webnovel

Amare1231

Lelaki berema hitam itu bergetar.

Dingin ... dingin yang ada saat ini begitu menusuk tulang.

Ia kedinginan. Bahkan sampai giginya bergemeletak.

Brrrrr ...

Rinai hujan turun membasahi bumi bak air bah dari semalam; sayang, dirinya yang berada di luar rumah, ialah termasuk yang dibasahi. Tanpa ampun, bulir-bulir alam menghantam dirinya yang hanya terbungkus hoodie hitam. Tanpa belas kasih, seolah ia pendosa yang wajar dirudung kedinginan.

... Pendosa, kah?

Senyum kecil sesak merekah di bibir lelaki itu. Seraya mensendekapkan tangan, ia kembali membelah jalanan kota yang tak bersahabat.

Tanpa ia tahu bila diam-diam ... ada beberapa sosok hitam yang mengikutinya sambil terkekeh lirih. Muka mereka jahat, seringai jahanam tersungging.

.

.

"Ufufufu. Terus habis ini ada gang*ang. Muwehehehehe!!" El tertawa nista sembari mengetikkan kata demi kata di laptop mininya. Mukanya sudah mirip om om cabul lagi napsu. Tapi persetan, El sedang berada di kamar, pintunya sudah dia kunci, jadi tak akan ada yang mendapati dia berekspresi seperti ini.

Berada di tubuh El, Elysha akhirnya paham setelah eksplorasi seharian. Meski badannya ramping begini dan tidak cukup tinggi, El memiliki hasrat untuk mendominasi yang cukup besar.

Bahkan melihat tubuh Haris Wijaya di instasam itu ... yang ia pikirkan bagaimana cara membuat lelaki itu takluk di bawahnya—yah walau dia sadar kadar ke-seme-an, ke-gong-an, El cuma seujung upilnya si Wijaya. Hahaha. Yang jelas, Elysha menemukan cita-citanya menjadi top!

Well, impian para kaum (read: fujoshit) Elysha kan emang ngepegging lelaki tulen sih ya? Muwehehehe.

"Belum ada panggilan kerja? Nggak masalah. Mari kita berimijanasi liar. Muwehehehe."

Ah. Iya. Hari ini adalah hari terakhir El bebas bersantuy tidak mencari kerja. Setelah menyadari bagaimana diri dan preferensi—dalam bacaan, anime, donghua, dsb, dkk—Elysha mulai mencoba untuk menulis sebagai El.

Sebagai orang yang pernah lama hiatus menulis, Ely merasa tulisannya super kaku. Awkward sekali dan kurang feel. Di sudah menelorkan dua cerita pendek dan diupload pada suatu platform ramah tema LGBTQ. Buku yang dia pandang cakep ada di platform tersebut jadi gas wae lah, dia ikutan menulis di sana. 

Dan apa yang ia tulis ini? Fanfiction tentang karya author kesukaannya dong!

Untuk menjadi penulis yang 'dikenal' atau menjangkau banyak orang, Elysha tahu dia harus melakukan beberapa hal terlebih dahulu: 1) Gabung circle terus promosi, 2) Baca banyak buku terus promosi, 3) Tulis tiap hari terus promosi. Yang terakhir dan yang paling ampuh tapi melenceng jauh, terjun ke area fanfiksi—kalau bisa sih fandom besar—bikin karya berjibun dan melebarkan pertemanan di sana sambil memperkenalkan 'nama'. Nama atau brand diri itu penting dalam dunia penulisan.

El memilih jalan terakhir. Adalah hal yang menyenangkan bila menulis apa yang ia suka bersamaan dengan promosi, bukan? Itu adalah jalan yang dipilih oleh Elysha kali ini untuk memperkenalkan nama 'Nastar Koneng'.

"Fufufufu~ Fufufufufufu~" El dari tadi menyeringai girang. Jarinya kini mengetik adegan dimana tokoh mengesalkan bertubuh jangkung kini diseret ke sebuah gudang kosong oleh serombongan orang. Ia kemudian dipaksa meminum sesuatu sebelum—

PING!

El mengernyitkan kening ketika bunyi dan popup notifikasi muncul di ujung layar pcnya. Ia terdiam sesaat membaca jendela kecil berwarna gelap itu. Namun lambat laun matanya membelalak, wajah itu pun dirajah keterkejutan. Cepat, ia klik notifikasi dan messenger platform tempatnya menulis terbuka.

Di atas sendiri ada pesan belum terbaca.

[Amare1231: Hahaha. Imaginasi lu hebat banget.]

 El seketika merasakan napasnya tercekat. Ia sumpah tak menyangka cerita abalnya akan dinotice dan yang pertama kali menoticenya adalah penulisnya sendiri! Demi apaaa!!

Bergetar, El mengetikkan beberapa kalimat. Basa-basi yang mengatakan dia benar-benar suka pada cerita Amare, bahkan sampai rela menenggak kopi biar tidak ngantuk demi marathon  chapter cerita itu. Dia juga menceritakan bagaimana terkoyak hatinya membaca main character di cerita itu harus dipermalukan begitu dalam. 

Namun di tengah-tengah mengetik, pemilik hidung agak bengkok itu menyadari bila ketikannya seperti cewek. Bertele-tele dan beranak-pinak, tidak to the point.

Bingung harus bagaimana, El membuka google. Mencari tahu bagaimana caranya membalas dengan sopan pesan dari seorang panutan. Namun begitu thread demi thread dia baca ... meh, kok ribet ya ...

Akhirnya mengikuti kata hati, El hapus tetetoet yang ia tuliskan dan mengganti dengan ketikan baru, [Nastar Koneng: Siapa dulu yang bikin imaginasiku liar ;)]

Dengan muka bangga karena telah berhasil menggaet minat penulis beken, El melanjutkan mengetik di ms word. Dia mulai mendeskripsikan bagaimana lelaki berambut hitam yang dulu dielu-elukan menjadi sosok luar biasa, CEO cerdas yang menggagahi dua perusahaan, direbahkan di atas tumpukan jerami lalu dicuculi. Sang CEO hanya bisa melenguh ketika tangan-tangan nakal menggerayangi.

PING!

Kelereng abu El bergeser. Untuk kedua kalinya napas pemuda itu tercekat. Nama Amare1231 muncul lagi di notifikasi.

[Amare1231: Hahaha. Gua ngapain lu emangnya? Ada tulisan gua yang bikin lu terangsang nistain Ra?]

Kerutan muncul di dahi El. Ia menggerutu kesal karena penulisnya tak sadar apa yang telah ia lakukan pada tokohnya sendiri. Akhirnya El membalas alakadarnya.

Dan malam itu berujung El menghabiskan waktu untuk berbalas pesan dengan Amare1231.

***

Rumah itu tak begitu besar. Hanya bangunan sederhana berlantai satu tanpa arsitektur wah atau aksesori glamor. Halaman di sisi kanan kiri juga tak besar, tapi rapi tertanam bunga-bunga yang indah bermekaran.

Kendati kini malam, bulan menggantung di langit sana, ada lampu-lampu taman sederhana setiap beberapa meter di sana. Hingga gelap pun tak menjadi soal untuk menikmati warna-warni kembang.

Seorang pemuda, duduk di atas kursi panjang dan memangku meja sambil sesekali melihati taman. Laptop hitam berlogo manggis keroak berada di depannya, tampak separuh layar berisikan deretan tulisan sedang sisi lainnya aplikasi menulis. Dari sini terlihat bila pemuda pirang di belakang meja itu sedang mengetik sembari berkirim pesan.

Senyum tipis melengkung di bibir si pirang setiap kelereng biru melirik ke arah pesan yang terbuka. Pesan entah siapa di seberang membuat ia tertawa. Tiap pesan masuk, cepat ia berusaha membalas.

Kali ini topik mereka adalah fanfiksi kedua Nastar untuk original fiction (orific) miliknya yang berjudul Bloody Crown. Ia dikirimi cuplikan-cuplikan dari tulisan orang di seberang terkait per-gangb*ng-an yang ia tulis. Tulisan yang jujur, hawt. Tapi ia skip bagian itunya.

Terlalu sakit.

Gangb*ng itu bukan hal yang elok untuk dijadikan cerita—menurutnya.

Selain bagian itu, dia menyukai tulisan yang ia baca. Lucu jika memikirkan tokoh sok cool, super OP (over power) dan manipulative yang ia buat itu ngangkang. Dia selalu terkekeh pelan membayangkan hal ini.

Di kala berbalas pesan ini, seorang pemuda yang lebih muda dari lelaki pertama, muncul dari dalam rumah. Ia membawa semangkok edamame dan dua botol air mineral. Senyum merekah di wajahnya yang putih.

"Kak, istirahat dulu nulisnya," kata lelaki itu seraya meletakkan mangkok di sisi laptop si pirang. Lalu tanpa ditanya, ia menghempaskan pantat di depan sosok yang ia panggil 'kakak' sebelum mencomot satu-satu edamame di sebelahnya.

"Gimana? Ada yang menarik dari pembaca hari ini?" sosok berambut biru dongker agak panjang yang dikuncir kuda itu bertanya seraya mengupas kacang dan kulitnya. Manik biru cerahnya lurus memandang si kakak.

Si pirang tertawa melihat perangai ini. Ia berterima kasih sudah diperhatikan, tapi geli juga kalau sampai seperti ini. Karenanya, pemilik netra hijau itu menjawab santai, "sudah ke 53 kali di hari ini lu nanyain gua itu, Wan. Nggak capek?" terselip canda dalam tanya. Tapi garing.

Ya benar saja, si biru di depannya tak tertawa. Heh, dia bahkan memutar mata. Dia memang selalu menanyakan hal ini dan jawaban kakaknya juga selalu sama.

Tapi dia tak pernah jengah.

"Ya kali kak, ada yang tiba-tiba menarik perhatianmu ..." cemberut, sosok yang lebih muda menggerutu. Menggemaskan pipinya yang menggembung itu.

"Heh, muka dikondisikan," melempar edamame ke kepala laki-laki di depannya, si pirang berkomentar.

"Napa muka aku?" menjumput kacang yang terbuang, dia balik bertanya. Muka nggak ada salah kok disalahin. Kakaknya kadang ngeselin.

"Ngeselin." Jawaban si pirang membuat lelaki yang agaknya masih seumuran mahasiwa baru itu kontan mendongak. Mukanya cengo.

Gamblang ekspresinya mengatakan, 'anjir yang ngeselin itu kamu kak!' yang mana membuat sang kakak tergelak. Dan karena kesal diketawain, laki-laki ini meniru apa yang kakaknya perbuat; melempar edamame keras-keras pada sosok yang bikin geregetan.

Beberapa lama, kakak-adik bonding ini terjalin dengan uwu. Mereka tertawa-tertiwi bak dunia cuma milik berdua.

Namun canda harus berubah menjadi keseriusan ketika tiba-tiba sang adik, meraih jemari kakaknya dan menggenggam kuat.

"Kalau ada yang menarik perhatianmu, bilang saja kak. Dimana pun dia ... akan aku ajak kau menemuinya."

Si pirang, Amare1231, hanya bisa mengerjap mendengar hal ini. Dia tersenyum kecut.

"Gua belum berani ..."

Lalu keheningan pun menyelimuti keduanya.

Namun jelas, kendati bibir berkata demikian, kelereng hijau itu melirik pesan yang dikirimkan oleh Nastar Koneng dengan tatapan berbeda dari biasanya ...

[]