webnovel

Winter's Tale

Menghabiskan waktu bersama dengan seseorang dalam waktu yang cukup lama tidak berarti kau mengenalnya. Mungkin selama ini yang kalian lakukan hanyalah sekedar basa - basi semata. Atau mungkin salah satu diantara kalian tidak sepenuhnya mempercayai satu sama lain dengan apa yang telah dan sedang dialaminya. Bagi Zeline hidup dengan membatasi diri adalah hal biasa untuknya, bahkan menjadi sebuah keharusan. Sedangkan bagi Reigan, menghabiskan waktu lebih dari setengah umurnya mengenali wanita itu nyatanya tidak bisa membuat Reigan memilikinya begitu saja. Setelah semua masalah yang terjadi nyatanya masih ada begitu banyak lembaran kosong yang tidak ia ketahui dan mengerti tentang Zeline.

Rzndaa7 · Urban
Not enough ratings
10 Chs

Chapter 1

Satu - satu nya hal yang paling tidak disukai oleh seorang Reigan Javier Briann adalah ketika Maximillian bertingkah menyebalkan dan mengganggu segala aktifitas yang sudah disusun nya dengan matang. Pria itu bahkan berhasil mengalahkan ibu dan juga kakak perempuan nya yang memiliki predikat paling cerewet sepanjang eksistensi hidupnya.

Wajah nya yang mempesona kini terlihat menakutkan walaupun kaum hawa masih akan setuju untuk tetap memuja ketampanan nya. Lantai dasar yang merupakan Lobby utama dari salah satu gedung pencakar langit di Sydney itu kini sedikit teralihkan fokus atas kehadiran pemilik utama perusahaan tersebut, Reigan baru saja mendarat dari New Jersey ketika ponsel pintar nya berbunyi tidak henti menampilkan nama Maximillian yang terus mengganggu nya.

Pria itu tidak memiliki rencana untuk hadir ke tempat ini, Reigan sudah memiliki jadwal untuk melakukan Operasi Bedah Jantung pada salah satu pasien nya. Tangan nya menekan angka 46 pada tombol lift khusus dimana Maximillian tengah menunggunya. Beberapa karyawan pun sedikit berbisik melihat kehadiran Reigan yang jarang sekali terjadi ditempat itu.

Pintu ganda berwarna hitam dilantai tersebut terbuka secara kasar. Seorang pria dengan kemeja berwarna maroon duduk dibelakang meja kerja nya hanya menggeleng pelan lantas tersenyum menyambut kedatangan sahabatnya dengan pandangan meminta maaf yang dibuat - buat.

"Apa kau kira ini Amerika ?!" Reigan membentak kasar, membanting tubuh dan tas nya pada salah satu sofa diruangan tersebut. Maximillian tertawa ditempatnya dan segera beranjak menghampiri sahabat baiknya itu mengambil tempat untuk duduk dihadapan Reigan dengan membawa beberapa berkas.

"Kau benar - benar Jetlag rupanya, bagaimana mungkin kau bisa mengikuti ucapan ku untuk datang dalam waktu 15 menit" Reigan tidak lagi peduli, ia menutup wajah dengan sebelah tangan nya, tidak ingin berdebat lebih lanjut dengan Max.

"Aku sudah memastikan beberapa kerjasama yang akan kita mulai bulan depan. Hanya saja untuk proyek di New Zeland pihak Investor meminta blue print langsung darimu. Ada beberap—"

"Kau menyuruhku datang dalam waktu 15 menit hanya untuk dokumen dan tanda tangan berkas sialan ini ?" Reigan menegak kan tubuhnya, menatap Maximillian tajam

"Jika kau lupa, aku memiliki 45% kepemilikan Perusahaan dan kau memiliki 55% dari sisanya, dan itu berarti kau adalah pemutusnya. Astaga, jika kau memiliki jadwal praktek setelah ini kusarankan untuk membatalkan nya. Pasien mu tidak akan selamat" pria itu menggeleng membayangkan korban Reigan berikutnya

Max benar, Reigan memiliki hak terbesar sebagai penentu berjalan nya semua kerjasama diperusahaan tersebut. BriArnault Inc, perusahaan raksasa yang dipimpin oleh nya dan juga Maximillian sukses mencetak nama di dunia International. Kedua pria tersebut adalah generasi kedua setelah sebelumnya kepemimpinan dipegang oleh Orang tua mereka. Reigan dan Maximillian berhasil mengembangkan sayap perusahaan mereka di berbagai benua dengan memasuki semua lini bisnis yang tersedia.

Sayangnya, Reigan tidak bersedia terjun langsung pada perusahaan tersebut. Dengan gelar dokter yang diambilnya ia lebih memilih menghabiskan waktu di rumah sakit dan menyelamatkan nyawa para pasien dibanding memperhatikan diagram saham yang tiap detik berputar. Esther yang seharusnya menjadi pewaris utama perusahaan tersebut lebih memilih menjalani kehidupan tenang nan damai di Swedia bersama dengan keluarga kecil dan juga ibunya, Reigan tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk berdebat dengan kakak perempuan nya itu ditambah ibunya yang ia yakin tidak akan berpihak padanya.

Beruntung Maximillian bersamanya, Reigan percaya pria itu mampu menjalankan perusahaan tanpa harus selalu ada campur tangan darinya. Satu - satunya hal yang paling ingin ia lakukan adalah membedah kepala Maximillian jika pria itu berlaku semena - mena dengan menginterupsi semua jadwal praktek nya seperti sekarang.

"Kau sudah membuat keputusan Final ?" Reigan mengangguk mantap, kini ia benar - benar fokus dengan beberapa berkas dihadapan nya, membaca beberapa point yang tersedia.

"Aku belum membicarakan masalah ini dengan Laura "

"Fokus saja dengan rencana kalian, aku jauh lebih senang jika kau dan Laura tetap tinggal disini dibanding ikut pindah bersama ku ke New Jersey"

"Hahaha, Oh Man! aku bahkan muak menghabiskan waktu dengan mu"

"Salahkan saja takdir" dan Maximillian sukses tertawa dengan keras ditempatnya. Menghabiskan waktu bersama semenjak kecil hingga beranjak dewasa membuat mereka terlihat seperti saudara. Beberapa orang yang mengenal mereka bahkan tidak habis pikir bagaimana kedua pria tersebut rukun dengan latar belakang sifat yang sungguh jauh berbeda.

Maximillian dengan pembawaan nya yang ramah dan easy going, berbanding terbalik dengan Reigan yang minim senyum dan sulit bicara. Namun mereka adalah paket lengkap bagi para hawa untuk berfantasi dan bermimpi setinggi - tinggi nya, tidak ada yang mampu menolak pesona kedua pria tersebut.

"Aku akan mengirimkan format ulang laporan pembangunan Hotel tersebut, pastikan saja pada beberapa investor yang sudah ada untuk mengadakan rapat final" Maximillian mengangguk paham, ia ikut beranjak ketika Reigan tengah bersiap untuk pergi dari tempatnya.

"Siapa lagi yang akan menjadi korban iblis mu itu?"

"Just a little girl, jantung bawaan"

"Semoga Tuhan menjaganya" Reigan melirik sinis pada sahabat nya itu.

"Kabari aku jika kau kembali ke Penthouse" mereka berjalan bersisian menuju lift utama

"Entah lah, Laura mengajak ku menghadiri acara fashion show malam ini"

"Ia berubah menjadi feminin huh ?"

Maximillian mendengus geli mendengarnya "Aku pun muak melihat nya dengan kaos dan juga celana jeans"

"Aku senang ia bahagia bersama mu" Reigan melangkah masuk kedalam lift, meninggalkan Maximillian yang berhenti ditempatnya.

"Aku juga senang ia tidak bahagia bersama mu" pria itu tersenyum mengejek memperlihatkan deretan giginya.

"Menjijik kan" dan Reigan menutup pintu besi tersebut.

****

Gadis kecil berusia 6 tahun itu masih terlihat damai dibangsal miliknya, seorang pria duduk didekat bangsal itu sambil menggenggam tangan mungil yang di tusuk beberapa selang infus untuk menopang segala nutrisi dan antibiotik agar terserap masuk kedalam tubuhnya.

Namanya Friday, gadis kecil yang terlahir dihari jumat itu memiliki nama unik sesuai dengan hari dimana ia dilahirkan, ia memiliki kondisi jantung kongenital dan baru saja selesai melakukan pembedahan. Friday adalah salah satu pasien bedah yang mecuri perhatian Reigan. Gadis kecil ini berhasil memarahi nya hanya karena Reigan terlihat jarang tersenyum ketika melakukan pemeriksaan.

"Dokter.." seorang perawat menyadarkan nya untuk segera berlalu dari sana, memberikan Friday waktu untuk istirahat dengan leluasa. Ia menyelipkan sebuah Lolipop berukuran besar pada tangan mungil tersebut dengan sebuah note pada plastik pembungkusnya

"Get Well Soon"

-Reigan-

Jarum jam pada pergelangan tangan nya sudah menunjuk ke angka 10 malam lebih 12 menit. Pria itu berlalu menuju keruangan nya dan bersiap untuk pulang, beberapa perawat terlihat menyapa dan sedikit menunduk ketika berpapasan dengan nya hal itu juga diikuti oleh beberapa pengunjung yang mencuri pandang pada pria tersebut.

Matanya yang fokus menatap kedepan kini teralihkan oleh sosok wanita yang tengah berjalan tergesa - gesa kearah sebuah lift dari arah yang berlawanan sambil terfokus pada ponsel ditangan nya. Jarak mereka terbilang cukup jauh, namun Reigan masih bisa dengan jelas melihat nya. Koreksi, Reigan masih bisa dengan jelas mengenali nya.

Wanita itu menggunakan sebuah cardigan berwarna hitam sebatas lututnya, sebuah dress panjang berwarna salem yang menutup hingga mata kakinya menandakan bahwa ia baru saja menghadiri sebuah acara, rambutnya yang panjang sebatas punggung jatuh terurai tidak lupa sebuah masker hitam yang menutup sebagian wajahnya. Reigan terhenti ditempatnya masih memperhatikan wanita tersebut namun tidak mampu untuk bergerak. Lift itu terbuka, beberapa pengunjung keluar dari sana, dan wanita itu masuk seorang diri, ia berbalik lantas mengangkat wajah nya.

Reigan segera berlari kencang menerobos beberapa pengunjung dan perawat untuk mencapai lift tersebut, namun tentu saja tidak berhasil. Ia beralih menuju lift lain untuk segera turun ke lantai dasar, namun sampainya disana wanita itu telah menghilang, Reigan kehilangan jejaknya.

"Damn!" ia mengumpat kesal, mengacak rambutnya

Ia sungguh yakin dengan apa yang dilihatnya, tidak mungkin ia salah mengenali wanita itu. Satu - satunya wanita yang sukses memberikan hukuman mati padanya. Reigan menarik nafas pelan dan membuangnya, sungguh ia berharap apa yang dilihatnya nyata, jika operasi bedah saja mampu ia lakukan dalam kondisi jetlag apalagi mengenali seorang wanita yang teramat mengusik kehidupan nya.

Reigan memutuskan kembali menuju kediaman nya setelah merenung terlalu lama diruang prakteknya. Suasana gelap gulita menyambut pria tersebut menandakan Max belum kembali atau mungkin tidak kembali malam ini. Jam menunjukan dini hari, namun langkah kakinya terhenti diruang tengah ketika ia ingin mencapai kamarnya, siluet tubuh seseorang yang berada disudut ruangan membuatnya bersiaga.

"Max?" ia memastikan, tidak lama sebuah suara terdengar sebagai jawaban membuat Reigan sedikit bernafas lega. Pria itu tidak ingin ambil pusing dengan apa yang sedang Max lakukan disudut ruangan dengan menatap pemandangan ibukota diluar sana, ia berlalu menuju kamarnya.

Maximillian Giliano Arnault, pria yang dikenal murah senyum itu terlihat mengetatkan rahangnya, kedua tangan nya mengepal dikedua sisi. Sungguh jelas terlihat bahwa pria itu tengah menahan amarahnya, sesuatu yang jarang sekali dilihat oleh banyak orang. Pria itu tidak bisa percaya dengan apa yang dilihat dan dilaluinya.

Wajah cantik dengan pandangan sayu itu masih terekam jelas diingatan nya, suara lembut yang hampir 12 tahun menghilang dari pendengaran nya kini kembali ia dengar. Tidak, satu - satu nya hal yang membuatnya murka adalah bagaimana wanita itu menatap takut padanya meskipun sudah ditutupi dengan berbagai macam cara.

Terkutuk lah mereka yang membawa jauh wanita itu dari hidupnya. Maximillian mencoba mengerti ketika wanita itu hilang begitu saja dari hadapan nya, ia kembali mengingat bagaimana ia bertengkar hebat dengan Reigan untuk pertama kalinya karena kehilangan wanita itu. Semua kembali untuk kebaikan wanita cantik itu, agar wanita itu baik - baik saja, kembali seperti sedia kala sebagaimana ia mengenalnya. Namun apa yang ia temui hari ini justru berbeda, Therapy wanita itu gagal. Perawatan yang mereka lakukan selama 12 tahun ini hanyalah sia - sia.

Maximillian membayangkan bagaimana jika bukan ia yang bertemu hari ini. Bagaimana jika itu Reigan?

Ia sangat yakin Reigan bahkan akan murka dengan semua pihak yang membawa wanita itu untuk mengasingkan diri. Atau mungkin pria itu akan kabur bersama agar tidak dipisahkan lagi, tidak ada yang tidak mungkin bagi Reigan jika menyangkut wanita itu. Dan Maximillian mungkin akan setuju kali ini jika Reigan nekat mengambil langkah extreme jika menyangkut wanita itu.

"Apa kau bahagia ?"

Max menahan tangan itu, menggenggam nya untuk tidak pergi. Wanita itu tidak menjawab, dengan tangan bergetar dan kepala menunduk wanita itu tidak berkutik ditempatnya.

"Max aku ha—"

"Zeline Edrea Kyra! Aku bertanya apa kau bahagia?!" Max membentak wanita itu,

"Dua belas tahun aku diasingkan dan kau menanyakan kebahagian ku?! Apa kau pantas menanyakan hal itu?!" Zeline berteriak marah bersamaan dengan air mata yang sudah bersusah payah ditahan nya.

Air mata dan raut ketakutan itu masih terus berputar ulang bagaikan kaset rusak dikepalanya. Ada sesuatu yang salah, Maximillian sangat yakin Zeline bahkan tidak sadar dengan keadaan nya, seseorang sedang mencoba menulis ulang memori wanita itu.

"Kalian tengah mencoba membangunkan iblis " gumamnya dengan tangan mengepal