30 Cinta Itu Tentang Merelakan (2)

Di sisi lain, Raka sedang termenung di kursi taman yang tak jauh dari rumahnya. Hatinya benar benar sesak mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, atau lebih tepatnya saat ia bertengkar dengan sang Mama.

"Kenapa sih gue bisa punya orang tua se egois Mama dan Papa? Kenapa gue nggak bisa nentuin pilihan hidup gue sendiri? Kenapa mereka selalu ngatur hidup gue, sedangkan mereka aja nggak pernah perduli gimana perasaan gue selama ini. Kenapa?" ucap Raka frustasi.

(FLASHBACK SAAT DI RUMAH MAKAN)

Jihan - Mama Raka - sedang duduk dengan santai menunggu Raka sambil sesekali menyesap coklat panas di cangkir hadapan nya. Wanita cantik itu kemudian mengedarkan pandangannya melihat sekeliling dan juga pintu masuk.

Hingga beberapa saat kemudian, Raka masuk ke dalam rumah makan itu dengan ekspresi wajah datar dan benar benar tidak suka ketika Mama nya mengajak dirinya untuk bertemu di luar.

Dengan malas, Raka mendudukkan pantatnya di kursi kosong depan sang Mama. Tangan nya langsung merogoh saku jaket nya dan mengeluarkan ponsel milik nya. Remaja itu tampak tidak menghiraukan sang Mama yang sedang duduk di depannya itu.

"Gimana sekolah kamu? Lancar?" tanya Jihan pada putra nya .

"Hm," sahut Raka singkat.

Remaja itu masih sibuk dengan ponselnya, bahkan tidak melirik Mama nya sedikit pun.

"Kamu nggak bisa perhatiin Mama sebentar aja? Mama mau bicara serius sama kamu," ucap Jihan dengan tegas.

Raka mengangkat kepalanya melihat sang Mama, lalu merotasikan kedua bola matanya malas. "Ya udah ngomong aja," sahut nya kemudian.

"Kamu nggak ada sopan santun nya ya sama orang tua,"

Jihan marah pada Raka. Ia tidak tau kalau sifat putra nya itu berubah. Sebelumnya Raka memang anak yang baik dan berbakti pada kedua orangtuanya. Namun setelah kakak nya meninggal, sifat Raka berubah drastis.

"Kalau Mama ngajak ketemu aku cuma mau marah marah aja, mending aku pergi," sahut Raka datar.

Jihan pun mendengus kasar. "Mama dan Papa akan bercerai!"

Mendengar itu sama sekali tidak membuat Raka terkejut sedikit pun. Raka hanya menyunggingkan senyum miring seakan memang sudah tau kalau itu yang akan di ucapkan oleh sang Mama.

"Terus? Kenapa Mama bilang ke Raka? Raka bukan petugas pengadilan agama, Ma. Nggak ada gunanya juga Mama bilang ini ke Raka," ucap Raka dengan tenang.

"Kamu?!" Jihan mengangkat telunjuknya menunjuk wajah sang anak dengan kedua bola matanya yang melotot sempurna.

Raka menghela nafas sejenak, lalu menatap Mama nya dengan tatapan dalam. Ada sedikit rasa kecewa di dalam benaknya, namun Raka memang sudah tau kalau cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi.

"Raka tau hubungan Mama dan Papa memang udah nggak baik setelah Kakak menanggal, maka dari itu Raka sama sekali nggak kaget kalau Mama bilang mau pisah sama Papa. Tapi, kalau Mama bilang mau ajak aku buat ikut sama Mama--"

"Cukup!" potong Jihan dengan cepat sebelum Raka menyelesaikan ucapannya.

Raka terdiam mematung melihat sang Mama yang sedang dalam keadaan tersulut emosi. Sepertinya Jihan sudah tau apa yang akan di ucapkan oleh Raka.

"Mama tidak mau penolakan dari kamu. Kamu harus ikut sama Mama!" sambung Jihan dengan penuh penekanan.

"Raka nggak mau!" sarkas Raka pada Mama nya.

"Mama nggak butuh penolakan kamu Raka!" Bentak Jihan.

Raka pun ikut tersulut emosi dan langsung berdiri dari duduknya. "Sudah cukup untuk semuanya, Mama bisa ngatur Kakak sampai akhir hidupnya. Tapi, Mama nggak akan bisa ngatur hidup aku!" teriak nya dengan tegas dan lantang.

Tentu saja hal ini langsung menyita perhatian para pengunjung rumah makan tersebut. Semua mata tertuju pada Raka dan Mama nya yang sedang bertengkar hebat.

Beberapa saat kemudian Raka yang menyadari dirinya sedang di perhatikan oleh orang-orang langsung berlari meninggalkan Mama nya sendirian di rumah makan itu.

"Benar benar anak keras kepala!" geram Jihan sambil mengepalkan tangannya memukul meja makan.

Wanita itu tersenyum miring merencanakan sesuatu untuk sang putra. "Aku tidak akan membiarkan kamu ikut bersama dengan Papa mu, Raka. Tidak akan!" gumam nya sambil tersenyum licik.

(FLASHBACK OFF)

*

*

*

Masih di tempat yang sama, Raka merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya. Remaja laki-laki itu menggeser dan mengetikkan sesuatu di benda pipih tersebut. Atau lebih tepatnya sedang mengirimkan pesan pada seseorang.

Di saat seperti ini yang Raka butuhkan hanyalah seorang teman yang bisa mengerti dan menenangkan dirinya. Dulu hanya Arin yang ada di sisinya, namun segalanya sudah berubah dan hanya ada satu nama yang ada di pikiran Raka saat ini.

Vania.

Remaja itu mengirimkan pesan pada Vania.

'Van, bisa temuin gue sebentar nggak? Gue lagi ada di taman biasanya. Gue tunggu ya."

Pesan terkirim dan ponsel milik Raka langsung mati karena baterainya habis.

"Ck, lupa charger lagi!" gerutunya kesal.

Tentu saja tidak ada respon dari Vania, karena gadis itu sedang mandi untuk membersihkan diri sebelum beristirahat. Dan Rakapun masih bersabar menunggu Vania berharap teman dekatnya itu akan datang menghampiri dirinya di taman.

Cukup lama menunggu, Raka mulai bosan dan melihat sekeliling taman yang tampak sepi.

Tiba-tiba pandangannya teralih pada seseorang yang sedang berjalan kearahnya. Raka berpikir itu adalah Vania. Perasaannya cukup senang dan lega karena ternyata Vania benar-benar bisa ia andalkan di saat-saat seperti ini.

Hingga beberapa saat kemudian, terlihat jelas gadis cantik yang memang tak asing bagi Raka. Dia bukan Vania, dia adalah Arin sang mantan kekasih.

"Arin?" ucap Raka sedikit tak percaya dengan apa yang dia lihat.

"Kok lo bisa ada di sini sih?" tanya Raka terheran.

Arin mengulum senyum tipis. "Aku tadi kebetulan lewat aja, dan gak sengaja lihat kamu di sini sendirian," jawabnya dengan anggun.

Kali ini Raka teringat dengan bagaimana sifat Arin yang dulu. Arin yang ada di hadapannya benar-benar sama persis dengan Arin yang dulu ia kenal.

"Kamu kenapa sendirian di sini?" tanya Arin sambil berjalan mendekat dan duduk di samping Raka.

Raka menoleh melihat Arin yang duduk di sampingnya. "Biasa, masalah lagi sama mama," ucapnya singkat, lalu menoleh ke arah lain.

"Aku tau, tadi sore aku nggak sengaja juga papasan sama Mama kamu,"

Raka hanya diam tak merespon. Sepertinya malas untuk membahas ini.

"Kamu boleh kok kalau mau cerita sama aku, aku tau kamu masih sakit hati karena sikap aku ke kamu sebelumnya, dan aku udah sadar dengan semuanya. Aku yang salah," sambung Arin karena tidak mendapat respon dari Raka.

Terdengar helaan nafas dari Raka. Remaja itu pun melihat Arin lagi. "Udah lupain aja. Gue udah nggak mau bahas itu lagi,"

"Kalau gitu kita bisa berteman aja kan? Aku juga janji nggak akan ganggu Vania lagi. Gimana?" tawar Arin.

"Lo yakin dengan apa yang barusan lo ucapin?" tanya Raka sedikit meragukan Arin.

Arin mengangguk mantap. "Iya, aku yakin!" sahutnya.

"Oke, gue pegang janji lo." pungkas Raka.

Arin pun tersenyum tipis melihat Raka, begitu juga dengan Raka yang tanpa sadar membalas senyuman Arin.

Hingga keduanya tidak menyadari bahwa sedari tadi ada yang memperhatikan mereka dari kejauhan.

"Jadi, kamu nyuruh aku kesini untuk lihat kemesraan kamu sama Arin? Tega banget kamu Raka!" gumam Vania.

Ya, sekitar beberapa menit yang lalu Vania baru membuka ponselnya dan melihat pesan yang dikirim oleh Raka. Dengan terburu-buru Vania langsung pergi ke tempat dimana Raka ingin bertemu dengannya.

Dan setelah Vania sampai di tempat tujuan, ia justru melihat kedekatan Raka dengan Arin di depan mata kepalanya sendiri. Sungguh membuat Vania tidak tahan dan segera pergi meninggalkan taman itu dengan perasaan berkecamuk.

***

avataravatar
Next chapter