1 Tiga Ekor Panda

Cahaya lilin goyah oleh napasku yang keluar. Teriakan dua orang itu masih terdengar hingga sekarang. Entah apa karena mereka sama-sama takut gelap sehingga terus merengek-rengek memanggilku. Tetapi yang aneh adalah, siapa yang mengunci kamarku?

Setelah pintu kamar telah berusaha kubuka namun tidak bisa. Aku mematikan lilin dan mengantonginya. Dari jendela kamar, aku keluar dan menginjak halaman belakang. Dari atas dahan pohon, aku berdiri, memandang pada lingkungan rumah yang penuh dengan lampu. Makin aneh kalau rumahku saja yang mati listrik. ''Apa saklarnya rusak?''

Aku meloncat dari dahan pohon ke atap rumah. Di rumah tua ini ada satu atap pada bagian dapur yang memiliki jendela. Aku masuk lewat jendela atap yang rupanya telah rusak itu dan sampai di dapur.

Kalau tidak salah, ada satu senter kecil di salah satu lemari penyimpanan. Lilin kunyalakan dan diletakkan di dekat wastafel. Kubuka satu lemari bagian atas dan menemukan senter yang kumaksud.

Cahaya senter bergoyangan selama aku berlari. Sesampainya di ruang Tv cahaya senter kusorot pada wajah mereka yang tengah berpelukan.

''Ada apa memanggilku?'' tanyaku ketus pada mereka.

''Ke sana ...,'' tunjuk Fujia. ''Arahkan senternya ke sana!'' ia menunjuk pada jendela di dekat dapur. ''Semula saat kau masuk ke kamar, ada bayangan lewat sana. Aughh ... aku merinding.''

Aku menghela napas. ''Kalau tahu begini, aku tidak akan repot-repot memanjat dahan pohon! Ini akibatnya kalau menonton film horor.''

Aku berbalik hendak meninggalkan mereka. Suara kaki mereka ramai berlomba menghampiriku dan mendempet tubuhku. ''Sungguh, Masio. Tadi kau masuk ke kamar dan sosok itu muncul. Ayo periksa dulu, aku tidak tenang nih.''

''Jika benar apa yang dilihatnya, kalau begitu yang mengunci kamarku tadi orang yang dia maksud?''

Kami berjalan pelan-pelan, senter menyorot ke segala arah lalu berakhir ke dapur, tetapi tak ada apa-apa yang ditemukan. Mendadak senter mati, dua bocah ini kembali membekap lenganku erat-erat.

''Lepaskan dulu lenganku!'' aku menarik lengan dari mereka karena susah berjalan. Cahaya lilin kekuningan dari dalam kamar terlihat di bawah pintu kamarku. Ku tarik kenop pintu tetapi tak berfungsi. Pintu kamar sendiri terpaksa kudobrak. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya terbuka.

Sinar lilin nan terang menyembur wajahku. Sekonyong-konyong, dua bocah ini menyerbu lilin, menabrak lengan serta pundakku lalu meloncat ke atas ranjangku sambil berselimut.

Aku menggeleng-geleng atas kelakuan mereka. Getar smartphone terdengar tak jauh dari kamar, aku menoleh ke belakang, dan mendapati sinar layar smartphone yang tergeletak di atas meja makan. Aku mengambil smartphone kemudian kembali ke kamar.

Malam ini sudah banyak yang dilalui dan hal ini berkat dua orang ini. Aku menaiki ranjang dan berbaring di tengah-tengah mereka. bagiku sudah terlalu lelah mengurusi mereka ini, sehingga kubiarkan tanpa menegur lagi.

Pikiranku melayang pada kenop pintu kamar yang rusak dan terkunci sendiri, lalu muncul pertanyaan. ''Apakah kalian sudah mengunci pintu luar?''

''Bukankah kau yang terakhir masuk rumah?'' sahut Kenta yang berbaring di sisi kiriku.

Lalu Fujia memperkuat dan mendukung ucapannya. ''Dia benar. Apa kau melupakan pintunya. Nanti ada yang masuk!''

''Ck! Bikin repot saja!'' Aku hendak beranjak dari ranjang, mendadak tubuhku oleng saat lenganku ditarik oleh mereka.

''Ah ...!!!''

Aku mendesah lelah, rasanya mentalku sudah tak kuat meladeni mereka.

Dalam waktu yang lama, diantara kami tak ada yang memejamkan mata. Aku menatap hampa pada langit-langit kamar yang remang-remang. Kemudian kesunyian malam ini dipecah oleh suara kenta.

''Fujia, masih belum tidur?''

''Aku masih ingat adegan film horor yang terlihat mirip seperti suasana saat ini,'' sahut Fujia.

Diantara mereka, aku hanya menjadi pendengar. Jika bisa, ingin kucopot kedua telingaku ini dan menyimpannya untuk sementara waktu, agar tidak mendengar celotehan mereka.

''Dulu, kata ibuku saat aku berada di pedesaan ketika sedang mati listrik jangan biarkan pintu kamar terbuka dan menampilkan kegelapan di ruangan lain.''

Ucapan Fujia membuat kami menoleh pada pintu kamar yang menganga. ''Memang kenapa?'' tanyaku penasaran. Aku menoleh padanya dan memperhatikan nuansa seram wajahnya.

Kalau sudah melihat wajah Fujia yang serius begini, aku suka merinding sendiri, ceritanya jadi makin seram.

''Kegelapan adalah rumah bagi bangsa hantu. Mereka suka mengintip manusia dari tempat yang tak bisa di lihat. Pernah suatu hari, ketika aku masih kecil mainanku menggelinding ke sebuah ruang gelap. Dan tiba-tiba ada yang berdiri di ambang pintu sambil memanggilku untuk masuk ke dalam kegelapan. Seperti di depan pintu kamar itu.'' Fujia menunjuk pada pintu kamarku lalu berbalik membelakangiku. ''Ayo tidur, aku sudah mengantuk!''

Aku memukul punggung Fujia yang meninggalkan kesan horor pada kamarku sendiri. ''Sekarang gara-gara kau, aku jadi tegang!''

Fujia tertawa kecil di balik selimut, ia masih membelakangiku sambil berkata, ''Ayo tanding tidur siapa yang lebih cepat!''

Lama dalam sunyi, dua orang itu pun pergi tidur, meninggalkan aku yang tidak bisa menutup mata. Waktu bergulir lambat, mata mulai berat. Kucoba memejamkan mata berharap dapat terlelap seperti mereka berdua. Seperti aku akan jatuh tidur, badan mulai terasa rileks sekali. Ttepai semua itu mendadak hancur oleh lengan Fujia yang membentang di dadaku. Aku terkejut dan hampir tersedak. Belum terlampiaskan amarahku pada bocah bodoh itu, sekarang Kenta malah berbalik dan napasnya meniup-niup leherku, hal itu sukses membangunkan bulu roma sekujut tubuhku. Suara dengkur Fujia menciptakan musik aneh di tengah malam.

Tring tring tring!

Jam digital berdering heboh. Mataku membola dengan tatapan yang panas dan masih berat. Serasa baru saja tidur sekarang secepat kilat matahari telah keluar. Fujia beranjak dengan cepat mendahuluiku. Seperti biasa, ia bangun dengan heboh dengan leher bergerak ke sisi kiri dan kanan. Kemudian di susul oleh Kenta yang berguling sampai jatuh dari ranjang.

Habis bangun tidur, tubuhku terasa di gebuki. Lemas, lunglai dan terasa tidak hidup. Aku melongos dan berdiri, mataku membesar melihat jam telah menunjukkan pukul 7.30 pagi. Mereka berlarian ke kamar mandi, antara Fujia dan Kenta saling berebut untuk membuka kenop pintu.

''Menyingkir dari depan pintu!'' bentak Kenta sambil mendorong lengan Fujia.

''Ayo masuk dan mandi sama-sama!''

Aku melesat cepat dan berdiri di belakang mereka. Pundak Fujia kutarik hingga wajahnya menghadapku. ''Kenapa kau masih di sini? cepat pulang!''

''Wah, teman macam apa kau ini? Kau sendiri sudah melihat, 30 menit lagi gerbang sekolah akan tutup. Aku akan bersihkan diri disini dan pergi sekolah.''

Aku beralih menarik pundak Kenta dan menatapnya tajam. ''Sana pergi mandi di luar kamar! Cepat!'' kuusir dia dengan membentak secukupnya sampai-sampai wajahnya berubah masam. Ini demi kebaikannya, tak mungkin dia berbagi kamar mandi dengan dua pria seperti kami. Membayangkannya saja membuat aku cemas. Apalagi sikap Fujia terhadap perempuan lebih agresif dari saat bersama laki-laki. Jika si bodoh ini tahu, aku harus putar otak untuk membuat ia hilang ingatan, meski harus menggunakan formula milik ayah.

Kenop pintu berhasil kukuasai, kutahan pintu agar tidak di buka Fujia. Ia masih bersikeras mengalahkan aku. Sementara itu, aku menunggu Kenta benar-benar hilang dari kamar. Setelah punggungnya lenyap, aku membuka pintu kamar mandi.

Ku lepas baju singlet dan menyisakan sempak. Di antara kami berdua, sempak yang paling mencolok adalah milik Fujia yang bergambar patrik si bintang laut merah muda. Aku menyunggingkan senyum melihatnya. Tetapi rasa bahagia sekaligus lucu itu lenyap saat mataku menangkap arah tatapan matanya yang tertuju pada sikat gigi.

''Oh, No. Jangan sikat gigiku!''

Slap!

Aku kalah cepat menyelamatkan sikat gigiku dari Fujia. Dia langsung menyambar begitu ada kesempatan.

''Ah, sungguh, kau ini pelit sekali, Masio. Jika aku tidak cepat kau hampir mengambil sikat gigi ini dari tanganku. Jangan ribut cuma gara-gara sikat gigi, besok akan ku ganti milikmu!''

Aku mendesis. ''Tidak usah. Dan jangan letakkan kembali di sana!'' Aku menatap jijik pada busa-busa putih bersama saliva panjang menjuntai.

Terpaksa aku mengambil sikat gigi bekas bulan lalu dan mulai menggosok gigi. Agak sedkit menjauh dari Fujia, karena tiap kali ia menyikat gigi, maka busa-busa putih beserta air liurnya muncrat kemana-mana, bahkan mengotori cermin.

Waktu 30 menit, tak akan selesai digunakan untuk mandi dan persiapan ke sekolah. Cara pikirku mendadak sama dengan Fujia. Kami sama-sama tidak ada yang mandi.

Mendadak pintu dibuka oleh Kenta yang berdiri di ambang pintu. Ia menatap kami berdua, baju singletnya yang ketat menampilkan lekuk tubuhnya, bahkan dua benjolan di dada itu tampak jelas. Meski payudaranya tergolong kecil untuk seusianya, tetap saja menusuk mataku.

Fujia menghentikan laju gosokannya pada giginya, busa putih itu masih berhamburan di sekitar mulut, belum di bersihkan ia malah berjalan hendak menghampiri Kenta. Katanya sambil mengulum sikat gigi, ''Kenapa masih belum berganti baju juga? Eh, di dadamu itu –''

Lekas ku tutup mata Fujia dan mendorong kepalanya hingga terhuyung ke belakang semnetara itu aku memutar tubuh Kenta dan menendangnya ke luar. Segera kukunci pintu dan menatap balik pada Fujia.

Mimik wajahnya menyiratkan rasa penasaran yang tinggi. ''Apa jangan-jangan dia menyadarinya? Payudara gadis itu.''

''Yang barusan itu, apa itu ...''

Deg

Aku menatap tegang pada Fujia yang menjeda kata-katanya.

''Wah, dua benjolan di dadanya itu benar-benar bagus. Omong-omong, apa Kenta senang olahraga. Tubuhnya kecil tapi otot dadanya kencang sekali.''

Aku mengembuskan napas lega. Kapasitas otaknya yang sempit membuat ia mudah dibodohi. Untung saja dia terlalu bodoh untuk mengerti situasi.

avataravatar
Next chapter