1 Banjir Darah di Tambun Tulang 01

Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh

tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua

buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang

telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah

tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah

menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat menjelang

detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai

menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata

yang kedua.

Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri.

Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu

sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang

tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang

dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu

pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan

hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi!

Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping

tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal empat

persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan.

Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah

buku. Dan pada kertas itu tertulis:

SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN

Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung

penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh

pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui

kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku

ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah

buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga

seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan.

Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang

hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya.

Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam

cara pengobatan yang diketahuinya.

Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar

memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di

tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti

mengandung racun jahat karena seseorang yang ditusuk

bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu,

menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat

keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu

rendah dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang

menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun

pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah

bukan orang sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang

telah melakukan perbuatan terkutuk ini?

Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut

di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus menguburkan

jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa

itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya,

sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang

berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur

sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena

tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di

lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya

disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit

harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang

hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan

harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa

menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu?

Atau mungkin harimau siluman? Kulit Itu kering dan bersih.

Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau

hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit

harimau, itu ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan

ruangan batu tersebut dengan cepat.

Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah

kekuningan sang matahari yang hendak ke luar dari

peraduannya Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan

jelas. Di bawah sorotan sinar matahari air laut laksana

hamparan permadani yang indah sekali. Kemudian

mataharipun ke luarlah tersembul di ufuk timur itu

merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah muncul

dari dalam lautan luas

Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip me-

mandang ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat ke-

munculan sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya.

Sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia mem-

perhatikan keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa

itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan keahli-

annya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup me-

nuang segala keindahan yang ada di depan mata itu ke

atas kain lukisannya.

Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang tenang,

dihembus angin barat. Ke manapun mata memandang

hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan

penglihatan manusia yang menandakan bahwa

sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka

dibandingkan dengan kehebatan alam.

Angin dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar pe-

rahu besar menggembung dan perahu meluncur lebih

pesat. Di.kejauhan kelihatan serombongan burung terbang

di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di

sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya masih

terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa

menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu

pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia melangkah

ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di

buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di

sebelah tenggara, Wiro tak tahu apa yang tengah diper-

hatikan laki-laki pemilik perahu ini.

''Ada apakah, bapak?" tanya Wiro.

Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik perahu

menjawab. "Orang muda, perhatikan baik-baik. Adakah

terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr kejauhan

sana...?"

"Awan semacam itu biasanya membawa pertanda

tidak baik."

"Tidak baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu

apa-apa segala soal pelayaran ataupun keadaan di laut.

"Akan timbul angin ribut," kata pemilik perahu pula.

Latu dia pergi kehaluan dan menyuruh anak buahnya

merubah arah menjauhi awan kelabu itu.

Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh

sekali. Udara sekitar mereka bagus dan indah. Perlu apa

dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin

ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! . Maka

karena, segala sesuatunya dianggap tak perlu di-

khawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil

bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai

membayangi hati pemuda ini.

Di sebetah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini

kelihatan menjadi hitam dan bergerak cepat sekali ke arah

perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi

melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di mana-

mana. Pemandangan yang serba indah kini menjadi

diselimuti kemendungan. Angin pun bertiup keras dan tak

tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan

semakin lebaL Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang

dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu tersendat-

sendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun.

"Arahkan perahu ke pulau itu!" teriak pemilik perahu

pada pemegang kemudi.

Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam.

Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah titik

hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat, yang disusul

oleh gelegar guntur maka hujan yang tadinya rintik-rintik

kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh

perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup

bersama karena derasnya, laut marah menyabung ge-

lombang, menghempaskan perahu kian ke mari semen-

tara udara telah berubah laksana malam hari, gelap pe-

kat! Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu.

Tapi ini hanya menambah rasa ketakutan orang-orang

yang ada di dalam perahu itu.

"Gulung layar besar!" teriak pemimpin perahu.

Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu

angin dahsyat menerpa,perahu.,

"Kraak!" ,

Tiang layar utama perahu patah. Perahu condong

tajam mengikuti arah tumbangnya bagian atas tiang layar.

Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang

yang luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun

ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan deru hujan, di

antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara

guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit

pekik manusia yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu

hanya sebentar saja karena sedetik kemudian perahu itu

telah amblas digulung gelombang!

Sewaktu perahu itu muncul kembali maka keadaannya

hanya merupakan hancuran dan kepingan-kepingan papan

dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke mari untuk

kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas.

Setiap manusia yang ada dalam perahu itu, dengan

segala, daya yang ada berusaha menyelamatkan diri.

Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan

alam yang maha dahsyat itu?!

Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga

untuk ke iuar dari bencana maut yang mengerikan itu.

Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan

perahu namun mana mungkin berenang dalam gelombang

yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul telah

disapu kembali oleh air laut!

Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia

melihat sebuah papan besar kira-kira dua belas tombak

dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir

pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru

saja satu tombak, sebuah gelombang mendera tubuhnya.

Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut.

Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah

lenyap!

"Celaka! Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar 212

dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu sebuah

gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam

dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang.

Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak

membuat pemandangannya menjadi gelap!

Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di

permukaan air laut dalam keadaan setengah hidup

setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan'keras.

Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah! Wiro tak

tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu karena

dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian

otaknya masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu

adanya mungkin bisa dipakai untuk menyelamatkan

jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran

darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan

tangannya untuk menangkap benda itu. Pertama kali dia

cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma

menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak

berhasil apa-apa namun kali yang keempat baru dia

berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat.

Beberapa saat kemudian ketika kedua matanya sudah

bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok pendek

yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya.

Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa

mempertahankan diri agar tidak tenggelam untuk

kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum

lama pemuda ini berpegang pada papan itu, terombang

ambing dipermainkan ombak, satu benda meluncur

dihadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika

diperhatikan ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu

betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh

seorang penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya.

Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan

pingsan, perutnya gembung.

Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang di dapatnya

tidak cukup besar untuk menolong mereka berdua

sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti

meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk

hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu membuka

bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan pada

papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang.

"Mudah-mudahan kau selamat anak," kata Wiro dalam

hati.

Dia memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau

balokpun yang kelihatan. Laut yang tadi menggila kini mulai

tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah

ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan!

Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia

merasa ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin

dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa yang

akan mendengar? Siapa yang akan menolongnya? Lagi pula

mulutnya serasa terkancing. Dicobanya berenang. Namun

kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan

tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi

sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai

tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan air laut

pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh

dihadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya.

Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia

berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat maut yang

hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia menyebut

nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik

itupula tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari

permukaan air laut.

avataravatar
Next chapter