webnovel

Kekalahan yang Nyata

Seharian ini Alan tak menampakkan dirinya, sebelumnya ia izin pada Salsabila bahkan akan mengunjungi temannya berhubung mereka ada di Barcelona. Salsabila jadi tidak semangat, bahkan ia hanya menghabiskan waktu di kamar hotel saja dengan menonton film. Sesekali mata perempuan itu melirik ke arah pintu—berharap seseorang muncul di sana.

Ponsel yang tergeletak di permukaan ranjang, tak ada dering berbunyi dari nomor Alan, berkali-kali ada panggilan yang masuk pun hanya dari teman kantor Salsabila sendiri. Tetapi ia juga sendiri tak memiliki inisiatif untuk menghubungi Alan terlebih dahulu. Kali ini ia menguap untuk kesekian kalinya, matanya sudah semakin sipit dan memerah, tetapi Salsabila masih tetap bertahan, ia hanya butuh suaminya pulang dengan keadaan yang baik. Sumpah, dia benar-benar merasa kesepian di negara orang lain. Alan sendiri yang menjanjikan akan pulang malam ini, jadi ia harus mencoba percaya.

Untuk menenangkan diri, Salsabila berniat untuk keluar berjalan-jalan untuk mencari angin sebentar. Namun, saat ia membuka pintu kamarnya—tepat saat iti pintu kamar di seberang juga ikut terbuka—menampilkan sepasang kekasih tengah berpelukan begitu mesra, tepat di depan kedua mata Salsabila.

"Aku minta maaf, Meira. Aku tidak berharap lebih pada Mas Alan. Aku Cuma menginginkan sebuah keadilan, karena aku sama dia juga terjebak dalam sebuah hubungan rumit. Aku sama sekali tidak berniat untuk mundur, isi hati tidak ada yang tahu. Aku hanya melakukan ini semua supaya orang tuaku bahagia di sana."

"Salsa, faktanya mas Alan tidak akan sampai selamanya bersama kamu. Sakit kalau kamu terus menjalin hubungan sama orang yang tidak akan pernah mencintai kamu." Meira tetap keukeuh mendorong agar Salsabila mundur segera dari perang yang terlanjur mereka jalani."

"Aku yakin suatu hari bakal ada yang berubah saat mas Alan tahu kalau jalan yang dipilih telah salah. Mau sebesar apa pun cinta kamu sama dia, kalau ternyata dia adalah suami dari perempuan lain. Itu sangat jelas bahwa tidak layak lagi untuk kamu harapkan. Jadi Meira, tolong berhenti! Jangan usik rumah tangga orang lain. Jangan ganggu hubunganku dnegan Alan."

Potongan dialog dari mimpinya semalam mengapung di kepala, suara-suara Meira berdengung di telinganya, tetapi mungkin benar saat kebanyakan orang mengatakan jika sebuah mimpi adalah salah satu pertanda bukannya hanya bunga tidur semata. Benarkah jika mimpi Salsabila semalam adalah sebuah pertanda buruk?

Salsabila terkekeh hambar menanggapi sepasang kekasih yang baru saja bersua, saat mereka menoleh dan temukan Salsabila di ambang pintu kamar—keduanya membeku dan saling tatap, raut keterkejutan muncul dari wajahnya.

Dia tidak pernah menyangka kalau Meira akan menyusul Alan sampai di sini, di saat mereka sedang melakukan honeymoon. Oh Tuhan!

Salsabila masih tertawa, tetapi bola matanya kembali berkaca-kaca. Ini bukan tawa bahagia, tetapi penderitaan yang semakin menyesakkan dada. "Aku tidak menyangka kamu ada di situ, Mas. Aku tidak tahu kalau kamu menyewa kamar dengan perempuan lain, tepat di samping kamar kami. Dan sebelumnya aku berpikir kamu bakal cepat pulang, saat kamu menyadari bahwa kamu telah meninggalkan istri kamu sendirian ddi dalam kamar. Hebat, ya, kalian!"

"Sa." Alan hendak menghampiri istrinya, tetapi tangan Meira tiba-tiba menahan, saat Alan menoleh Meira justru menggeleng, memberi isyarat agar ia jangan pergi.

Salsabila mengangguk mengerti, air matanya jatuh untuk kesekian kali. Dia benar-benar membenci drama di mana ia harus berperan sebagai sosok yang paling lemah dan tersakiti, sebabnya Salsabila lebih senang menonton film horor dibanding sebuah drama percintaan, ia sama saja menganiaya diri sendiri.

Perempuan itu Alan dan Salsabila, tatapannya tidak lepas dari iris mata Alan, dan ia menguncinya di sana. Tanpa aba-aba Salsabila memisahkan tautan tangan suaminya dan Meira dengan kasar, ia bahkan menarik tangan Alan ke dekatnya seraya tunjuk wajah wanita itu. "Kamu ... kamu tahu aku ini siapa, bukan? Kenapa masih bersikeras di sini?"

"Dia ... dia siapa, Lan?" Meira seperti orang linglung, ia berusaha meraih Alan, tetapi Salsabila tentu saja menghalanginya.

"Dia suamiku! Kami suami istri." Salsabila memperingatkan, tetapi Alan loloskan tangannya dari genggaman Salsabila sata melihat wajah sendiri milik wanita di depannya itu. "Mas—"

"Salsa, masuk kamar!" perintah Alan dengan intonasi rendah.

"Kenapa aku harus masuk kamar, Mas? Kasih tahu alasannya. "Perempuan itu bahkan masih bersabar meski ia tahu bagaimana akhirnya. "Kamu mau tenangin dia yang pamer wajah sedihnya itu? iya?"

"Salsa, tolong masuk kamar!" Alan mengulang perintahnya, saat Meira mendekat dan meraih tangan Alan dan pria itu langsung mengusap pelan kepala kekasihnya itu.

Salsabila benar-benar tak habis pikir mengapa ia bisa keluar dan melihat interaksi keduanya yang sangat menjijikkan. "Aku masuk, setelah itu kamu tenangin dia? Begitu, Mas?" Salsabila mengangguk-angguk, mencoba memahami keadaan. Dan air matanya semakin mengalir deras. "Oke, aku masuk. Tetapi setelah ini, kamu tidak perlu ikut campur apa-apa lagi. Skenario kita di Barcelona berakhir malam ini," tandas Salsabila seraya menatap Alan dan Meira bergantian. Lalu ia melenggang masuk ke dalam kamar dan membanting pintu tanpa peduli tanggapan penghuni kamar yang lain bila memang terdengar.

Salsabila langsung berlari ke arah ranjang, menjatuhkan dirinya di sana seraya meraih sebuah bantal untuk menutupi derai air mata yang semakin membanjiri wajahnya. Salsabila tak mengerti kenapa ia bisa senekat itu mengajak mereka berdebat seperti ini. Sungguh! Salsabila terlihat sangat bodoh di depan keduanya. Dan lihatlah, ia memang kalah, jelas suaminya itu tak akan pernah membelanya. Salsabila memang sangat bodoh malam ini.

Harusnya ia tidak perlu melihat keduanya, dna harusnya juga ia tidak perlu menunjukkan kemarahan dan kecemburuannya, agar ia tak perlu melakoni drama seperti tadi. Ia benar-benar terlihat konyol dan menyedihkan dalam menghadapi sepasang kekasih yang saling mencintai itu. Dia mencoba memisahkan keduanya, tetapi kenyataan dan takdir sama sekali tak sudi berpihak kepadanya. Semesta telah mengolok-olok Salsabila sebagai perempuan paling bodoh di dunia, sekarang mereka di luar sana mungkin telah menertawai kekonyolan sikap Salsabila tadi.

Terutama saat ia menarik Alan ke arahnya—berharap pasangan itu benar-benar terpisah, Salsabila beradegan sebagai istri yang tengah membekuk pengkhianatan suaminya, berharap Alan akan memilihnya, tetapi jawabnya sudah harus Salsabila tebak di luar kepala.

Sejak saat itu, Salsabila mulai menyerah dengan pernikahannya dan Alan. Malam itu juga ia langsung memesan tiket kepulangan ke Jakarta dan sama sekali tak memedulikan Alan yang terus membujuknya untuk tetap tinggal. Persetan dengan anggapan orang tua pria itu, dia tidak lagi memikirkan apa-apa. Pikirannya hanya satu hari itu, ia harus menyelamatkan hatinya dari pria seperti Alan.

Sampai umur pernikahan yang ketiga ini, Salsabila sudah membuktikan diri bahwa hidup bersama dengan pria yang tidak mencintainya bukanlah perkara yang sulit. Salsabila sudah bisa menghadapinya, dan bermain dengan permainan yang dirancang oleh pria itu. Dan ia pasti kuat.