webnovel

Part 1

     Musim dingin tiba lebih awal. Tidak seperti yang Yoona bayangkan. Ia bahkan belum mendapatkan jaket impiannya. Jaket yang ayahnya janjikan untuknya. Berharap bisa mengawali musim dingin ini dengan jaket barunya, namun sayangnya hingga saat ini ia belum juga mendapatkannya. Menginjak-injak tumpukkan salju dengan kesal. Kesal terhadap ayahnya yang telah mengingkari janjinya.

     Terdengar suara kericuhan dari sebuah gang, sebuah gang yang berada tidak jauh dari rumahnya. Yoona tidak menghiraukan suara itu. Ia terus menghentakkan kakinya ke tumpukkan salju, bahkan semakin kuat. Suara itu terus mengganggunya, ia masih menahan dirinya untuk tidak bertindak, namun ketika terdengar suara seseorang, seseorang yang sangat ia kenal. Dirinya sudah tidak mampu bertahan. Kakinya dengan lincah berlari guna menghampiri suara tersebut.

"Menjauh darinya!" teriaknya.

"Yak, apa kau tidak bisa menjaga ayahmu? Bawa dia menjauh dari sini! Dia sudah mengganggu kenyamanan pelangganku!" ujar seorang pria yang sedang menggenggam pisau.

"..." tidak menghiraukan ucapan pria itu, Yoona hampiri ayahnya. Membantu ayahnya berdiri dan membawa ayahnya kembali kerumah mereka.

     Mengambil sebuah kotak yang berisikan obat-obatan dan segelas air putih. Memberikan itu kepada ayahnya yang sedang duduk termenung di hadapan televisi. Tidak ingin mendengarkan apapun, Yoona langsung meninggalkan ayahnya dan masuk kedalam kamarnya. Ia sudah sangat bosan melihat ayahnya mabuk-mabukkan seperti itu.

"Yoona-a, mianhae." ucap ayahnya lirih. Walau ia sudah berada didalam kamarnya, Yoona masih dapat mendengar perkataan ayahnya. "appa tidak akan menyerah, jadi sabarlah. Appa pasti akan membelikanmu jaket itu." suaranya terdengar lelah. Didalam kamarnya, Yoona mencoba menguatkan dirinya, menguatkan dirinya agar tidak meneteskan air mata.

     Udara dingin menusuk tubuhnya perlahan, semakin menusuk hingga membangunkan dirinya dari tidurnya. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya kamarnya gelap tanpa penerangan. Ia mengulurkan tangannya untuk menghidupkan lampu kamarnya, tidak bisa. Ia menghela nafas dengan berat. Seakan mengerti apa yang sedang terjadi. Ia pun bangkit dari tidurnya, menoleh ke jendela kamarnya yang ternyata tidak tertutup. Pantas saja kamarnya menjadi sangat dingin. Tangannya membeku, tidak, bukan dikarenakan kedinginan, tetapi dikarenakan melihat sebuah tontonan dari balik jendela itu.

     Ayahnya duduk meringkuk di halaman rumahnya. Isak tangis ayahnya terdengar jelas olehnya. Dengan cepat ia tutup jendela kamarnya. Tidak ingin melihat tontonan menyedihkan itu. Mengatur nafasnya dan mencoba untuk tetap tenang. Ia tidak boleh meneteskan airmata. Ia melangkah menuju dapur, dilihatnya sebuah tudung saji diatas meja makan. Ketika diangkatnya tudung saji tersebut, dilihatnya uap panas mengepul diatas semangkuk sup, dan dibacanya memo yang menyelip dibawah mangkuk.

'Makanlah, malam ini sepertinya appa tidak bisa pulang. Jadi berhati-hatilah, kunci semua pintu, jangan pergi kemanapun, mengerti?'

     Dengan cepat ia berlari guna menghampiri ayahnya. Kosong. Ayahnya tak lagi terlihat di sana. Dirasakannya getaran dalam tubuhnya. Sungguh, ia sudah tak mampu menahan kesedihan itu. Dan untuk kesekian kalinya ia berhasil menahannya. Ia kembali ke meja makan, dan perlahan menyantap sup buatan ayahnya. Dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, dan dadanya yang mulai terasa sesak. Sesak dikarenakan menahan tangis. Yoona menyantap makanan itu didalam gelap.

     Ia memilih berjalan-jalan disekitar rumahnya. Dengan jaket tebalnya yang memiliki banyak sobekan di setiap sisinya. Kakinya terus melangkah. Menikmati indahnya langit pada malam itu, dengan gemerlap bintang yang bersinar indah. Namun, tetap saja ia tidak bisa tersenyum. Kondisinya saat ini terlalu menyedihkan.

"Yoong!" panggil seseorang dari kejauhan. Yoona tidak menghiraukannya. Ia terus melangkah. "yak! Aku ada kabar baik untukmu!" tetap tidak menghiraukannya.  "aish, anak ini benar-benar. Yak, ibuku sudah menerimamu, kau bisa bekerja disana!" mendengar itu membuat langkah Yoona terhenti.

"Kau tidak sedang berbohong kan?" tanya Yoona yang sudah menoleh pada orang itu.

"Tidak ada waktu untukku berbohong. Bukankah kau sangat membutuhkan uang?" mengatur nafasnya yang lelah mengejar Yoona.  "mulai besok kau sudah bisa bekerja. Tetaplah ke sekolah, eomma memberimu keringanan."

"Yuri-a, gomawo.. Jongmal gomawo." memeluk sahabatnya itu dengan gemas.

"Akhirnya kau bisa bertemu dengan ibumu." ujar sahabatnya itu. Yoona semakin mempererat pelukannya.

--

     Belajar pun jadi tidak fokus, saking senangnya mendapatkan pekerjaan. Rasanya ingin sekali langsung berlari menuju tempatnya kerjanya. Tapi ia tidak bisa meninggalkan kelasnya begitu saja. Ini adalah tahun terakhir dirinya berada disekolah itu, jika kali ini ia gagal juga, ia tidak akan bisa masuk ke perguruan tinggi yang sangat ia dambakan.

     Jam istirahat membuatnya semakin gelisah. Berharap jam istirahat digantikan dengan pelajaran selanjutnya, lalu ia bisa dengan cepat keluar dari kelas. Menghentakkan kakinya ke lantai, mencoba menahan kegelisahannya. Ia menghela nafas. Dari pada ia bersikap seperti itu, ia memilih duduk ditaman sekolah. Ia pun bangkit dari bangkunya, meja sedikit tergeser akibat tendangan dari kakinya, dan hal itu menghasilkan suara yang besar. 

     Hening, suasana kelas yang tadinya berisik menjadi hening ketika mendengar suara itu. Semua teman sekelasnya meliriknya dengan takut. Tidak ada satupun dari mereka yang berani menatapnya secara langsung. Yoona kembali menghela nafas dengan malas dan mulai melangkah menuju taman.

      Menghentakkan kakinya ke tumpukkan salju yang mulai membeku. Hal yang selalu ia lakukan ketika merasa gugup. Kuatnya hentakkan yang ia lakukan membuat tumpukkan salju itu berserakan. Ia terdiam melihat sepatunya yang nyaris tertutupi salju. Tiba-tiba saja terlintas wajah ibunya. Ibunya yang sangat ia rindukan. Matanya kembali memerah dan terasa panas. Segera ia melompat-lompat guna menghilangkan perasaan sedihnya.

"Wae geurae?" tanya seorang pria kepadanya. Suara itu menyadarkannya. Tidak menoleh, ia kembali duduk di kursi taman. "kau baik-baik saja?" tanya pria itu lagi. Yoona mengangguk pelan. Tangan pria itu menempel tepat dikeningnya, dengan cepat ditepis olehnya. "hmm, sepertinya kau memang baik-baik saja." ucap pria itu lalu tersenyum, sangat manis. Ya, Yoona mengakui itu. Pria itu adalah Kai. Sahabatnya.

"Jadi kau benar akan pindah?" tanya Yoona setelah lama diam. Kai mengangguk. Mereka kembali berdiam diri. Menikmati angin yang menghempas wajah mereka. Walau dingin, tapi itu sungguh nikmat.

"Kau mau ikut denganku?"

"Oo?" Yoona terlihat kaget mendengar perkataannya.

"Bukankah kau sangat ingin masuk ke universitas itu." membalas tatapan Yoona dengan hangat. Mereka saling tatap-tatapan dalam beberapa detik. Hingga Yoona melepaskan tatapannya lalu menatap sepatunya dengan tatapan kosong.

"Ne, aku sangat ingin berkuliah disana. Tapi, appa, aku tidak mungkin meninggalkannya seorang diri disini." jawabnya tak bersemangat.

"Kita bisa membawa ayahmu bersama kita." ujar Kai dengan santai. Yoona tersenyum simpul dan kembali menatapnya.

"Gomawo. Tapi aku tetap tidak bisa." Yoona bangkit dari duduknya. Memasukkan tangannya kedalam saku jaketnya yang sudah lusuh. "aku kembali ke kelas dulu." meninggalkan Kai disana.

     Kai, Yuri dan juga dirinya sudah bersahabat sejak mereka bertemu di tahun pertama mereka masuk sekolah itu. Tapi keadaan mereka jauh berbeda. Hanya Yoona yang berasal dari keluarga miskin. Sedangkan Kai dan Yuri sangat kaya raya. Mengapa Yoona masih terlihat menyedihkan padahal kedua sahabatnya kaya raya? Ya, Yoona tidak pernah menerima bantuan dari mereka, tidak sekalipun. Ia hanya tidak ingin terlihat lemah.

     Namun hingga titik dimana ia tidak bisa berdiam diri menahan kerinduannya kepada ibunya. Ia pun berusaha untuk mendapatkan uang. Kedua sahabatnya dengan baik memberikannya uang, namun kembali ditolak olehnya. Hingga akhirnya ia tidak bisa menolak bantuan dari Yuri, bantuan yang menurutnya lebih baik dari pada menerima uang. Ya, bekerja di salah satu kafe milik ibu Yuri.

--

     Melangkah dengan riang menuju tempat kerjanya. Ini adalah pertama kali untuknya bekerja, karena itulah ia merasa gugup. Ia belum mengetahui jenis pekerjaan apa yang akan mereka berikan padanya. Terus berjalan tanpa lelah. Tidak bisa menggunakan bis dikarenakan sayang akan uang yang ia miliki. Ia memilih berjalan kaki dan menyimpan sisa uang pemberian ayahnya. Karena ia tahu sesulit apa ayahnya mendapatkan uang.

     Ia disuruh menunggu di sebuah ruangan yang berada di sudut kafe tersebut, ruangan itu sangat nyaman dikarenakan adanya alat penghangat. Berkat itu juga darah tidak jadi mengalir dari hidungnya. Ya, ia sudah sangat kedinginan karena telah berjalan sangat jauh dengan udara minus yang menakutkan. Salah seorang pelayan juga memberikannya segelas minuman hangat. Yoona langsung menyesap minuman itu perlahan.

     Pintu kembali terbuka, berharap pelayan kembali datang dan membawakannya makanan, tapi ternyata tidak. Yang terlihat adalah wanita dengan wajahnya yang terlihat aneh. Seperti terlalu banyak melakukan operasi plastik, walau begitu tetap terlihat cantik. Yoona segera berdiri dan membungkuk hormat. Wanita itu tersenyum manis kepadanya dan menyuruhnya kembali duduk. Yoona kembali gugup, walau wanita itu tersenyum kepadanya, tetapi ia tetap tidak dapat melihat ketulusan dari senyumnya itu.

"Jadi kau yang bernama Yoona?" tanya wanita itu yang memaksakan senyuman diwajahnya.

"Oo, ne majayo." sahutnya.

"Kau tahu siapa aku?" wajah wanita itu berubah sinis. Dengan kaku Yoona mengangguk. Ya, tentu Yoona mengetahui siapa wanita itu, wanita itu adalah ibunya Yuri, wanita terseram di Busan -menurut Yoona- "selama ini Yuri selalu menggangguku. Aku sangat kesal karenanya." Degg! Dapat Yoona rasakan jantungnya yang enggan berdetak. "dia selalu mendesakku agar memberikanmu pekerjaan." kini keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. "karena aku sudah muak diganggu terus olehnya, maka itu aku akan memberikanmu pekerjaan." Yoona berusaha untuk tetap bernafas. "lihatlah foto-foto yang ada didalam amplop itu. Perhatikan baik-baik. Kau harus mengingat wajah mereka." Yoona meraih amplop yang baru saja wanita itu lempar kepadanya.

"Ini.." Yoona merasa mengenal gambar itu.

"Ya, kau pasti mengetahuinya. Itu adalah foto sebuah gedung. Gedung yang berada tidak jauh dari rumahmu." kata wanita itu. Yoona menatapnya menunggu penjelasan. "cari tahu aktifitas didalam gedung itu." ucapnya dengan tegas.

"Bukankah itu pabrik roti?" tanya Yoona takut-takut.

"Aku minta kau untuk memastikannya secara langsung! Bukannya menebak dengan asal!" bentakannya dan berhasil membuat Yoona menegang.

"Lalu mereka.." menanyakan gambar-gambar orang yang ada didalam foto tersebut.

"Cari tahu juga tentang mereka. Dan, jangan beri tahu Yuri mengenai ini." ucap wanita itu dengan cepat. Ia menoleh ke jam dinding yang ada diruangannya. Lalu kembali menatap Yoona. "saat ini aku sedang sibuk." seakan memahami maksud dari perkataanya. Yoona segera bangkit dari duduknya. Tak lupa kembali membungkuk hormat. Ia segera keluar dari sana. "yak.." panggil wanita itu lagi tepat sebelum Yoona membuka pintu. Lantas gadis itu langsung berbalik. "berhati-hatilah." katanya. Namun dengan raut wajah yang berbeda. Wanita itu terlihat seperti sedang mengkhawatirkan Yoona. Yoona mengangguk ragu dan akhirnya melangkah keluar dari sana.

      Kafe itu terlihat sangat sibuk dikarenakan banyaknya pelanggan yang datang. Namun masih terasa sangat nyaman. Dekorasinya mewah dan juga unik. Tak heran jika kafe itu menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi jika berkunjung ke Busan. Yoona sedikit berhati-hati ketika berjalan keluar dari kafe. Semua pengunjung yang ada disana terlihat seperti orang berada. 

Brukk! 

     Ia membentur tubuh seseorang. Dengan cepat Yoona membungkuk meminta maaf. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan mendapatkan seorang pria tengah menatapnya dalam diam. Pria itu adalah orang yang tidak sengaja terbentur dengannya. Tapi aneh, kenapa pria itu hanya diam dan terus menatapnya?

     Kini pria itu melipat tangannya kedada, dan mulai mengamati tubuhnya. Pria itu bahkan tersenyum. Yoona merasa ada yang tidak beres dengan pria itu. Ia mulai kesal diperlakukan seperti itu.

"Jogiyo.. Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Yoona. Pria itu berdehem dan tertawa getir. Dari pada berkelahi, Yoona memilih meninggalkan pria itu dan keluar dari kafe dengan cepat. Berusaha tidak menoleh ke belakang, walau ia penasaran dengan pria itu. Ya, ia merasa pernah melihat wajah itu.

     Baru ia sesalkan, mengapa tadinya ia tidak mempertanyakan tentang bayaran atas pekerjaannya. Ia menggerutu kesal sambil terus melangkah. Merogoh saku jaketnya, ia mendapatkan amplop yang tadinya ibunya Yuri berikan. Awalnya ia merasa aneh pada pekerjaan yang wanita itu berikan. Namun ia kembali mengingat, ayah Yuri adalah seorang jaksa.

"Oo, apa mungkin ini berkaitan dengan tugas ayahnya?" pikirnya. Ia mulai bersemangat. Kembali mengamati foto-foto tersebut. Mencoba mengingat orang-orang yang ada didalam foto. Lembar demi lembar terus ia amati. "mwo?" ia berhenti pada sebuah foto yang memperlihatkan seorang pemuda tampan dengan senyumnya yang penuh kharisma. Akhirnya ia menemukan jawabannya. Jawaban atas kegelisahannya ketika melihat pria yang ia tabrak tadinya. Foto itu adalah foto pria itu.

     Yoona langsung berlari kembali kedalam kafe itu, mencoba mencari pria tampan yang telah menatapnya dengan tidak sopan. Sayangnya pria itu sudah tak terlihat. Penuh kekecewaan ia melangkah keluar dari kafe itu. Dan tepat dihadapannya. Seorang pria sedang masuk kedalam mobil yang berada di tepi jalan. Setelah itu mobil meluncur dengan kencang. Ya, dia adalah pria itu. Yoona mengacak pinggang. Menghela nafasnya setelah sadar telah menahan nafasnya sangat lama. Ia kembali melangkah menuju rumahnya. Kesulitan ini menjadi penyemangatnya dalam memulai tugasnya.

     Perjalanannya menuju rumah terasa sangat menyedihkan. Ia harus menahan sendi-sendinya yang terasa kaku akibat kedinginan. Kepalanya mulai terasa pusing, ia kuatkan kakinya dan terus berjalan. Baru ia sadari, orang-orang sedang melihat kearahnya.

"Waeyo?" batinnya. Ia lihat pantulan dirinya di dinding kaca toko yang ada disampingnya. Mencoba mencari tahu penyebab orang melihatnya. "aish." diambilnya sapu tangan yang ada didalam saku celananya, dengan cepat ia menyeka darah yang mengalir dari hidungnya. Baru ia sadari, jika pelayan kafe tadi tidak memberikannya minuman hangat itu, maka seharian ini ia belum memasukkan apapun kedalam perutnya. Dan jika begitu, pantas saja jika tubuhnya melemah seperti ini.

     Memilih tidak menghiraukan pandangan orang. Perjalanannya menuju rumah tidak jauh lagi. Ia masih menahan dirinya untuk tidak tumbang, walau kini ia sungguh kesakitan. Terus menguatkan dirinya, memaksa kakinya untuk terus melangkah. Gadis yang kuat tidak akan mengalah dengan hal kecil seperti ini.

"Joha juseyo.. Joha juseyo.." teriak seseorang. Yoona langsung mencari asal suara itu. Dilihatnya seorang gadis kecil sedang menangis sambil terus berteriak didepan rumahnya. Yoona segera menghampirinya.

"Kau kenapa?" tanya Yoona khawatir.

"Tolong aku, ibuku tidak juga membuka matanya, aku sudah berkali-kali membangunkannya, tapi dia tetap saja menutup matanya." ucap gadis kecil itu dan terus menangis.

"Dimana ibumu?" ia membawa Yoona masuk kedalam rumahnya. Dilihatnya seorang wanita tengah tertidur di atas tempat tidur. Wanita itu terlihat masih muda.

"Eonni, bisakah kau membangunkan eomma?" gadis kecil itu terlihat menyedihkan. Jaket yang ia gunakan tidak terkancing dengan benar. Kaos kaki yang ia gunakan memiliki warna yang berbeda. Yoona miris melihat keadaannya. Ia kembali mengamati wanita yang terbaring itu. Aneh, wanita itu sama sekali tidak bergerak. Bahkah wanita itu terlihat seperti tidak bernafas.

"Mungkinkah.." dengan kaku Yoona mencoba memeriksa detak nadi tangannya. Merasa belum yakin, ia kembali memeriksa nadi di lehernya. Masih tidak yakin, ia mendekatkan jarinya pada lubang hidung wanita itu. "..." ia mematung. Perlahan kembali menatap gadis kecil yang sedang menatapnya penuh harapan. Air mata terus mengalir dari mata gadis kecil itu. "bagaimana ini? Bagaimana caraku mengatakan pada anak ini?" pikirnya.

"Eonni, waeyo? Apa eomma harus tidur lebih lama lagi?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya.

"Gadis manis, berapa usiamu saat ini?" Yoona mencoba mencairkan suasana.

"Usiaku 5 tahun. Waeyo?" Yoona masih mencoba mencari jalan lain untuk mengatakannya.

"Dimana ayahmu?"

"Appa? Mollayo." ia menggeleng pelan.

"Lalu, kakakmu?"

"Oppa pergi meninggalkan eomma. Oppa memarahi eomma. Eomma sakit karena oppa." wah, rumit sekali. "tapi eonni, kenapa ibuku tidak juga bangun? Apa eomma sakit?"

"Kau tahu dimana kakakmu berada?" gadis kecil itu mengangguk. "bisa kau antarkan aku kepadanya?" ia menarik tangan Yoona keluar dari rumah itu. Lalu setelah berada ditepi jalan. Gadis kecil itu mengarahkan jari telunjukknya ke sebuah gedung.

"Disana. Oppa ada disana." ucapnya dengan yakin. "tapi oppa bilang aku tidak boleh menghampirinya. Waeyo eonni? Kenapa kau ingin bertemu dengan oppa?" Yoona tidak menjawabnya. Ia malah terpaku menatap gedung yang tadinya ditunjuk oleh gadis kecil itu. Gedung itu adalah gedung yang ada didalam foto. Gedung yang harus ia cari tahu aktifitas didalamnya, dan mencari tahu hal lainnya. "eonni.." gadis kecil itu menarik-narik jaketnya. Barulah Yoona tersadar dan kembali menatapnya. Tidak hanya menatap gadis kecil itu, Yoona pun menggendong gadis kecil itu lalu membawanya kembali kedalam rumah.

"Jamkamannyo. Jangan kemana-mana, eonni akan segera kembali." ia meninggalkan gadis itu didalam rumahnya dan kembali berjalan keluar. Mencoba menemui tetangga.

     Syukurnya seorang nenek-nenek yang masih terlihat kuat datang menghampirinya, nenek itu merasa aneh melihat Yoona yang sedari tadi mengetuk pintu rumah para tetangga. Gadis itu terus berusaha mengetuk pintu beberapa rumah yang ada disana walau tidak ada satupun yang membukakan pintu untuknya. Nenek itu menghampirinya, masih dengan langkahnya yang kuat.

"Kau sedang apa? Mengapa kau mengetuk pintu semua rumah?" tanya nenek itu dengan suaranya yang serak. Masih dengan raut wajah khawatirnya, Yoona pun menceritakan semuanya kepada nenek tersebut. Belum juga ia bercerita dengan tuntas, nenek itu langsung berjalan dengan cepat masuk kedalam rumah si gadis kecil.

"Halmoni annyeong." sapa gadis kecil itu dengan senyumnya yang imut. Lantas nenek itu pun menangis dan langsung menggendongnya. Ia menghampiri wanita yang masih terbaring itu. "halmoni, kenapa kau menangis?" tanya gadis kecil itu yang masih didalam pelukan nenek itu.

"Aigoo. Mengapa nasibnya menjadi seperti ini?" ucap nenek itu pelan. "agassi, jika saya boleh tahu, kau ini siapa?" tanya nenek itu.

"Oo, aku tinggal tidak jauh dari sini. Tadi aku mendengar anak ini berteriak meminta tolong, karena itu aku berada disini." jelas Yoona.

"Gomawoyo.. Nomu gomawoyo." nenek itu membungkuk berterimakasih.

"Oo, gwenchanayo. Halmoni, kau mengenal keluarga ini? Sepertinya mereka hanya tinggal berdua."

"Tentu saja aku kenal." jawab nenek itu.

"Tapi halmoni, tadi anak ini mengatakan bahwa ia memiliki seorang kakak. Dan dia menujukkan kepadaku bahwa kakaknya berada di gedung yang ada didaerah sini."

"Sebaiknya kita mengurus ibunya dulu. Dan mengenai gadis kecil ini, mulai sekarang aku akan menjaganya. Aku akan merawatnya." Yoona terpana melihat kebaikan nenek itu. Mereka pun mulai memanggil ambulan untuk membawa wanita itu kerumah sakit untuk memeriksa wanita itu lebih lanjut. Walau sudah jelas bahwa wanita itu telah tiada.

--

     Ia tiba dirumah sangat larut. Yoona membaringkan tubuhnya diatas kasurnya yang tak lagi empuk. Baru beberapa detik ia berbaring, gadis itu pun tertidur, seperti mayat. Tak lagi terasa olehnya sakit yang tadinya melanda. Sukses melewati hari ini hanya dengan segelas minuman hangat.

     Sinar matahari bersinar dengan baik, menerpa wajahnya dengan hangat. Yoona terbangun dan mendapatkan kain yang terletak di keningnya. Ia meraih kain itu. Tidak lama dari itu ayahnya menghampirinya dengan membawakannya nampan yang berisikan semangkuk bubur hangat.

"Kau demam." ujar ayahnya yang menyadari tatapan penuh tanya dari putrinya itu.

"Benarkah?" Yoona merasa dirinya sehat-sehat saja.

"Dan kau tidak mengunci pintu." raut wajah ayahnya berubah kesal. "yak, kau itu wanita. Appa tidak peduli dengan ilmu beladirimu itu. Kau tetap saja seorang wanita. Apa kau tidak takut terjadi sesuatu padamu? Kau demam seperti ini, apa kemarin kau tidak menyantap apapun? Sudah berapa kali appa katakan padamu, makanlah dimanapun kau suka, jika kau kekurangan uang, katakan, appa akan berikan padamu." celoteh ayahnya tanpa putus.

"Berikan saja aku jaket. Aku hanya ingin itu." Ayahnya terdiam.

"Sabarlah, appa pasti akan memberikanmu jaket itu." raut wajah ayahnya menjadi sayu. "makanlah. Appa harus kembali bekerja. Mungkin appa tidak akan pulang dalam beberapa hari. Kau bisa menjaga dirimu?" Yoona mengangguk malas. "ini uang untukmu." Yoona memandangi uang yang ada ditangannya. Uang yang berjumlah kecil. Lalu ayahnya menambahkan beberapa lempengan sen ditangannya. "appa pergi dulu." ayahnya melangkah cepat keluar dari rumah.

     Yoona bangkit dari kasur. Meninggalkan bubur yang masih mengepulkan asap panasnya. Berjalan mendekati jendela kamarnya, lalu melihat ke halaman rumahnya. Dilihatnya ayahnya sedang menangis disana. Hatinya terasa perih melihat ayahnya tertekan seperti itu. Yoona yang mengetahui bahwa ayahnya sangat sulit mendapatkan uang tidak bisa menahan dirinya untuk meminta jaket pada ayahnya. tapi bukan berarti ia tidak menyayangi ayahnya, ia hanya tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaannya.

     Menggenggam uang yang ada ditangannya dengan kuat. Ia paksa kakinya untuk melangkah. Terus melangkah untuk menghampiri ayahnya. Saat ini ia ingin sekali memeluk ayahnya, menepis airmata ayahnya, dan mengatakan bahwa ia sangat menyayangi ayahnya. Namun sayangnya, ayahnya sudah tidak ada disana. Uang yang ada ditangannya pun terjatuh, ia selalu menyesali perbuatannya. Tetapi ia selalu mengulangi perbuatannya itu. Saat ini Yoona merasa sangat buruk.

     Memandangi bubur buatan ayahnya, sangat lama. Hingga akhirnya ia mulai menyantap sup yang sudah dingin itu. Matahari menghilang dengan cepat, jelas sekali bahwa hari masih pagi. Udara dingin kembali menerpa. Dengan cepat Yoona meraih jaket lusuhnya. Ketika memakai jaket itu, ia baru teringat akan keberadaan amplop yang ada didalam jaketnya. Ia kembali mengamati foto-foto itu. Merasa kurang puas, ia pun berjalan kedepan rumahnya. Dari halaman rumahnya, dapat terlihat gedung itu yang mengintip dari sela atap rumah yang ada disana. Masih kurang puas, Yoona pun melangkah guna mendekati gedung tersebut.

     Setelah berjalan selama hampir 15menit, akhirnya Yoona bisa melihat gedung tersebut dari jarak yang lebih dekat. Tidak jauh dari gedung itu Yoona duduk disebuah mini market. Ia duduk disebuah kursi yang ada didepan mini market itu. Mengamati gedung nan besar itu. Gedung itu tidak mewah, dan juga tidak buruk, tetapi yang jelas, gedung itu sangat besar. Dan yang lebih jelas lagi, gedung itu sangat tertutup. Pagarnya menjulang tinggi dan hampir menutupi seluruh badan gedung. Merasa haus, Yoona pun masuk kedalam mini market dan membeli sebotol air mineral.

     Ia berdiri dihadapan dinding kaca mini market tersebut. Meletakkan amplopnya pada meja yang menempel pada dinding kaca. Mulai menyeruput air mineralnya dengan sedotan. Matanya tak luput dari gedung itu. Memikirkan bagaimana caranya agar dirinya bisa masuk kedalam sana.

"Kau ingin masuk kesana?" tanya seorang pria yang ada disampingnya. Saking seriusnya, Yoona bahkan tidak mengetahui keberadaan orang itu disana. Ia langsung menoleh. Lalu mematung. "aku bisa saja membawamu masuk kesana, tapi setelah itu akan sulit bagimu untuk keluar dari sana." yang jelas, ia tidak bisa mencerna dengan baik semua perkataan pria itu. Ia masih kaget dengan keberadaan pria itu disana. Ya, pria itu. Pria yang ada didalam foto itu. Pria yang pernah tidak sengaja ditabrak olehnya. Yoona mencoba untuk tetap terlihat tenang.

"Waeyo? Kenapa akan sulit keluar dari sana?" tanyanya memberanikan diri.

"Kau akan mengetahuinya setelah kau masuk kesana." kata pria itu. Kini pria itu melirik amplop yang ada diatas meja. Dengan cepat Yoona meraih amplop tersebut dan memasukkannya kedalam saku jaketnya. Dilihatnya pria itu tersenyum simpul. Entah mengapa, ia merasa takut berada didekat pria itu. Ia pun mengambil langkah mundur dan keluar dari mini market itu. "namaku Oh Sehun!" Yoona menghentikan langkahnya dan berbalik untuk melihat pria itu. "kurasa kau akan membutuhkan namaku." teriak pria itu dari depan pintu mini market. Pria itu kembali tersenyum kepadanya. Jika jujur, pria itu sangat tampan, tetapi tetap saja Yoona merasa resah berada didekatnya. Dengan cepat ia melangkah pergi.

     Mobil mewah terparkir di tepi jalan, tepatnya didepan rumahnya. Melihat keberadaan mobil itu membuat Yoona malas dalam melangkah. Ia bahkan ragu untuk terus melangkah. Saking ragunya, ia memilih berbalik dan menjauh dari rumahnya.

"Jangan menghindariku." suara itu terdengar olehnya.

"Mwoya!" ia kaget ketika menyadari Kai sedang mengikuti langkahnya.

"Aku sudah menunggumu sangat lama. Kau tega membiarkanku begitu saja?" Kai menutup jalannya dan berhasil menghentikan langkahnya.

"Ada perlu apa kau kesini?" tanya Yoona menghindari tatapan Kai.

"Kenapa hari ini kau tidak masuk sekolah? Kau sakit?" Kai hendak menyentuh kening Yoona, tapi dengan cepat ditepis olehnya.

"Aku lupa. Hanya itu." jawabnya santai.

"Hoh, kurasa hanya kau yang bisa melupakan jadwal sekolah." cibirnya. "ikutlah denganku." menarik tangan Yoona dengan lembut.

"Mau kemana?" Yoona terlihat enggan tapi tidak bisa menolak.

"Ikut saja."

--

     Bagaikan mimpi bisa memasuki butik terkenal seperti itu. Semua barang yang ada disana dipastikan berharga fantastis. Dapat membeli barang disana adalah hal yang mustahil untuk seorang gadis sepertinya. Kai menyuruh Yoona mencoba banyak pakaian. Awalnya ia menolak, namun ketika Kai mengatakan bahwa ia hendak membeli untuk adiknya, Yoona pun bersedia membantunya.

     Dalam hatinya Kai terkagum melihat gadis itu. Ia terlihat pantas menggunakan pakaian apapun. Yoona terlihat sudah bosan gonta-ganti pakaian. Dan Kai menyadari itu. Dia pun menyuruh Yoona duduk disampingnya. Tersenyum kepada gadis itu. Melihat raut wajah gadis itu, Kai tersenyum geli.

"Waeyo? Kenapa kau menjadi murung seperti ini." tanya Kai padanya.

"Aniyo." sebenarnya Yoona memang sedang bersedih. Bersedih karena menyadari betapa rendahnya kondisi keuangannya. Semua pakaian yang ia coba begitu indah. Rasanya ia ingin membeli semuanya. Tapi itu tidak mungkin. Memikirkan itulah yang membuatnya menjadi murung.

"Hmm.. Baiklah. Tunggu disini sebentar." Kai menghampiri kasir dan sesekali meliriknya. Yoona memilih menghindari pandangannya dari barang-barang yang ada disana. Ia tidak ingin kecewa lebih dalam.

     Kai membawanya ke sebuah restauran sederhana, karena Kai tidak ingin Yoona kabur lagi. Pengalamannya setelah Yoona berkali-kali kabur ketika ia bawa ke restauran mewah. Alasannya, gadis itu merasa tidak nyaman jika berada di tempat yang terlalu mewah. Mereka menyantap pesanan mereka dengan santai. Tidak lama dari itu Yuri datang menghampiri mereka.

"Yak, eottae? Pekerjaan seperti apa yang ibuku berikan padamu?" Yuri terlihat sangat penasaran.

"Kau tak perlu tahu."

"Mwo? Kau bekerja?" tanya Kai.

"Yoong ingin mencari ibunya. Dia membutuhkan uang." jelas Yuri kepada Kai.

"Yoona-a.. Kenapa kau tidak memberitahuku? Aku bisa saja membantumu." ucap Kai lembut.

"Sudahlah, tidak perlu membahas ini. Aku sudah selesai, aku pergi dulu." Yoona selalu merasa resah jika sahabatnya mengkhawatirkannya. Ia tidak ingin dikasihani seperti itu. Karena menurutnya ia tidak selemah itu. Apapun keadaan yang harus ia hadapi, ia pasti bisa melewatinya. Begitulahjalan  pikirannya. Dengan cepat ia berjalan keluar dari restoran itu.

"Jamkaman." Kai menahannya. Pria itu menghentikan taksi yang melintas disana, ia juga langsung membayar taksi tersebut. Lalu mendorong Yoona untuk masuk kedalam taksi. Sebelum menutup pintu, Kai melempar sebuah kotak keatas pangkuan Yoona dan barulah ia menutup pintunya. Ia melambaikan tangannya dengan senyuman manisnya.

     Didalam taksi Yoona terus mengamati kotak yang ada dipangkuannya itu. Melihat kotak itu membuatnya merasa sedih. Kedua sahabatnya selalu bersikap baik kepadanya. Tapi ia tidak pernah bisa membalas kebaikan itu. Betapa buruk dirinya, ia menyesali itu. Perlahan tangannya bergerak untuk membuka tutup kotak tersebut. Ia terkesiap melihat apa yang ada didalam kotak tersebut. Sesuatu yang sangat ia inginkan selama ini. Jaket musim dingin.

     Ia menyentuh jaket tersebut, lembut sekali. Warna merah, pria itu tahu betul warna kesukaan Yoona. Tanpa sadar Yoona tersenyum, ia kembali menutup kotak tersebut lalu memeluk kotak itu. Ia akan menjaga jaket itu dengan baik.

     Dari balik kaca mobil, ia melihat seorang nenek sedang menggendong anak kecil. Nenek itu terlihat sedang tidak sehat, terlihat dari langkahnya yang gontai. Setelah mengamati nenek itu dengan baik, Yoona baru mengenalnya. Dengan cepat ia menyuruh sopir taksi untuk menghentikan mobilnya dan ia langkah berlari menghampiri nenek itu.

"Halmoni, kau kenapa? Wajahmu pucat sekali." nenek itu tersenyum ramah kepadanya.

"Sena sedang demam, aku harus membawanya ke klinik."

"Sena?" baru Yoona ketahui. Ternyata gadis kecil itu bernama Sena. Yoona langsung mengambil alih dan menggendong gadis itu. Dan meminta nenek itu memegang kotaknya. Sepertinya Sena sedang tidur. "aku akan ikut denganmu." mereka mulai berjalan. Sesampai diklinik Sena segera diperiksa oleh dokter. Karena kondisinya yang sangat lemah, Sena diharuskan menginap di klinik selama beberapa hari. Itu juga dikarenakan dokternya yang berbaik hati menyediakan sebuah ruangan untuk Sena beristirahat.

     Yoona dan nenek itu duduk di sebuah sofa yang ada disamping tempat tidur dimana Sena sedang terbaring lemah. Beberapa kali nenek itu terbatuk. Wajahnya juga semakin pucat. Yoona menggenggam tangan nenek itu, dingin sekali.

"Halmoni, tanganmu dingin sekali, kau kedinginan?" ia menjadi khawatir.

"Gwenchana." nenek itu berusaha terlihat kuat. Namun ia tetap saja terbatuk hingga ia terlihat lelah. Yoona sudah tidak sanggup melihat penderitaan nenek itu. Dengan santai ia membuka kotak yang ada disampingnya, dan mengambil jaket pemberian Kai.

"Pakai ini." ia memaksa nenek itu menggunakan jaket pemberian Kai. Tak terlihat penyesalan diwajahnya.

"Jaket ini terlalu bagus untuk aku gunakan." nenek itu mencoba menolak. Tetapi Yoona terus memakaikan jaket itu ketubuhnya.

"Kau harus memakainya." mengancing jaket hingga rapat. Yoona juga melepas sarung tangan yang ia kenakan lalu memakaikannya ke tangan nenek itu. "dengan begini kau tidak akan kedinginan." ia tersenyum puas. "aa, aku akan membeli sesuatu. Tunggu aku." ia langsung berlari kecil dengan semangat.

     Setelah berhasil mendapatkan bakpao dan minuman hangat, Yoona langsung berjalan dengan cepat menuju klinik. Langkahnya terhenti tidak jauh dari klinik. Matanya terpaku menatap seorang pria yang sedang berdiri di depan klinik. Pria itu terlihat gelisah. Perlahan Yoona berjalan menghampiri pria itu.

"Kau sedang apa disini?" tanya Yoona. Pria itu terlihat kaget melihat keberadaannya disana.

"Lalu kau? Kenapa kau ada disini?" pria itu balik bertanya.

"Naega?" Yoona berpikir sejenak. Ia harus mengatakan apa? Sena dan nenek itu bukanlah siapa-siapa untuknya. Namun ia menyayangi mereka. "aku sedang menjenguk tetanggaku." ucapnya seadanya.

"Tetangga? Nugu?"

"Apa pentingnya untukmu?" Yoona melangkah mendahuluinya. Tapi pria itu dengan cepat menahan tangannya.

"Aku tanya siapa?" wajahnya terlihat cemas. "mungkinkah.. Aeorang anak kecil?" Yoona menatapnya dalam diam.

"Oo." ia mengangguk. Pria menjadi gelisah.

"Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?" tanya pria itu.

"Waeyo? Kenapa kau menanyakan ini? Memangnya kau.." Yoona menghentikan perkataannya, masih tidak mempercayai apa yang sedang terpikirkan olehnya. Namun, melihat wajah pria itu. Mereka sangat mirip. "kau..?"

"Berikan ini untuknya." pria itu memberikan Yoona sebuah boneka beruang mungil berwarna putih. "dan ini, dia pasti membutuhkannya." pria itu juga memberikannya sebuah amplop. "sekarang aku harus pergi." pria itu melangkah menjauh.

"Yak, kau tidak ingin melihatnya?" tanya Yoona berteriak. Pria itu berhenti melangkah, tapi sedetik dari itu ia kembali melangkah dan menghilang tertutupi bangunan yang ada disana. Dilihatnya beruang itu. Beruang itu sama imutnya seperti Sena. Yoona tersenyum, tapi kini berbagai pertanyaan menyeliputi pikirannya. "jadi Sena adalah adikmu? Apa yang sebenarnya telah terjadi pada keluarga ini? Dan, kenapa kau ada didalam salah satu foto-foto itu?" pikirnya dalam diam.

Continued..

Gimana dengan cerita baru ini kak?

Suka?

Lanjut?