webnovel

Winter's Tale

Menghabiskan waktu bersama dengan seseorang dalam waktu yang cukup lama tidak berarti kau mengenalnya. Mungkin selama ini yang kalian lakukan hanyalah sekedar basa - basi semata. Atau mungkin salah satu diantara kalian tidak sepenuhnya mempercayai satu sama lain dengan apa yang telah dan sedang dialaminya. Bagi Zeline hidup dengan membatasi diri adalah hal biasa untuknya, bahkan menjadi sebuah keharusan. Sedangkan bagi Reigan, menghabiskan waktu lebih dari setengah umurnya mengenali wanita itu nyatanya tidak bisa membuat Reigan memilikinya begitu saja. Setelah semua masalah yang terjadi nyatanya masih ada begitu banyak lembaran kosong yang tidak ia ketahui dan mengerti tentang Zeline.

Rzndaa7 · Urban
Not enough ratings
10 Chs

Chapter 4

Satu hari setelah acara Fashion Show nya digelar, Zeline menenang kan diri dengan pergi berkeliling kota tanpa tujuan yang jelas. Setelah pertemuan nya dengan Maximillian, ia terpaksa melarikan dirinya menuju rumah sakit karena kepala nya yang berdenyut hebat, Zeline tidak memberitau kan siapa pun perihal hal tersebut, ia tidak ingin salah satu diantara keluarga nya membawa nya kembali menuju ke beberapa kelas therapy.

Tiap dua jam sekali ponsel nya akan berbunyi, Zac mencemaskan adik perempuan nya yang mencoba berkelana seorang diri sekalipun di pusat Ibukota. Zeline hanya membalas nya dengan mengirimkan lokasi dimana ia tengah berada tanpa berniat berbicara atau mengangkat panggilan masuk dari pria tersebut. Hari mulai terlihat petang, warna jingga hampir menutupi langit luas, ia memilih untuk mencari tempat bersantai dan mengistirahatkan tangan dan kaki nya setelah seharian berkendara.

Pilihan Zeline jatuh pada sebuah Restaurant berlantai dua yang terlihat nyaman. Ia melepaskan cardigan yang dipakai sebelumnya, lantas turun dari mobil. Udara yang menerpa nya masih terbilang hangat namun ia bersyukur Matahari sudah tidak terlihat terik.

Dress diatas lutut berwarna khaki tanpa lengan yang dipakai nya sedikit melayang terbawa angin. Ia segera masuk dan disambut seorang pelayan yang akan mengantar nya kesebuah meja.

Zeline memilih lantai dua untuk tempat nya beristirahat. Wanita itu memilih untuk duduk didekat jendala besar yang menghadap langsung pada jalan raya, bahkan mobil nya yang terparkir pun terlihat jelas. Ia hanya memesan minuman dan sepotong cheese cake, lantas mengambil tab miliknya dari dalam tas untuk melihat kembali beberapa desaign yang akan dibuat.

Beberapa pasang mata mencuri pandang padanya namun Zeline tidak menyadari hal itu. Disisi lain Restaurant beberapa pria tengah berkumpul membahas kerjasama bisnis yang akan mereka mulai dalam waktu dekat. Kontrak kesepakatan telah dibuat dan masing - masing pihak menyetujui isi perjanjian yang ada.

"I'll see you soon Reigan"

"See you soon" kedua pria tersebut saling berjabat tangan, beberapa diantara mereka mulai beranjak dari tempatnya meninggalkan seorang yang tetap setia pada posisinya.

Reigan kembali duduk, pandangan nya beralih kepada seorang wanita yang larut pada tab dalam genggaman nya. Ia menyadari kehadiran wanita itu sejak awal namun lebih memilih untuk diam.

Pria itu tak lagi terkejut bertemu dengan Zeline, ia menyadari bahwa apa yang ia lihat sebelumnya ketika berada di Rumah Sakit adalah benar. Ia tidak pernah salah mengenali wanita itu. Hampir dua belas tahun menghilang Reigan sejujur nya mengetahui dimana Zeline berada. Ia tidak akan mungkin melepaskan wanita itu begitu saja. Terlebih ia mengetahui jika wanita tersebut melakukan sesi Therapy pasca kejadian yang menimpa nya.

Cukup baginya dua belas tahun untuk kehilangan Zeline. Tidak akan ada lagi kejadian dimasa lalu yang terulang. Dan tidak akan ada lagi seorang pun yang akan membawa wanita itu keluar dari jangkauan nya.

Suara gaduh terdengar dari pengunjung yang tidak jauh berada dari Zeline. Seorang pria dan wanita terlihat bertengkar. Reigan tidak perduli dengan apa yang diributkan pasangan itu, pandangan nya fokus pada Zeline yang mulai tersadar dengan pertikaian didekat nya. Wanita itu terlihat lebih menundukkan wajah nya mencoba fokus pada apa yang sedang dikerjakan.

Reigan menahan diri untuk tidak menghampiri. Tiba - tiba saja suara pecahan terdengar membuat seluruh pengunjung mengalihkan pandangan pada pasangan tersebut termaksud Zeline. Ia terlihat menenang kan diri dengan meminum pesanan nya namun tidak berhasil. Tubuh wanita itu bergetar hebat hingga membuat minuman tersebut tumpah membasahi dress yang ia kenakan.

Suara tamparan dan teriakan tiba - tiba terdengar dari para pengunjung. Para pelayan mulai menengahi pasangan tersebut, sang wanita terlihat terluka pada bagian sudut bibir nya.

Zeline diam membisu, minuman yang dipegang nya benar - benar tumpah diatas dress nya. Reigan segera beranjak mulai menghampiri wanita tersebut, namun disaat yang bersamaan Zeline ikut berdiri berusaha meninggalkan tempat nya dengan tertatih.

Zeline berusaha meninggalkan tempat itu, namun tubuhnya terlalu lemas tidak mampu ia gerak kan. Ia berusaha untuk tidak jatuh ditempat tersebut, tidak ditempat umum seperti sekarang. Pandangan nya mulai berputar, keringat dingin mulai terlihat dan tubuhnya pun ikut bergetar hebat. Hampir saja ia terjatuh namun seseorang memegangi nya. Reigan segera menangkap tubuh Zeline yang hampir luruh kelantai tepat waktu.

"Zeline kau baik - baik saja ?" Reigan mulai memegangi tubuh Zeline dan menyadarkan nya

"Jang—an, Jangan Sentuh Ak—" Seketika Reigan bungkam. Ia tak lagi berbicara dan mengangkat tubuh Zeline ketika wanita tersebut hilang kesadaran, membawanya ke Rumah sakit dengan segera.

Beberapa perawat terkejut melihat pria itu dengan tampilan jas formal tidak pada umumnya, terlebih seorang wanita berada dalam rengkuhan nya, perawat yang bertugas pada Unit Gawat Darurat menghampiri dan bersiaga untuk membantu nya. Reigan hanya ingin memastikan wanita itu baik - baik saja. Zeline mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

"Perawat UGD berkata kau membutuhkan bantuan ku" Seorang Dokter muda terlihat menghampiri Reigan, pandangan nya beralih pada Zeline yang masih belum sadarkan diri

"Dimana kau menemukan pasien secant—whoah!!—baiklah apa yang terjadi ?" Dokter muda yang diketahui bernama Geovano itu menghentikan ucapan nya mendapati pandangan tidak suka yang ditujukan Reigan.

"Ruangan mu" pria itu berjalan terlebih dahulu, memberitau beberapa perawat untuk menjaga Zeline sekan itu adalah perintah mutlak. Geovano menghela nafas, merasa kebal dengan sikap Reigan yang selalu semaunya walaupun ia tidak bisa menampik jika memang Rumah Sakit ini milik pria arogan tersebut.

"Ia pingsan ketika mengalami PTSD" tanpa basa - basi Reigan menyatakan kondisi Zeline. Geovano kembali duduk dibangku kerjanya, memainkan pulpen yang berada diatas meja.

"Well, itu menunjukkan jika ia mengalami trauma yang cukup berat. Apa ia melakukan therapy?"

"12 Tahun"

"What ?!" Geovano kini terkejut dengan pernyataan tersebut "Apa kau tidak salah menghitung? Itu salah satu hal yang jarang sekali terjadi"

"Jelaskan saja secara garis besar" Reigan mulai geram, lagi - lagi Geovano menghela nafas.

"Bagaimana mungkin aku menjelaskan jika tidak mengetahui latar belakang nya bodoh!" ia ikut menahan kesal dengan sikap pria tampan dihadapan nya, namun itu tidak lama. Geovano paham bahwa Reigan hanya tidak ingin menceritakan tentang wanita tersebut.

"Aku tidak bisa membantu mu jika aku tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan wanita special mu itu"

Reigan menghela nafas pelan, "Ia pernah mengalami kekerasan fisik dan hampir menjadi korban pemerkosaan, keluarga nya membawa wanita itu ke Eropa untuk membuatnya kembali normal dan ia baru saja kembali"

Geovano terlihat beberapa kali mengangguk kan kepalanya, ia membuka beberapa file dari komputer nya dan memperlihatkan nya pada Reigan yang duduk dihadapan nya "Aku tidak akan menjelaskan apa itu PTSD, kau pasti pernah mempelajarinya—"

"—Sejatinya, sebuah memori tak akan pernah benar-benar terlupakan. Sesekali suatu hal akan dengan mudahnya memicu memori lama untuk kembali terngiang, meskipun pasien sudah tak lagi mengingatnya untuk waktu yang sangat lama. Hal ini pun berlaku untuk memori yang ternyata merupakan sebuah trauma masa lalu, termaksud yang kini dialami oleh Zeline" Pria dihadapan nya mengangguk tanda mengerti dengan penjelasan tersebut

"Berdasar pada bukti peristiwa, memang melupakan adalah salah satu dari jenis terapi PTSD, namun bukan satu-satunya. Terapi PTSD masih dapat dilakukan dengan memahami apa yang dirasakan tubuh. Pada sebuah kasus, seorang pasien hanya mampu mengingat saat dia dikurung dalam suatu ruangan gelap dalam waktu yang lama, tanpa dapat mengingat kelanjutan dari kisah tersebut. Namun ternyata tubuhnya masih dapat merasakan teror yang ia alami pada waktu itu. Dengan mengkombinasikan 2 hal ini, terapi pun dapat dijalankan"

"Mungkin kah benar - benar bisa kembali pulih ?"

"Gangguan mental seperti PTSD mungkin memang tak dapat disembuhkan secara total, namun tak berarti PTSD tak dapat ditangani. Beberapa penelitian juga telah berhasil menemukan bagaimana penanganan bagi pasien PTSD—"

"—Tujuan dari penanganan ini adalah untuk mengurangi gejala emosi dan gejala fisik yang timbul, serta membantu pasien mengatasi setiap kali pemicu trauma tersebut muncul, seperti melalui pemberian obat antidepresi dan sesekali obat tekanan darah pada gejala tertentu. Penanganan juga bisa dilakukan dengan psikoterapi.

Membutuhkan waktu dalam menangani PTSD karena prosesnya yang berkelanjutan. Namun penelitian masih terus dilakukan untuk menemukan penanganan yang semakin baru dan semakin baik lagi. Meskipun penanganannya juga telah mampu mengurangi beberapa gejala, penanganan lebih cepat akan mencegah semakin banyaknya gejala yang muncul"

"Bagimana jika terjadi kesalahan dalam proses Therapy? Apa itu mungkin?"

"Mungkin, ada beberapa hal yang memang harus diperhatikan ketika proses tersebut. Tunggu—bukan kah kau berkata bahwa ia melakukan pengobatan di Eropa?" Reigan hanya mengangguk

"Sendiri? maksud ku apa ia bersama dengan keluarganya?"

"Bukan dengan keluarga inti. Zeline masuk kesebuah fasilitas therapy khusus. Setelah dinyatakan sembuh ia keluar untuk kembali bersekolah dan tinggal bersama teman satu apartment nya"

"Kurasa ada yang aneh disini— maksudku jika memang ia masuk kesebuah fasilitas therapy khusus dan dinyatakan sembuh rasanya janggal mengetahui ia jatuh pingsan setelah mengalami PTSD kembali. Kau tau betapa maju nya pengobatan disana bukan" Reigan nampak setuju, tidak mungkin pengobatan Zeline memakan waktu selama itu bahkan dengan hasil yang bisa dikatakan nol persen dari kondisi sembuh.

"Ku pikir ada baiknya untuk melakukan tes ulang, kau bisa menjelaskan itu pada keluarganya agar mengetahui kondisi sebenarnya yang tengah dialami Zeline" Mungkin hal pertama yang akan dilakukan nya ketika bertemu dengan keluarga Zeline adalah menghajar mereka semua, ia akan berteriak dan menuntut hal bodoh apa yang selama ini telah mereka lakukan pada wanita yang dicintainya.

Suara intercom terdengar, Geovano mengangkat panggilan tersebut dan menggerak kan bibir nya memberi tanda pada Reigan bahwa Zeline telah sadar. Pria itu segera beranjak dan meminta sambungan intercom tersebut dialihkan padanya.

"Sampai kan pada nya bahwa ia pingsan dan seseorang membawa nya ke rumah sakit. Jangan ada satu pun yang memberi tau bahwa aku yang membawanya" Ini bukan saat yang tepat untuk bertemu dengan Zeline, Reigan harus memastikan terlebih dahulu bahwa kondisi wanita itu baik - baik saja dan bisa berhadapan langsung dengan nya tanpa rasa takut dan memunculkan trauma.

Geovano mengangkat sebelah alisnya, menemukan hal menarik dari sisi Arogant seorang Reigan "Apa kau sedang bermain drama seperti cerita pengagum rahasia diluaran sana heh?" ia mendengus geli. Pria itu tidak menjawab nya dan segera berlalu dari ruangan tersebut.

"Your Welcome Man!" Geovano berseru jengkel melihat kepergian Dokter Bedah itu.

***

Satu minggu pasca pertemuan nya dengan Zeline, Max mengunci diri nya rapat - rapat dari siapapun. Ia tidak kembali menuju penthouse milik Reigan, menolak semua ajakan bertemu dan semua komunikasi dari ponsel pribadinya, bahkan ia sukses membuat Laura murka karena mengabaikan wanita itu selama satu minggu full.

Disaat yang bersamaan Laura dan Reigan tiba di pelataran parkir BriArnault inc, hal yang sangat jarang sekali terjadi mengingat Reigan lebih memilih menghabiskan waktunya di Rumah sakit dibanding Perusahaan pribadinya.

"Seingat ku BriArnault memberikan waktu istirahat pada karyawan nya tepat di jam 12 dan kau sudah berada disini jam 10 pagi" Laura memutar bola matanya, berjalan bersisian dengan Reigan menuju loby utama perusahaan

"Ada hal penting yang harus kuselesaikan lebih dari sekedar makan siang bersama Mr.President" Reigan mengangkat sudut bibir nya sedikit mendengar tanggapan wanita disampingnya.

"Apa Max menghubungi mu ?" ia menggeleng, cukup aneh mengingat pria tersebut selalu mengganggu setidaknya 3x sehari layaknya resep obat. Untuk pertama kalinya dalam waktu 1 minggu Reigan mendapatkan waktu tenang nya.

"Ada sesuatu yang terjadi" Laura bergumam lirih.

Ya, ada sesuatu yang terjadi dan Reigan menyadari hal itu. Mereka menuju lantai 46 dimana Max bersembunyi selama satu minggu ini. Meja sekretaris di depan ruang pria tersebut nampak kosong, Laura segera membuka satu - satunya pintu ganda di lantai tersebut sedikit keras, Reigan menyusul dibelakang nya.

Max tidak berada ditempat nya, meja kerja pria itu kosong. Laura menatap sebuah pintu lain diruangan tersebut namun pandangan nya terlebih dahulu meminta persetujuan pada Reigan. Jujur saja jika wanita itu tidak pernah masuk kesana, Max tidak pernah mengajak nya untuk masuk keruang pribadi tempat dimana pria itu beristirahat. Reigan mengangguk pelan dan mengikuti Laura kembali.

Ruangan tersebut terlihat seperti ruang istirahat pada umum nya, ada sebuah tempat tidur di tengah ruangan, beberapa sofa panjang , dan wardrobe kecil berisikan beberapa kemeja dan juga jas, Max selalu menggunakan ruangan itu ketika pekerjaan nya mengharuskan ia untuk menghabiskan waktu seharian di perusahaan.

Laura tidak menemukan sosok yang dicarinya ditempat tidur, ia memperhatikan jemari Reigan yang menunjuk pada arah sofa menandakan jika sahabatnya berada disana, tengah tertidur. Lengan kirinya menutupi wajah dan lengan kanan pria itu memeluk sebuah figura, Laura mendekat, mengelus pelan rambut pria tersebut dan beralih untuk perlahan menarik figura yang berada dalam rengkuhan kekasih nya.

"Zeline.." gumam nya lirih. Lagi - lagi wanita itu sukses mengambil alih perhatian tunangan nya. Laura tersenyum kecut, ia berbalik dan memperlihatkan foto itu pada Reigan yang masih setia berdiri diambang pintu.

Untuk sesaat Reigan terlihat tertegun, ia memutuskan mendekat dan meraih foto tersebut. Sebuah kolase foto tiga orang remaja.

Di foto pertama bagian atas frame, 2 orang remaja laki - laki tersenyum lebar menggunakan kostum basket terkenal LA Lakers, ditengah - tengah mereka seorang perempuan menggunakan rok flare kuning diatas lutut dan kaos yang serupa terlihat cantik dengan ekspresi wajah yang gembira. Remaja perempuan itu merangkul kedua lengan pria disamping kiri dan kanan nya.

Dibawah foto tersebut, foto dari sisi lain terlihat. Angka 18, 07, dan 11 tercetak dibagian punggung pakaian mereka, sebuah embroider dengan nama Reigan, Zeline, dan Maximillian terukir diatas angka tersebut.

Ia kembali mengingat saat ketika mereka masih berkumpul bersama, ketika Zeline nya masih baik baik saja. Nyata nya masa itu telah lama berlalu dan Reigan merindukan nya.

Berbeda dengan Laura, wanita itu mendengus tidak percaya dengan apa yang dilihat nya, kini ia baru menyadari bahwa seluruh ruangan itu penuh berisikan foto mereka bertiga, dengan kenangan Zeline didalam nya. Tanpa ada satupun foto nya atau pun foto disaat dirinya bersama Maximillian.

Ia mendekat pada salah satu frame foto disisi ruangan yang tergantung dengan ukuran paling besar dan berdiri menerawang sesuatu menatap wajah itu. Wajah close up Zeline yang diambil dari sisi samping dengan filter hitam putih tercetak disana.

"Aku ingin mengingatkan satu hal" suara Reigan terdengar lebih dingin dari sebelumnya membuat Laura berbalik dan mendapati pria itu menatapnya dengan aura yang entah mengapa terasa menakutkan.

"Jangan pernah berfikir untuk menyakiti Zeline, bahkan untuk menyentuhnya"

"Wanita mana yang tid—"

"—Max tidak akan segan - segan membuang mu jika mengetahui bahwa kau berusaha menyakiti nya. Ia bahkan tidak peduli dengan pernikan kalian jika itu terjadi" Reigan memotong ucapan nya dengan pernyataan yang membuat Laura mematung ditempat.

"Dan aku—bahkan mampu menyingkirkan mu tanpa harus berpikir dua kali" Reigan tidak memutus kontak matanya pada Laura, pandangan itu benar - benar menakut kan. Ia bahkan tidak mampu untuk berucap sekarang.

Pria itu menaruh frame ditangan nya pada sebuah meja kecil didekat sofa, lantas beranjak menuju pintu keluar. Namun langkah itu terhenti dan berbalik menatap kembali pada Laura yang masih mematung ditempatnya.

"Kau bisa mengambil sebuah kertas yang diselipkan Max dibalik frame itu"

"Kertas?"

Reigan terlihat mengangkat sebelah sudut bibir nya, seakan merendahkan Laura "Kertas berisikan daftar wanita yang ia campakkan karena berurusan dengan Zeline" dan Reigan pergi.

Meninggalkan Laura yang mematung ketakutan dan sejuta pertanyaan yang bersarang dikepalanya.

**