1 1

"Hei."

Saat itu lembayung senja sudah berada di peraduannya. Langit jingga malu-malu mengintip dari balik awan yang berkumpul membuat koloninya, sementara cahaya sore merangsek masuk dari celah terbuka dan Chaeyoung tidak tahu kenapa dirinya mengendap-ngendap seperti penjahat; padahal dia yakin bahwa dirinya adalah anak baik, selalu duduk di kursi paling depan, dan mendengarkan setiap perkataan gurunya penuh minat. Jarang bertutur kasar dan mendambakan perdamaian dunia. Jadi dia tidak tahu kenapa langkahnya dimulai dari ujung jari kemudian disambung dengan telapak kaki yang menapak lantai pelan-pelan, tidak ingin diketahui atensinya.

Ada dua orang di sisi loker, Chaeyoung berada di sisi lainnya. Barangkali dia tidak ingin menganggu perbincangan serius dua teman tersebut; Chaeyoung mengenalnya, mereka murid kelas sebelah, tetapi seharusnya itu bukan jadi masalah hingga dia mengendap seperti ini.

"Apa kau tahu Jigoku Tsushin?"

Dia tahu seharusnya tidak boleh mendengar perbincangan orang lain secara diam-diam, tetapi telinga bertindak sendiri menangkap gaung suara sekitar. Lagipula sekolah sudah sepi, pembelajaran dihentikan satu jam lalu. Walaupun berbisik, remaja berusia enam belas tahun itu yakin masih dapat terdengar.

"Aku baru pertama kali mendengarnya. Apa itu?"

Chaeyoung membuka loker sepatunya perlahan, masih tidak mengeluarkan suara. Memakai sepatu sembari mengeritkan gigi kesusahan. Sepatu putihnya terasa kian menyempit atau mungkin dia hanya lupa membuka tali satu per satu karena terlalu tergesa.

"Kau harus berjanji tidak memberitahu pada siapapun, ya?" Hanya perasaannya saja atau bagaimana, Chaeyoung merasa cahaya di luar memudar, awan gelap mendominasi tiba-tiba. Hembusan angin lebih kencang dari sebelumnya. Ah, apakah akan hujan? atau mungkin agak tidak enak saat melihat beberapa karangan bunga di depan sekolah. Tertulis tulisan duka di sana atas guru olahraga yang meninggal, Choi Minho. Chaeyoung hanya merasa sejak saat itu suasana menjadi tidak nyaman.

"Kita sudah berteman sejak kapan memang? Kau tahu sendiri aku dapat menyimpan rahasia dengan baik."

Otak seolah mendoktrin diri, apapun yang berhubungan dengan kematian itu mistis. Arwah yang tidak tenang, bergentayangan, barang kutukan, dan berbagai hal tidak menyenangkan lainnya. Remaja Park merasakan itu, walau otaknya di atas seusia kebanyakan, dirinya merasa sekolah agak menyeramkan sejak berita guru Minho meninggal karena kecelakaan tunggal, mengaung di udara; dibicarakan banyak orang.

"Jigoku Tsushin adalah situs yang hanya dapat di akses setiap jam dua belas malam." Chaeyoung diam mendengarkan, tidak peduli dengan dia yang mencuri dengar. Ini menarik perhatian, sejak kapan ada sebuah situs yang hanya dapat di akses pada jam tertentu saja? Hanya dia atau dunia berkembang lebih maju dari perkiraan?

"Di sana kau bisa mengetikkan nama seseorang." Perempuan itu melanjutkan dengan nada dibuat-buat, seolah ingin memberikan evokasi lebih dalam. "Kemudian mengirimnya ke neraka."

Chaeyoung tergagu, tidak jadi berdiri karena kedua kakinya lemas mendadak. Ini sebuah candaan, dia yakin itu. Namun, entah kenapa hatinya seakan diremas dan batinnya bersorak luar biasa senang. Ia berujar soal pembalasan dendam atas keadilan. Sepantasnya semua manusia memiliki hak yang sama, berdiri pada arena masing-masing dan bekerja keras akan kehidupan, tidak ditambah kekhawatiran penuh beban bernama penindasan.

Orang-orang selalu membuat masalah, selalu ingin berkuasa, selalu ingin menunjukkan dirinya yang terhebat dan beberapa dari mereka memilih jalan mudah, tetapi penuh konsekuensi berbahaya. Namanya menindas. Meluruhkan semua harga diri orang yang lebih kecil dari mereka, tanpa hormat, tanpa belas kasih, seakan kehilangan rasa sampai dapat diibaratkan binatang.

Chaeyoung selalu marah. Ingin membalas dengan perlakuan sama, tetapi dia tahu dengan benar bukan ini jalannya. Jantungnya bersorak atas belah kasihan, selalu saat melihat banyak teman yang lemah hanya diam mendapat ketidakadilan. Dan bodohnya, Chaeyoung juga ikut diam, tak tahu harus melakukan apa.

"Kau bercanda, kan? Mana mungkin ada situs seperti itu? Jangan bicarakan neraka seolah itu sangat mudah."

"Aku bersungguh-sungguh!"

"Kalau begitu buktikan!"

Chaeyoung berdiri, dia seharusnya tidak mendengarkan sejauh ini. "Guru Choi ..." Membenarkan letak tasnya yang turun ke bawah. "Aku menuliskan namanya di situs itu."

Terguncang, Chaeyoung tersentak kaget. Pupil matanya membesar, menatap karangan bunga di depan terselimuti kekalutan. Nama 'Choi Minho' terpampang di sana, dengan satu foto terbingkai apik di antara banyak kelopak bunga. Foto itu tersenyum, bahkan ketika mendengar bahwa muridnya sendiri mengirimkan namanya ke sebuah situs.

Situs Jigoku Tsushin yang Chaeyoung baru dengar kali ini; yang katanya dapat mengirim orang ke neraka.

"Lalu kemarin Guru Minho benar-benar mati. Menurumu Jigoku Tsushin sebuah candaan?"

Dalam benaknya, Chaeyoung gembira setengah mati saat bel pulang berbunyi. Namun, harus tertahan satu jam karena tugas membersihkan kelas yang wajib dilaksanakan. Dia tidak tahu apa yang terjadi saat banyak noda cat air di lantai, membuat bercak-bercak abstrak yang sama sekali tidak bisa dibilang seni. Berpadu dengan lapisan noda tanah, dia tidak mengerti kenapa. Entah terlalu apatis atau memang tidak tahu, kelas benar-benar kotor sekali.

Kemudian membayangkan pulang dengan tenang, bersenandung sepanjang perjalanan, membungkuk pada setiap orang yang dikenal, menatap pertokoan yang berjejer rapi di pinggir jalan, mencium harum roti yang baru di panggung dari persimpangan, menahan nafsu mati-matian saat melewati kedai di pinggir jalan, mengeritkan gigi ketika hawa dingin menyapa; benar-benar menikmati bergabung dengan hiruk pikuk kota Seoul di kala angin sore berhembus menggoda.

Akhirnya sampai di rumah dengan nyaman. Mandi air hangat, menonton televisi bersama keluarga, makan malam, lalu mengerjakan tugas yang diberikan, sebelum tidur nyenyak bersiap untuk aktivitas esok hari.

Namun, setelah geritan lantai terdengar dan kakinya menapak menjauh dari sana, ia tahu sesuatu; perjalanan yang didamba tidak akan setenang dalam pikiran.

Menghakimi sepihak, berlagak sebagai Tuhan. Jika memang situs itu dapat mengantarkan orang-orang bersalah, maka mungkin ini menjadi jalannya untuk menegakkan keadilan.

avataravatar