2 Sebuah Ciuman

"Astaga dia benar-benar manusia!" Iris berseru girang, dengan langkah terseok menghampiri sosok manusia kecil itu, Litzy tak kalah antusiasnya ia berputar-putar di kaki Iris.

Tangan keriput Iris menyentuh manusia kecil dengan pelan, tubuhnya penuh lumpur tapi sangat lembut dan halus, ia bersukacita, tidak jadi mati, ia akan hidup lebih lama lagi.

Sosok itu sangat mungil, mungkin manusia itu umurnya baru empat atau lima tahun, rambutnya putih cantik, kulitnya putih pucat, tubuhnya sangat kurus.

"Hum? Kenapa pakaiannya robek?" gumam Iris, dengan hati-hati membalik sosok itu, ia terkesiap melihat punggung yang di penuhi bekas lecutan cambuk.

Litzy berdiri di atas kepala sosok itu, menatap punggung penuh luka lalu kembali menatap Iris.

"Betapa malangnya dirimu, dengan tubuh sekecil ini sudah merasakan sakit," ucap Iris sendu, tapi kemudian ia terkekeh-kekeh, tubuh ini sangat cocok sebagai pengganti raga busuk miliknya, meski banyak luka ia dapat memberi ramuan penyembuh, itu tidak butuh waktu lama, besok ia dapat mengambil raga ini.

Tangannya dengan riang tak berhenti meraba-raba seluruh tubuh bocah itu, dari atas sampai ke bawah, memeriksa dengan cermat, seolah memastikan sesuatu, tiba-tiba ia terdiam dan menegang.

"Kenapa dia memiliki sesuatu yang dimiliki laki-laki?" Tanya Iris dengan gemetar memandang tangannya sendiri, dengan sekali dorongan ia menjauh dari manusia itu.

"Laki-laki! Bagaimana mungkin dia laki-laki!?" Iris menjerit kesal, ia butuh manusia untuk memulihkan tubuh dan kekuatannya, manusia berjenis kelamin yang sama dengannya, perempuan, wanita atau nenek-nenek bukan masalah, tapi laki-laki berbeda, sihirnya tidak akan bekerja.

"Sial, manusia ini laki-laki! Apa yang harus kulakukan?"

Litzy masih berdiri di atas tubuh manusia itu, memandang majikannya yang mondar-mandir kebingungan, langkah patah-patah Iris sangat tidak nyaman dilihat.

"Ini pertama kalinya manusia di kirim kemari," Iris memandang rawa di depannya, mencoba berpikir positif terhadap kegagalannya.

"Apa aku harus menunggu ratusan tahun lagi agar ada manusia lain yang datang? Tidak, itu terlalu lama," gumam Iris gelisah, menatap manusia itu lagi, "Oh, aku bisa mengambil sedikit inti jiwa miliknya, kemudian keluar dari sini, manusia ini pasti tahu jalan keluar!" Ia berseru riang, tak memedulikan tubuhnya yang mungkin bisa patah saat bergerak terlalu keras, Iris melompat mendekat.

Ia menyentuh leher manusia itu, memeriksa tanda kehidupan, dirasakannya denyut nadi yang sangat lemah, Iris menjadi cemas, memandang Litzy sebentar, ia tidak bisa lagi mengubah peliharaannya sesuka hati seperti di masa lalu, ia sekarat dan lemah, maka dengan hati-hati ia menyeret manusia itu.

Dengan susah payah menempatkan tubuh mungil ke peti mati yang dibuatnya, mengelus wajah halus yang penuh lumpur.

"Sepertinya aku harus membersihkannya." Kata Iris, melirik rawa yang berwarna hitam, ia menggeleng.

Tidak mungkin ia membersihkan manusia kecil ini dengan air sekotor itu, setelah berpikir keras Iris ingat di tengah padang rumput ada sebuah kolam berisi air jernih, saking jernihnya apa pun yang ada di sana akan terpantul dengan jelas, ia tidak pernah ke sana, takut melihat wajahnya sendiri, jadi demi membersihkan manusia ini Iris akan memberanikan diri melihat wajahnya.

Berjalan dengan langkah terseok, menyeret manusia kecil itu, melalui padang rumput, dari kejauhan terlihat kolam air itu berkilauan.

"Krek"

"Astaga, tanganku retak!" Iris menjerit, langsung melempar manusia itu ke tanah, ia hampir menangis melihat tangannya yang bengkok.

"Ahh.. sebentar lagi tanganku putus," keluh Iris dengan hati-hati meluruskan tangannya.

Litzy berlarian di sekitar manusia itu, mengendus-endus.

Iris kembali menyeret manusia yang tidak berdaya sampai ke pinggir kolam, air yang berkilauan itu memantulkan bayangan wajahnya.

"Ah jelek sekali!" kata Iris dengan nada penuh penghinaan, tak sudi menatap bayangannya, buru-buru membuang muka, tetapi tiba-tiba ia ingat jika itu wajahnya dan merasa sangat sedih.

Dengan berbesar hati, ia menurunkan tubuh penuh lumpur ke kolam, melepas pakaiannya satu persatu, ketika tiba di kain terakhir, Iris kembali menjerit.

"Bagaimana.. bagaimana mungkin makhluk suci seperti aku menelanjangi laki-laki?!"

Iris memang sudah berusia ratusan tahun, sebagai penyihir ia telah malang melintang menemui berbagai jenis makhluk, tetapi sebanyak apa pun yang ia temui, ia belum pernah berinteraksi dengan manusia laki-laki secara langsung, apa lagi sedekat ini.

"Aduh di mana aku menaruh wajahku? Wajahku pasti sudah merah!?" Iris heboh sendiri, melirik pantulan wajahnya di air kemudian menjerit lagi, Litzy yang berdiri di atas rumput hanya diam menonton.

"Dia hanya anak kecil, benar dia anak kecil," ucap Iris menangkan dirinya sendiri, dia dengan cepat menggosok tubuh manusia itu.

Manusia ini sungguh menawan, kulitnya sangat halus, rambut putihnya sangat lembut, tapi juga terlihat rapuh, belum pernah Iris menyentuh seseorang dengan sangat berhati-hati.

"Uh.." suara gumaman lirih menghentikan kegiatan Iris, menatap manusia yang berada dalam rangkulannya, setengah tubuh mereka sudah berada di dalam air.

Mata itu mengerjap, perlahan mendongak menatap Iris yang diam membeku, suasana menjadi hening sejenak.

"Apa aku di neraka?" Thomas bertanya kebingungan, ia terbangun dalam pelukan tengkorak hidup memakai jubah hitam di dalam air, belum lagi seekor tikus di atas kepalanya.

"Kamu ada di tempatku," kata Iris dengan suara tenang dibuat-buat. Dalam hati ia merapal kata 'anak kecil' berulang-ulang.

"Aku hidup?" Thomas mengangkat tangannya ke atas, matanya berkaca-kaca, sihir itu berhasil, ia selamat. Thomas menyadari jika tubuhnya hampir telanjang, ia menatap orang yang merangkulnya dengan wajah memerah sampai ke telinga.

"Itu kamu terluka, jadi aku berniat membersihkannya lalu mengobati luka-lukamu." Jelas Iris terbata-bata, manusia kecil di depannya ini terlihat sangat menggemaskan.

Thomas bangkit dari pangkuan Iris, menarik pakaian yang di bawakan Litzy entah dari mana, dengan gugup ia memakainya.

"Terima kasih sudah menolongku," ucap Thomas ketika telah duduk berhadapan dengan Iris di padang rumput, ia sedikit takut melihat wujud Iris yang mengerikan.

"Namaku Thomas," sambungnya, ragu-ragu untuk memperkenalkan diri sebagai pangeran Megalima.

"Aku Amara Iris," sahut Iris dengan seringai di wajahnya, ia melihat manusia kecil di depannya bergetar ketakutan melihat wajahnya, ini kesempatan emas untuk mengambil inti jiwanya.

"Aku menolongmu tidak secara sukarela," lanjutnya dengan suara pelan namun penuh tekanan, tangannya menyentuh dagu Thomas, memaksanya mendongak.

"Apa yang kau inginkan?"

"Jiwamu, aku ingin jiwamu. Kau mau memberikannya bukan?"

Thomas tidak menjawab, hanya duduk dengan kaku, penyihir itu bergerak mendekat dan menyambar bibir pucat Thomas, ia mencium pelan Thomas yang membeku, merapal mantra, membuatnya Thomas meminum darahnya begitu juga sebaliknya.

Iris melepas ciuman itu dengan hati bergetar, dalam hati ia menjerit karena ini pertama kalinya ia bertindak agresif terhadap lawan jenis.

Thomas menatapnya dengan pandangan tidak percaya, menyentuh bibirnya.

"Ini...ciuman pertamaku."

avataravatar
Next chapter