1 PERTEMUAN TANPA RENCANA

"Untuk apa kamu melakukannya?" tanya Windy.

"Menyamakan persepsi!" jawab Naura, mantap.

"Ya tapi buat apa mahasiswi fakultas ushuluddin membeli buku ekonomi? Masih banyak buku yang harus dibeli untuk semester ini"

"Win, dengerin aku. Ada Chemistry antara ushuluddin dan ekonomi." Naura tampak memfasihkan pronounciation dari chemistry. Ludahnya bahkan membasahi lantai toko.

"Chemist itu artinya kimia, Naura."

"Udah deh win, kamu gak akan ngerti kalo belum pernah ngerasain. Orang bilang, kalo kamu menikahi seseorang, artinya kamu juga harus menikahi keluarganya. Tapi bagiku, kalo kamu menikahi seseorang, kamu juga harus menikahi pemikirannya."

"Emang gini ya anak filsafat? Jatuh cinta aja mikirnya mendalaaaam banget. Kamu pikir kamu siapa? Al-Ghazali? Ibnu Rusyd? Atau Socrates?" windy mulai memahami kalau sahabatnya itu sedang jatuh cinta.

"Tentu saja. Kalau memungkinkan, nanti kita buat jurusan AFEI"

"AFEI?"

"ya, AFEI. Aqidah Filsafat Ekonomi Islam" Windy tertawa terbahak-bahak. Memangnya ada jurusan seperti itu? memangnya siapa yang mau jadi mahasiswanya, siapa juga yang mau jadi dosennya? Sungguh, cinta itu memang irasional. Dan membuat sesuatu yang rasional, menjadi tidak masuk akal.

Jemari naura menyapu lautan buku yang yang berbaris diantara sempitnya rak. Mengamati setiap judul yang tertera. Akhirnya dia menemukannnya, buku dengan kulit senada dengan jeruk itu kini ada di genggamannya. Judulnya adalah Mendaki Tangga Yang Salah. Naura tidak tahu apa istimewanya buku itu. dan seberapa hebat pelajaran yang ditawarkan. Namun dia mengetahui satu hal yang pasti. Kak fadli, senat fakultas ekonomi itu, juga membaca buku ini.

"Windy?" langkah Naura tiba-tiba terhenti. Pandangannya lurus menembus beberapa orang yang kurus. Maksudnya, beberapa orang yang lalu lalang. Ekspresi mukanya terlalu abstrak, lebih abstrak dari rumus matematika. Tidak bisa dijelaskan, bahkan dosen terbaik duniapun akan kesulitan menjelaskannya.

"Lihat apa sih Na?" tanya Windy sambil membetulkan kerudungnya.

"Itu" Naura mengangkat lengan kanannya hingga sejajar dengan bahu. Ia meluruskan jari telunjuknya, tepat pada penjaga kasir.

"Wah, daebak! Buku ini emang lagi nge-tren kali ya? Sampai-sampai ketua BEM kita juga baca pas lagi kerja"

"Ketua BEM? Kerja? Maksudmu Fahmi?"

"Iya, dia kerja disini kalo lagi ga kuliah. Tapi normal sih, kalo dia yang baca, dia kan anak ekonomi. eh, bentar"

"Kenapa?"

"Kamu ingin menyamakan persepsi dengan seseorang yang punya dan baca buku ini. Sekarang, yang punya dan baca buku ini adalah Fahmi. Jangan bilang kamu jatuh cinta sama Fahmi?"

"Ah.. yang benar saja. Aku bukan jatuh cinta sama ketua BEM. Aku jatuh cinta sama senat ekonomi.

"Maksudmu.." Windy menutup mulutnya, "Alfin?"

"Ih.. bukan alfin Windy.. maksudku, senat ekonomi tahun lalu. Inget gak?"

"Oalahh.. kak Fadli"

"Iya, dia lolos kualifikasi menantu ayahku. Pertama, dia sholeh"

"Apa buktinya?"

"Kamu gak peka ya? sama suara adzan di masjid kampus? Itu kak fadli banget. Dia, selalu ikut jamaah kalau lagi gak ada kelas, dia sering banget ngisi pengajiannya anak rohis.dia.."

"Udah udah. yang kedua?"

"Yang kedua, dia itu cerdas. IP nya selalu tertinggi di setiap semester. Denger-denger, dia itu aslinya angkatan kita, tapi dia pernah aksel pas SMA"

"Yang ketiga?"

"Kalau aku pernah lihat nabi Yusuf, pasti aku gak bisa bedain antara nabi Yusuf dan kak Fadli."

"Seganteng itukah kak fadli? Udah ayo, buruan bayar bukunya." Windy tak percaya betapa sahabatnya itu sedang di mabuk cinta.

***

"Assalamualaikum"

"Walaikumsalam Warahmtullahi Wabarakatuhu" Fahmi membuka wajahnya yang tertutup buku "Eh, Naura, windy, mau beli buku ya?"

"Kamu kenal sama kita?" Naura polos menimpali.

"Na, yang namanya ketua BEM, jangankan sama temen seangkatan, satu kampus, bahkan beda kampus juga dia banyak kenalan." Windy berbisik pada Naura, merasa dipermalukan sahabatnya.

"Ya mana aku tahu? Aku kan gak pernah punya temen cowok"

"Haha, santai aja kali. Emang seharusnya begitu perempuan. Membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Bicara seperlunya, apa adanya, dan langsung intinya."

"Tuh Win, dengerin pak ustadz" Naura merasa di atas genteng, karna dibela Fahmi.

"Aku juga tahunya dari pak Arif, beliau dosen pembimbingku"

"Hah? udah dapet judul aja!" windy tak percaya.

"Aku kerja di tempat ilmu bercengkrama. Jadi kenapa harus lama-lama?"

"Ayah belum cerita sih, tentang mahasiswa bimbingannya, tapi anggep aja beliau calon mertua kamu" Naura menasehati.

"Kalau ayahmu aku anggap sebagai calon mertuaku. Berarti boleh, aku anggap kamu sebagai calon istriku?"

"Eh.., bukan bukan, bukan itu maksudnya.(Naura terbahak) Ayahku itu dosen yang galak sama mahasiswa bimbingannya. Kaya calon mertua yang sensi sama calon menantunya, jadi, kamu harus baik-baikin ayah" Naura tidak ingin Fahmi salah faham.

"Oh.., ya aku mengerti. Ayah kamu suka makanan apa?"

"Pak Arif itu sukanya bakmi jawa, kaya Naura. Kalau jalan sama dia pasti makannya bakmi jawa." Windy berpartisipasi.

"Windy.." bikin malu aja ini orang.

"Ini, semuanya lima puluh ribu."

"Loh, bukannya sembilan puluh lima ribu?"

"Ini diskon khusus dari aku, karna aku juga suka bukunya"

"Wah, kebetulan banget, si Naura emang lagi bokek, tapi maksain diri buat nyamain persepsi"

"Nyamain persepsi?" tanya Fahmi penasaran

"Iya, dia lagi jatuh cinta sama.."

"Assalamualaikum" seseorang datang dan menjabat tangan Fahmi. Syukurlah, karna windy jadi terhenti berbicara tentang orang yang Naura suka, entah harus berapa rahasia lagi yang ingin dibongkar windy di depan Fahmi. Tapi tunggu, suara itu,seperti suara adzan kampus, kak Fadli?

"Loh, sebelum kamu pinjamkan buku itu ke saya, kamu belum selesai membaca?" tanya Fadli kepada Fahmi, karna melihat buku yang ia pinjam dari Fahmi, tergeletak di atas meja kasir.

"Sudah, tapi saya ingin memahaminya lagi."

"Wah, kalian berdua juga beli buku ini? Satu persepsi ya, sama Fahmi?"

"Engga kak, saya nggak beli, cuma nemenin, naura yang beli. Na? Kok jadi bengong? Bayar gih bukunya"

"Oh iya, ini, terimakasih. Kami ada kelas, assalamualaikum" Naura ingin buru-buru mengakhiri pertemuan konyol ini.

***

Naura terbaring di atas tempat tidur di kamarnya. Ia masih saja terngiang akan perkataan kak Fadli tadi pagi, di toko buku. "Loh, sebelum kamu pinjamkan buku itu ke saya, kamu belum selesai membaca?".

"Pinjamkan buku itu ke saya?" jadi kak Fadli cuma minjem? Pemilik aslinya Fahmi? Naura merasa gagal menikahi pemikiran kak Fadli. Ia merasa konyol, bagaimana bisa dia salah menikahi pemikiran? Sebenarnya apa buku yang benar-benar dibaca oleh kak Fadli? Dirinya jadi enggan membaca buku itu. apa diberikan saja ke ayah sebagai hadiah ulang tahun? Tidak, pasti ayah sudah punya banyak buku.

Ah, naura jadi enggan membacanya. Tapi, bukankah kak Fadli juga membaca buku itu? walaupun hanya meminjamnya, tapi dia punya pemikirannnya. Bismillah. Semoga cintaku ini karena Allah.. Naura teringat pesan ayah. "Manusia memang diberikan hak untuk jatuh cinta. Tapi manusia juga punya kewajiban untuk mencintai dengan cara yang benar, cara yang terhormat, cara yang dihalalkan islam."

Malam itu, naura membuka lembar pertama buku itu. sekaligus membuka lembar pertama kisah cintanya.

avataravatar
Next chapter