1 Awal Mula

Bunyi lecutan cambuk menggema di ruang bawah tanah kerajaan Megalima, dua orang algojo berpakaian hitam memegang cambuk yang terayun di tangannya masing-masing, seorang bocah laki-laki dengan punggung berlumuran darah, meringkuk di tengah-tengah ruang penjara.

Bocah itu adalah Pangeran Megalima, Pangeran Thomas Phyla, sudah hampir sebulan ia disiksa dan ditahan di penjara bawah tanah ini, Kerajaan Megalima di kudeta oleh Bibinya sendiri, sang Ratu, ibunda tercintanya tewas meregang nyawa karena racun, kakak perempuannya dijual ke rumah bordil, dan sampai sekarang ia tidak tahu apakah masih hidup atau tidak, dirinya mencoba menyelamatkan takhta dan keluarganya, namun berakhir dengan kutukan penyihir putih, tangan kanan sang bibi, membuat tubuhnya mengecil dan kehilangan seluruh kekuatannya perlahan-lahan.

Bibinya suka menyiksa, dia benar-benar tidak akan membiarkannya mati sebelum dia yang memohon mati.

Sebelumnya ia adalah pangeran yang sangat kuat, ksatria pedang, tubuhnya tinggi, badannya tegap dan memiliki beberapa otot di lengan dan tubuhnya, rambutnya yang hitam legam dan mata birunya, tidak ada seorang pun yang dapat menolak pesona seorang Thomas Phyla, sang pangeran Megalima.

Tapi sekarang Thomas benci tubuh ini, kekalahannya pada pertarungannya menyelamatkan takhta kerajaan Megalima melawan sang Bibi, membuat ia dikutuk oleh penyihir putih sehingga tubuhnya mengecil seperti anak berusia lima tahun, tubuh ini tidak bisa menahan rasa sakit dan sangat lemah, rambut dan matanya memutih seiring dengan kekuatannya yang sedikit demi sedikit menghilang.

Thomas tidak menjerit atau berteriak ketika cambuk para algojo tidak henti-hentinya berayun ke punggungnya, ia masih memiliki harga diri sebagai seorang pangeran.

Algojo merasa lelah dan letih, mereka datang setiap tiga jam sekali dan mencambuk selama satu jam penuh, merasa kesal karena pangeran tidak mati-mati.

Mereka keluar meninggalkan Thomas yang terkulai di tanah, tubuhnya bersimbah darah, seluruh tubuhnya terasa sakit dan pedih, merangkak mencoba bangkit dengan perlahan, tangannya gemetar memegang jeruji besi.

"Aku harus kabur dari sini," ucap Thomas lirih dengan napas putus-putus, ia akan mati konyol jika berlama-lama disini.

Dalam satu bulan ia sudah berusaha keras mengingat rune sihir yang di ajarkan neneknya, sihir kuno, untuk penyelamatan diri, semacam teleportasi ke tempat yang jauh.

Thomas tidak tahu ia akan terlempar ke mana, itu tidak penting sekarang, tidak tahu juga apakah berhasil atau tidak, ia bukan penyihir. Tubuhnya yang kecil ini tidak akan bertahan lama dan akan segera mati kehabisan darah.

Jari-jarinya gemetar bergerak menggambar rune sihir dengan susah payah, bibirnya bergerak mengucap beberapa patah kata mantra, ia putus asa.

"Jika ini tidak berhasil maka hari ini adalah hari terakhirku," ucap Thomas sambil menarik napas panjang. Mengalirkan darahnya ke rune itu.

Lima menit ia menunggu tidak terjadi apa-apa. Thomas mulai berpikir untuk mengakhiri hidupnya.

Langkah kaki algojo berderap datang, Thomas sudah ingin menggigit lidahnya.

Sel dibuka, rantai yang mengikat berderak-derak dibawa masuk. Algojo menyeret tubuh kecilnya, membanting ke dinding, Thomas merasakan beberapa tulang rusuknya patah. Ia menutup mulutnya rapat-rapat.

"Bruush.."

Rune sihir itu tiba-tiba mengeluarkan bayangan gelap berwarna hitam, dengan cepat menyelimuti tubuh Thomas, menyeretnya pergi.

Thomas tersenyum sebelum batuk berdarah, bayangan itu menyerap tubuhnya dan Thomas merasakan sakit luar biasa di tubuhnya.

"Aku berhasil," gumamnya lirih.

Algojo tidak sempat berbuat banyak, tubuh Thomas menghilang dalam sekejap.

Di tempat lain, nun jauh dari pelosok kerajaan Megalima seorang wanita bertubuh bungkuk dengan jubah hitam tengah mengumpulkan biji-bijian bunga rawa di saku kain kumalnya.

Wanita itu adalah Amara Iris, seorang penyihir yang telah berumur ratusan tahun, ia terluka parah dalam perang masa lalu, membuat tubuhnya tidak lagi abadi, perlahan-lahan tubuhnya menua dan keriput, tinggal kulit yang melapisi tulang.

Ia harus mencari tubuh pengganti dengan cepat sebelum tubuhnya membusuk dimakan belatung.

Tapi tempat ini seolah menahan dirinya pergi, tempat persembunyian teraman selama ratusan tahun yang ia miliki justru memenjarakan dirinya sendiri.

Ia harus mencari manusia, seorang gadis yang cantik dan bertubuh bagus untuk memulihkan kekuatannya dan tubuhnya. Tapi di sini, di rawa kematian tidak ada siapa pun kecuali dirinya dan peliharaannya Litzy, yang sekarang berwujud seekor tikus kecil berkeliaran di kakinya.

Ia mengumpulkan biji-biji bunga rawa untuk di makan, untuk bertahan hidup di saat-saat terakhirnya.

Ia sudah siap dengan kematiannya, tidak akan ada manusia yang datang ke tempat ini seberapa lamanya pun ia menunggu, Iris pasrah dan merasa hidupnya selama ratusan tahun ini benar-benar membosankan.

Iris melangkahkan kakinya, melintasi rawa yang berwarna hitam, ia menutup tudung jubahnya rapat-rapat, benci melihat pantulan wajahnya di air rawa, wajahnya mirip tengkorak.

"Litzy, kalau aku mati kau harus hidup dengan baik." Iris mengeluarkan biji-biji bunga rawa dan meletakkannya di atas batang kayu, tikus hitam itu mendekat dengan cepat, matanya berkedip-kedip bingung.

Litzy sudah melayani Iris selama ratusan tahun ini, dan baru hari ini ia melihat Tuannya sangat putus asa seperti ini.

Iris sudah menyiapkan peti mati yang ia letakan di padang rumput, kayu-kayu yang di satukan secara asal-asalan. Menanam bunga-bunga di sekitarnya dan sudah membuat nisannya sendiri.

Amara Iris tertulis dengan susah payah menggores kayu dengan batu tipis namanya telah terukir sempurna di nisannya.

Iris menatap langit, di rawa kematian tidak ada siang atau malam, hanya langit mendung dan berangin, matahari selalu tertutup awan dan kabut, membuat tempat itu terasa lembab.

"Ini adalah saat-saat terakhirku," gumamnya, mempersiapkan dirinya untuk berbaring di peti mati, ia sudah merasakan ajalnya makin dekat.

Litzy diam di batang kayu, memperhatikan tindakan majikannya, tikus itu tidak bisa berbuat banyak, ia hanya pelayan dan berwujud tikus, apa yang bisa di harapkan selain menonton sang majikan meregang nyawa?

Iris menatap Litzy, tersenyum tapi yang dilihat oleh tikus itu justru wajah mengerikan Iris, kulitnya benar-benar menyatu dengan tulang.

"Litzy, terima kasih menjadi pelayanku, kau bebas sekarang." Kata Iris kemudian ia tersadar dan terbahak seorang diri, "Litzy malang sekali kamu, kau bebas tapi tidak bisa keluar dari tempat ini."

Ia berbaring, langit masih mendung dan tetap akan mendung. Ia memejamkan matanya, tangannya menggenggam seikat bunga rawa, bersiap untuk mati.

"Selamat tinggal," gumamnya. Litzy menunduk seolah memberi hormat.

Hening sejenak, tikus itu tidak tahu apakah majikannya sudah mati atau belum, adegan seperti ini sudah terulang hampir setiap hari.

Pada kenyataannya Iris belum mati juga.

"Blurb...Blurb..."

Air rawa bergejolak tiba-tiba, membentuk pusaran di tengah-tengah dan bergulung-gulung. Tikus itu berdiri dengan kakinya melihat, lalu melihat majikannya yang tak bergerak di peti mati.

Sekali lagi ia hanya tikus, tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menonton.

"PLASSSHH..."

Air rawa tiba-tiba mengeluarkan sesuatu, menghempas sesosok tubuh ke darat, suaranya berdebam keras, membuat Litzy harus bersembunyi di balik batu. Air rawa yang hitam itu berhamburan ke langit, menyebabkan hujan dadakan.

"Akh.. hujan!" Iris berteriak bangkit dari peti matinya, tidak terpengaruh dengan suara keras itu, ia merentangkan tangan lebar-lebar, menyambut hujan.

Litzy hanya memandang majikannya malas, dalam hati ia sudah menduga Iris tidak akan mati.

Padang rumput berubah menjadi basah karena air rawa yang tumpah, Iris bangkit perlahan, takut mematahkan tangan atau kakinya jika bangkit tiba-tiba.

"Apa itu?"

Tak jauh dari mereka, sesosok bocah berambut putih dan berlumur lumpur rawa terbaring tidak berdaya.

"Manusia?"

avataravatar
Next chapter