webnovel

Winter's Tale

Menghabiskan waktu bersama dengan seseorang dalam waktu yang cukup lama tidak berarti kau mengenalnya. Mungkin selama ini yang kalian lakukan hanyalah sekedar basa - basi semata. Atau mungkin salah satu diantara kalian tidak sepenuhnya mempercayai satu sama lain dengan apa yang telah dan sedang dialaminya. Bagi Zeline hidup dengan membatasi diri adalah hal biasa untuknya, bahkan menjadi sebuah keharusan. Sedangkan bagi Reigan, menghabiskan waktu lebih dari setengah umurnya mengenali wanita itu nyatanya tidak bisa membuat Reigan memilikinya begitu saja. Setelah semua masalah yang terjadi nyatanya masih ada begitu banyak lembaran kosong yang tidak ia ketahui dan mengerti tentang Zeline.

Rzndaa7 · Urban
Not enough ratings
10 Chs

Chapter 7

Max datang seorang diri tanpa Laura bersama nya. Ia berkata wanita itu akan segera menyusul setelah menyelesaikan beberapa pertemuan. Laura seorang wanita karier yang menjalankan perusahaan keluarganya sama seperti kedua pria tersebut.

"Dimana Jelly?"

"Disini.." Zeline baru saja kembali dari toilet ketika Max tiba. Pria itu segera mendekat dan memeluknya

"Keterlaluan, kau bahkan datang ketempat ini terlebih dahulu dibandingkan rumahku" Zeline hanya tersenyum dalam dekapan nya berusaha untuk tidak terlihat kaku.

"Soon, aku juga merindukan kedua orangtua mu" Max mengangguk paham. Zeline melepaskan pelukan mereka terlebih dahulu "Laura akan segera tiba?"

"Mungkin" pria itu melirik jam tangan dipergelangan nya.

Zeline mendekati Reigan yang nampak sibuk dengan beberapa alat dapur, ia mengambil tempat untuk duduk di kursi bar dan berpangku tangan menatap pria tersebut.

"Kau tidak ingin menawarkan bantuan?"

Zeline menggeleng "Lagi pula kau tidak akan mengizinkan nya" Pria itu hanya tersenyum, Zeline terlalu payah dengan peralatan dapur.

Tidak lama suara bel pintu terdengar. Max beranjak untuk membuka nya. Zeline hanya memperhatikan lantas suara helaan nafas Reigan terdengar menarik perhatian nya.

Zeline hanya tersenyum "Kau kesal karena tidak memiliki pasangan?"

Reigan menggeleng "Aku hanya kesal dengan tontonan yang akan ditampilkan, lagi pula—" ia memberi jeda, tubuhnya sedikit maju kedepan menatap Zeline yang hanya dibatasi meja bar kecil

"—Kita akan berpasangan malam ini bukan?" senyuman maut itu membuat Zeline mendorong tubuh Reigan agar menjauh dari nya.

"Reigan kau membuat ku malu!!" Zeline mencebik kan bibir nya dan menjauh menghilang kan rasa gugup. Pria itu menggeleng menatap lucu dengan tingkah Zeline.

"Ini pertama kalinya aku melihat pria barbar itu tersenyum" Laura berbisik kepada tunangan nya. Mereka sedari tadi memperhatikan kedua orang tersebut dalam diam.

Laura menatap Max yang sedang tersenyum "Kau tidak cemburu?"

Max menggeleng "Untuk apa? Aku akan menjadi orang pertama yang paling berbahagia jika mereka bersama sayang. Kau tidak tau apa saja yang sudah mereka lalui selama ini" pria itu menatap Laura dengan sendu

"Kau tidak mencintainya?"

"Aku menyayangi nya" ia mencium bibir Laura sekilas dan segera berlalu. Laura hanya tersenyum, kini ia tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

Setelah kejadian itu, ia terus berfikir alasan apa yang membuatnya membenci Zeline. Laura hanya merasa cemburu, hanya itu. Ia tidak memiliki kenangan bersama Max seperti Zeline yang menghabiskan waktunya dengan tumbuh bersama pria itu ataupun Reigan. Laura paham ia hanya iri karena wanita cantik itu memiliki seluruh perhatian dari orang - orang disekitar nya, terutama Tunangan nya.

Dan ia mencoba menerima, merekam semua ucapan Reigan padanya. Menyimpulkan satu pendapat bahwa menerima Max berarti ia harus menerima Zeline, karena ia yakin bahwa baik Reigan, Max dan Zeline tidak mungkin dipisahkan. Ia mencoba untuk menjadi dewasa dan ingin membuat Max mengerti jika ia berbeda dari semua wanita yang pernah dibuangnya.

Shabu menjadi menu utama malam ini. Reigan telah memesan bahan - bahan yang dibutuhkan dari Restaurant Shabu yang cukup terkenal. Suara handphone terdengar, Zeline segera mengetahui itu adalah miliknya karena ia memasang nada khusus untuk kedua kakaknya. Ia mencari disegala tempat namun belum menemukan benda pipih tersebut.

"Rei—"

"Dikamar ku, aku mencharge nya" Wanita itu segera berlari ke kamar yang dimaksud.

"Luar biasa" Laura bergumam menatap Reigan takjub "Max bahkan tidak perduli jika ponselku habis daya" Pria yang dimaksud kan hanya tertawa.

"Kau bisa melakukan nya sendiri baby" Reigan menatap jijik pada pasangan tersebut

"Menggelikan" ia segera berlalu membawa peralatan yang dibutuhkan keruang tengah.

Zeline keluar dari kamar dengan ponsel ditangan nya. Reigan menghampiri dan mengambil alih ponsel tersebut.

"Kau dimana Jelly?" Suara pria terdengar dari sebrang.

"Penthouse Rei—"

"Zeline bersama ku dan akan menginap" Reigan memotong. Pernyataan tersebut sontak membuat Zeline terkejut. Max hanya terkekeh ditempatnya.

"Apa?! Tung—tunggu dulu aku tid—"

"Hey Zi, tenang saja aku dan tunangan ku ikut menginap disini" Lagi - lagi seseorang memotong ucapan nya, dan kali ini adalah Max.

"Baiklah, kau harus menghubungi ku jika sudah kembali"

"Baiklah.." Wanita itu terdengar jengkel. Suara tawa milik Zion terdengar dari sebrang

"Selamat bersenang - senang, dan jangan tidur terlalu malam"

"Hmm" Zeline menatap Max kesal yang menahan tawa didekatnya.

"Kau benar - benar menyebalkan Max" Zeline menghentak kan kaki dan meraih dengan kasar ponsel nya dari tangan Reigan

Pria itu tertawa terpingkal - pingkal, tingkah Zeline benar - benar membuatnya mengingat Arrabelle, keponakan wanita itu. Laura menyuruh nya untuk segera berhenti tertawa sedangkan Reigan ditempatnya hanya menahan senyum.

Hujan turun semakin lebat. Max dan Laura mulai memasukan bahan - bahan makanan kedalam wadah yang sudah menguap. Reigan mulai membagikan tempat untuk masing - masing diantara mereka, dan segera beranjak untuk menutup jendela penthouse nya ketika mendengar suara gemuruh bersautan.

Zeline yang tengah mendekat tiba - tiba saja berteriak dan meringkuk dilantai ketakutan ketika kilat cahaya masuk melewati jendela penthouse nya disusul suara petir yang mencekam.

"Arrgghh!!"

Reigan segera berlari menghampiri Zeline lalu mendekapnya, Max mengambil alih menutup semua jendela. Laura secara spontan membantu Tunangan nya menarik semua gordyn untuk menutup Penthouse yang memang didominasi Kaca dan jendela besar tersebut.

"Shh.. Tidak apa.." Reigan menenangkan wanita tersebut hingga beberapa menit kemudian. Max menarik tunangan nya untuk kembali menyiapkan makanan, membiarkan Reigan menenangkan wanita tersebut.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Zeline? Ia seperti mengalami gangguan mental yang cukup berat" Max tidak menjawab, lebih tepat nya tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut.

"Bisakah kau membantu ku memisahkan makanan untuk Zeline? Sepertinya kita harus melewatkan makan malam bersama nya kali ini" Max mengalihkan pembicaraan, Laura hanya mengangguk dan tidak ingin memperpanjang masalah tersebut. Ia akan mencoba secara perlahan nanti.

Reigan membawa Zeline masuk kedalam kamar nya dan membaringkan wanita tersebut. Segera ia menekan tombol otomatis untuk menutup semua jendela pada ruangan itu. Zeline meringkuk didalam selimut tebal membungkus dirinya sendiri hingga kepala tanpa melepaskan genggaman nya pada Reigan, sebelah tangan nya yang lain mengambil bantal berusaha membekap wajahnya. Pria itu duduk dipinggiran ranjang menungguinya, ia hanya ingin memastikan sesuatu.

"Zeline memiliki kecendrungan untuk menyakiti dirinya sendiri ketika ia merasa takut dan terancam"

Kalimat tersebut menghantui pikiran nya ketika Zion menghubungi nya sejak kedatangan wanita itu.

Dan saat ini, ia mencobaa memastikan hal tersebut. Zeline membekap wajahnya sendiri dengan bantal dibawah selimut tebal yang menutupinya. Beberapa saat cengkraman Zeline menguat dan tubuh wanita itu terlihat menggeliat, Reigan segera menarik selimut dan bantal tersebut membuangnya jauh dari jangkauan Zeline.

Suara nafas Zeline tersengal dan terdengar berat, tatapan itu kosong. Pipinya basah dengan air mata namun tidak ada suara isakan. Reigan menarik tubuh Zeline hingga terduduk dan membentur tubuhnya, mendekap wanita itu dengan erat.

"Jangan—jangan seperti ini kumohon" ia berbisik menenggelamkan wajah nya diantara pundak dan leher Zeline.

"Mengapa kau memberitahuku hal ini? Kau mengira aku akan meninggalkan nya?" Reigan geram dengan Zion yang seakan merendahkan nya.

"Karena menurutku kau pantas untuk mengetahui nya. Zeline tidak lah lagi sama, adik ku hancur dan aku tidak ingin kau ikut menghancurkan nya"

Sungguh ia paham sekarang jika Zion berkata demikian, Zeline nya memang lah telah hancur dan tak lagi sama. Lantas mengapa? Reigan masih akan tetap menunggu nya, dan perasaan nya tidak lah berubah.

Zeline tidak merespon, wanita itu justru telah terlelap dalam pelukan nya, melewatkan makan malam yang telah di rencanakan. Sebuah tangan menepuk pundaknya, ia bahkan tidak menyadari kehadiran Max disana.

Pria itu membantu merapikan tempat tidur dan menata nya kembali, Zeline dibaringkan dan diselimuti hingga mencapai batas perutnya. Max mengambil tempat untuk duduk disisi kiri tempat tidur yang kosong dan ikut menatap Zeline yang terlelap.

"Dia terlihat damai" Max sungguh menyukai wajah Zeline yang terlelap, ia bahkan memiliki sekumpulan foto Zeline yang tertidur hingga Reigan murka dan mengakatan jika ia sudah tidak waras.

"Bagaimana mungkin ia semakin rapuh? Aku berharap segala therapy sialan itu benar - benar membantunya" Max menggenggam sebelah tangan wanita itu sambil berbicara pelan.

"Dimana Laura?"

"Aku menyuruhnya untuk beristirahat" Reigan tidak menjawab, Pria itu masih terlalu asik menatap wajah damai Zeline.

"Zion mengkhawatirkan tentang Al—"

"Aku tau." Max memotong.

"Tidak perduli Alter ego atau bukan, ia masih lah Zeline. Zeline yang ku kenal sepanjang eksistensi ku" Reigan membenarkan, sejauh apapun perubahan itu. Ia masih lah Zeline yang mereka kenal. Masih lah Zeline yang berhasil membuatnya terpesona.

"Aku hanya membenci topeng nya—" Reigan diam sesaat "—Wanita bodoh" Max tertawa mendengar nya, ia setuju dengan pendapat itu.

"Kalian harus melihat ini"

Suara Laura mengejutkan kedua pria tersebut, Max segera keluar disusul Reigan setelah sekali lagi memastikan Zeline tidur dengan nyenyak. Laura kembali ke ruang tengah dan menyalakan televisi, kedua pria tersebut mengambil tempat masing - masing di sofa terdekat.

"Zeline Edrea Kyra, Desaigner muda dan cantik ini kembali menjadi topik perbincangan setelah beberapa foto kedekatan nya dengan dua Petinggi Perusahaan BriArnault Inc beredar di Med—"

Reporter entertainment tersebut menampilkan beberapa foto Zeline bersama Max yang sedang berpelukan dan juga beberapa foto yang menampilkan kedekatan nya dengan Reigan di pusat perbelanjaan.

"Sampah" Reigan mencibir dan berlalu dari sana namun langkahnya terhenti ketika suara Reporter tersebut kembali terdengar

"—Perusakan terjadi pada Butik milik Desaigner muda tersebut, terlihat beberapa coretan dan pecahan kaca pada sisi bangunan, sejumlah petugas keamanan terlihat berada disekitar gedung untuk mengantisipasi terjadinya perusakan kembali oleh para penggemar Reigan Javier Briann dan Maximillian Giliano Arnault itu. Hingga ber—"

Laura memperhatikan kedua pria itu secara seksama, sebelumnya ia mengetahui berita tersebut dari artikel didunia maya yang kini telah menyeruak. Ia menatap Max yang berada disamping nya, menggenggam tangan pria tersebut. Jujur saja saat ini ia ikut khawatir dengan keadaan Zeline.

Tidak berapa lama suara bel pintu terdengar. Reigan melirik pada sudut layar kecil diruangan melihat siapa yang datang ketempatnya diwaktu yang tidak tepat.

"Zion" Max ikut menatap pada layar tersebut dan segera berlalu untuk membuka pintu.

***

Keesokan pagi nya Zeline terbangun dengan wajah dan mata sembab. Ia terbangun pagi - pagi sekali menuntaskan keperluan nya di toilet lantas kembali menuju tempat tidur dengan wajah bingung. Apa ia bermimpi buruk semalam pikirnya?

Zeline termenung dan terduduk lama di ranjang Reigan hingga pemilik kamar tersebut datang membawakan sarapan untuk nya. Wanita itu memiringkan kepalanya menatap pria tersebut, ciri khas Zeline ketika ia memikirkan sesuatu.

"Mengapa kau membawakan sarapan ku?" Pria itu duduk disisi ranjang, mendekat pada Zeline. Tidak lama kemudian Max datang bersama Laura ikut berkumpul bersama.

"Good morning Jelly" Max menyapa, Laura yang berdiri disamping tunangan nya tersenyum dan melambaikan tangan.

"Apa kita akan sarapan disini?" Zeline masih terlihat bingung.

"Kau terlambat bangun Zeline, kami telah sarapan terlebih dahulu" Laura mulai bersuara.

Zeline menautkan kedua alisnya terlihat berfikir, ia melirik pada jam diatas nakas "Jam 10?"

"Kau baik - baik saja ?"

"Tid—tidak, aku hanya terkejut sudah melamun terlalu lama. Aku terbangun jam 5 pagi tadi" Reigan dan Max terlihat berpandangan.

"Mungkin karena mimpi buruk " tambahnya, Zeline menatap mereka satu per satu dan tersenyum.

"Kau bermimpi buruk ?"

"Tidak Reigan. Aku terbangun dengan mata sembab dan bengkak, kupikir aku bermimpi buruk dan menangis, lagipula aku tidak mengingat apa yang kuimpikan semalam"

"Makanlah. Kau jatuh tertidur semalam dan tidak memakan masakan yang sudah dibuat oleh Laura dan Max"

"Ap—" Max menahan lengan tunangan nya. Memberi kode untuk diam. Laura berhenti berbicara ketika pria itu memberikan pandangan untuk menyuruhnya tidak mengatakan apapun.

"Maafkan aku Laura, aku akan memakan masakan mu lain kali. Apa yang kau buat semalam ?" Laura tergagap bingung untuk menjawab.

"It—itu, ak—kami memasak shabu"

"Benarkah? Aku sungguh menyukai makanan itu " Zeline tersenyum meminta maaf, benar - benar terlihat menyesal. Laura terdiam seribu bahasa, ia sangat yakin Zeline mengetahui rencana makan malam mereka dan menu makanan yang mereka pilih.

Berbeda dengan dua pria didekatnya. Reigan dan Max kini paham, Zeline tidak mengingat apapun tentang kejadian semalam. Reigan harus menemui Geovano kembali untuk menanyakan kondisi tersebut dan membicarakan hal ini dengan Zion.

Fakta bahwa Zeline tidak sadar dengan tindakan yang hampir membuat wanita itu meregang nyawa kini membuat Reigan dan Max cemas.

**