webnovel

Taraksa

Kate pernah memimpikan berlibur di negara tropis. Menikmati sengatan matahari, bermandikan panasnya, menyesap kelapa muda segar di atas kursi santai tepian pantai, dan tidak lupa pria-pria eksotis berkulit seperti cokelat leleh. Ia tidak akan menolak ajakan mereka untuk lebih intim hingga bermandikan keringat. Namun, lain ceritanya jika ia harus 'dibuang' oleh tim penelitiannya sendiri ke salah satu negara tropis itu tanpa akomodasi memadai.

"Kau yang bilang sendiri ingin liburan ke negara tropis," ujar Nicole kala itu, senyum mengejek di wajahnya tidak luntur kendati Kate sudah memasang wajah paling kesal disertai menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Aku mau ke Bali!" Kate menghadang jalan wanita yang lebih tua itu, berharap dengan sikap menyebalkannya kali ini Nicole bisa sedikit diajak kompromi. Apalagi wanita yang juga jadi ketua tim penelitiannya ini harus cepat-cepat memberikan laporan pada markas pusat NZ. Ketika terburu-buru, Nicole sering kali kehilangan konsentrasi. Jika sudah begitu ia bisa saja mengiyakan perkataan seseorang. Walaupun perkataan itu konyol, seperti wakil ketua mereka kakinya bau, membatalkan lembur, dan pernah mentraktir seluruh anggota tim mereka di sebuah restoran Italia. Ada kemungkinan ia mungkin membatalkan kepergian ke Banyuwangi itu. Semoga saja keberuntungan berbaik hati menghinggapi Kate.

"Ada huruf B juga di daerah itu, 'kan?"

"Itu beda!"

Di tengah argumen mereka, salah seseorang justru memberikan kemenangan pada Nicole. "Kalau dari sana, kamu bisa naik kapal ke Bali sekitar dua jam."

Sehabis itu, tak ada yang berubah. Kate tetap berangkat dengan akoodasi seadanya dan berwajah kusut sepanjang perjalanan hingga tiba di lokasi yang dimaksudkan. Dengan mood yang demikian buruk ia bisa menggigit siapa pun. Perjalanan darat paling buruk dengan beberapa kali mabuk dan banyak mengumpat.

Sesampainya di lokasi, Kate tidak tahan lagi. Ia kembali menguras semua isi perutnya di bawah pohon beringin besar. Pemandu yang lebih tua, mengomel. Mewanti-wanti Kate agar tidak berbuat kurang ajar pada ruh penunggu pohon besar dan tua tersebut. Tipikal orang yang pendidikan dan kehidupannya sangat terbelakang.

Pohon tak lebih dari makhluk hidup yang terbatas. Mereka bahkan tidak akan protes kalau dikencingi. Memang benar, sebagai manusia yang sangat bergantung pada oksigen bersih, harusnya berterimakasih pada pohon. Tentunya cara yang dilakukan bukan dengan menempatkan dupa dan bunga di bawah di sana. Perbanyak saja menanam pohon, jangan menjadikannya subjek spiritual yang menyeramkan.

"Kalian orang-orang Barat tidak paham apa itu sopan santun." Penerjemah Kate mengartikan kalimat itu tanpa ragu kendati diselingi helaan napas jengah.

"Sebenarnya aku tidak akan mengatakan itu padamu Nona Hopkins, tetapi Simbah bilang aku harus menerjemahkan setiap katanya. Tahu sendiri, kan, kalau orang tua di sini tidak boleh dilawan walaupun salah," lanjut pemuda yang tingginya hanya sebatas bahu Kate. Namanya Agung, usianya baru enam belas. Dan Kate yakin bahwa anak ini akan tumbuh menjadi sangat tampan nantinya. Tunggu saja dua atau tiga tahun lagi.

"Kau tidak perlu sungkan seperti itu. Aku sudah biasa mengalami hal macam ini jika berkunjung ke berbagai negara," balas Kate lantas diakhiri segaris senyum yang dipaksa natural.

Sehabis itu keduanya tidak melanjutkan obrolan. Agung menyusul kakek pemandu yang disebut 'Simbah', mereka tampak bercakap-cakap menggunakan bahasa lokal. Kate memalingkan wajah, mencoba mencari hal menarik dari jejeran pohon rindang dan semak-semak tinggi. Semakin jauh menyelami hutan, di sanalah letak laboratorium ilegal yang harus diinspeksi Kate.

Menyembunyikan sesuatu haruslah di tempat yang tidak mungkin didatangi orang. Hutan ini salah satunya. Mereka menyebutnya sebagai Alas Setan, hutannya para lelembut. Tempat di mana seluruh makhluk halus berkumpul dan berpesta. Rumah bagi eksistensi yang tidak dapat dinalar. Sebagai orang yang tumbuh di lingkungan saintis, hal-hal klenik seperti ini hanyalah angin lalu bagi Kate. Apalagi setelah mengenyam pendidikan di bawah organisasi NZ yang mengedepankan alasan ilmiah dalam menyikapi seluruh hal-hal janggal di muka bumi. Kate semakin tidak percaya adanya hantu, roh, dan sejenisnya. Bahkan termasuk kehidupan setelah kematian dan Pencipta Segala Kehidupan.

"Nona Kate, sebentar lagi kita sampai," panggil Agung setengah berteriak.

Wanita itu tertinggal agak jauh dari dua pemandunya. Kate mengangguk, tak lupa memberikan isyarat segera menyusul. Setelah mengitarkan pandangan sekali lagi pada semak-semak tinggi yang tampak bergerak, Kate buru-buru mempercepat langkah. Ia mungkin tidak mempercayai eksistensi makhluk dunia lain, tetapi mereka masih berusaha menunjukkan tanda-tanda keberadaan dengan beragam cara. Tengkuk Kate terasa dingin.

"Jadi ini laboratorium ilegal itu," gumam Kate. Matanya mengelilingi bangunan semi permanen yang ditutupi ranting-ranting dan tanaman rambat. Kamuflase yang cukup rapi.

"Polisi sudah datang dan memeriksa hingga ke dalam tetapi ...," Agung menjeda kalimatnya, "... mereka hanya berani memberikan garis ini lalu pergi. Hanya beberapa orang yang tersisa. Orang-orang berani yang mengawasi gerak-gerik makhluk itu."

Ah, itulah mengapa tempat ini tidak memiliki penjagaan yang ketat. Rupanya orang-orang di sini penakut, pengaruh budaya klenik mereka telah merambat sampai ke tulang sampai lembek.

"Aku akan melihat makhluk itu sendirian kalau kalian tidak berani," putus Kate percaya diri.

Agung dibuat terkejut karena keputusan berani Kate, tetapi Simbah segera menahan pergelangan tangan wanita itu kencang. Ia marah.

"Simbah bilang Nona Kate jangan tidak sopan pada penunggu Alas Setan. Mereka tidak suka diremehkan seperti ini," timpal Agung menerjemahkan kata-kata si kakek.

Kate menarik tangannya, tak lupa mengulas senyum paksaan lagi. "Saya tidak akan berbuat bodoh, saya datang ke sini untuk memastikan bahwa makhluk apa pun itu tidak akan berbahaya."

Sebuah raungan keras bersumber di bawah lantai yang mereka bertiga pijaki. Satu-satunya akses menuju asal suara adalah sebuah tangga yang mengarah ke bawah. Sebelum Kate dibiarkan turun, Agung berteriak ke bawah, memastikan ada polisi yang masih berjaga. Hanya tersisa dua orang dan salah satu dari mereka memohon agar bisa naik. Sepertinya ia benar-benar ketakutan.

Kate menuruni tangga. Kegelapan memaksa matanya beradaptasi dengan minimnya penerangan yang ada. Hanya dua buah obor yang ditempel di dinding. Pencahayaan yang sangat pelit untuk sebuah tempat yang disebut laboratorium. Dua buah meja kayu diabaikan di sudut ruang. Alat-alat yang biasa ditemukan pada laboratorium kecil dibiarkan tidak tersentuh, terlihat dari banyaknya debu yang menempel dan dihinggapi sarang laba-laba. Sebuah lemari kaca yang berisi tumpukan kertas tidak jauh berbeda dengan mejanya. Tidak salah, kan, jika menyebut tempat ini sengaja ditelantarkan?

Sebuah geraman yang terdengar begitu dalam menyadarkan Kate bahwa ia mungkin sedang dalam bahaya. Dua buah cahaya warna merah bergerak-gerak dalam kegelapan. Mata Kate menyipit, ia melihat warna kuning dan warna-warna lain yang lebih samar. Untuk sejenak, ia dibiarkan terombang-ambing dalam kebingungan. Makhluk berbulu setinggi dua meter, berdiri dengan empat kaki. Jika berdiri mungkin bisa tiga setengah meter. Semakin mendekat, Kate baru menyadari jika makhluk hitam keabuan besar itu dikurung dalam sebuah penjara yang terbuat dari ... bambu kuning?

Makhuk itu bergerak gelisah, tetapi tidak agresif. Hanya berputar-putar di dalam sel bambunya dengan geraman waspada. Di atas sel itu, terukir deretan huruf dalam aksara Sansekerta. Butuh waktu yang cukup lama untuk membaca dan menerjemahkannya.

"Taraksa ... serigala?"

Makhluk itu bersimpuh ketika Kate menyebutkan namanya. Mata merahnya menatap sang wanita cukup lama. Ia tampak tidak berbahaya.

***

Next chapter