapa saat sampai akhirnya ia membuka mulutnya lagi.

"Benarkah?" Tanya Lucinda.

"Iya."

"Kau berjanji?"

"Jika kau tidak melapor polisi, kau selamat. Jika tidak, nasibmu sama seperti ia."

"Tapi benarkah?"

"Sepertinya kau suka bertanya ya?"

Jawaban lelaki itu benar-benar tidak diduga oleh Lucinda. Seketika Lucinda merasa lega meskipun ia harus sedikit mendapat ancaman agar tidak melapor pada polisi. Lalu, bagaimana cara ia akan pulang? Apakah ia harus permisi kepada pembunuh itu dan mengucapkan terimakasih untuk tidak membunuhnya? ia rasa ia perlu nyali yang besar untuk itu.

"Hei, kau tak mau pergi?" Suara lelaki itu membuyarkan pikiran Lucinda (lagi).

"Um... benarkah? kau tidak akan iam-iam membunuhku kan?"

"Apakah kau ingin kubunuh?"

Damn. Pertanyaan bodoh Lucinda kembali menempatkan dirinya dalam bahaya.

Seharusnya aku tidak mengatakan itu. Shit!

"Tenang saja aku hanya bercanda, lebih baik kau pergi sekarang."

"Uh... baiklah, aku pergi te...terima kasih. Hmm...dadah?" Dengan langkah tergugup Lucinda melangkah pergi dari tempat mengerikan itu sambil terus mengutuk dirinya yang terlihat seperti orang bodoh. ia berpikir pasti lelaki itu sedang menertawakan sikap bodoh dirinya tadi. Meskipun lelaki itu menggunakan masker yang menutupi wajahnya.

"Hei." lelaki itu memanggil Lucinda, sontak keringat dingin kembali membasahi pelipisnya. Lucinda berhenti lalu berbalik menatap lelaki itu dengan penuh tanda tanya dan juga rasa takut.

"Siapa namamu?"

"Aku?" Sudah banyak kebodohan yang gadis ini tunjukkan pada lelaki itu, dan kali ini gadis ini yakin lelaki itu akan segera membunuhnya.

"Memangnya aku bertanya pada mayat itu?" Jawab lelaki itu disertai dengan sedikit tawa, meskipun candaanya membuat Lucinda cukup merinding.

"Lucinda."

"Aku...Leon."

***

avataravatar
Next chapter