webnovel

9. Jangan Pergi

Satu minggu telah berlalu, terasa begitu singkat. Kini saatnya Ibu dan Alesha kembali lagi ke Perancis. Rasanya memang baru kemarin ibu pulang ke Indonesia. Namun mereka harus berpisah lagi untuk waktu yang tidak ditentukan.

Selama satu minggu itu dihabiskan dengan penuh kebahagiaan. Mereka berlibur bersama walaupun hanya berdiam di rumah, memasak bersama, dan berbelanja bersama. Hal itu sudah merubah kebiasaan Cherry yang hanya rebahan saja ketika di rumah dalam beberapa waktu. Keluar kamar jika ingin makan saja atau sedikit bosan, tetapi setelah itu dia akan kembali ke dalam kamarnya. Kini rasa sedih yang dimiliki Cherry juga perlahan menghilang, digantikan dengan kebahagiaan dan keceriaan keluarga nya itu.

Mereka masih membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang ke Perancis. Ada beberapa macam baju dan sepatu yang sudah dimasukkan ke dalam koper, namun sepertinya masih saja ada yang kurang. Memang pada dasar nya jika wanita pergi, pasti akan ribet seperti itu.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima belas tiga puluh tepat saat mereka masih berkemas, sekarang saatnya mengantar ibu dan Alesha ke bandara. Perjalanan dari rumah menuju bandara dapat ditempuh dalam waktu lima belas menit, dan pesawat yang ditumpangi ibu akan berangkat pukul enambelas tiga puluh.

"Haaah Ayah, sekarang tinggal kita berdua saja di rumah, kembali lagi ke kehidupan semula." Sedikit curahan hati Cherry kepada ayah dengan nada yang sedih. Meskipun Cherry bisa datang kapanpun dia mau ke Perancis, tetapi tetap saja, baginya setiap perpisahan itu selalu menyakitkan dan menyedihkan, terlebih lagi berpisah dengan keluarga. Itu akan membuat kadar rasa sakit nya bertambah.

Sejak hari itu, Cherry bertekad untuk tidak sedih dan berdamai kembali dengan masa lalu maupun dirinya. Dia telah menyadari bahwa luka akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu jika kita memaafkan, kuat menahan dan melupakan rasa sakit itu. Terlebih lagi dia dikelilingi oleh orang-orang yang sangat sayang padanya, selain Alvin. Perihal cinta dan kasih sayang dari orang lain, sekarang dia pasrahkan semuanya pada Tuhan. Membiarkan Tuhan memilihkan orang terbaik yang akan selalu mendampingi Cherry nantinya.

Berbagai kesibukan telah Cherry lakukan untuk melupakan semua kenangan pahit itu dari hidupnya. Jatuh dari harapan tinggi yang telah dibangun memang menyakitkan, namun yang lebih menyakitkan adalah ketika sudah jatuh tetapi enggan bangkit kembali, tidak mau merelakan dan mengikhlaskan apapun yang sudah terjadi karena ada yang namanya sudah terlanjur cinta. Kemudian merasa sebagai makhluk paling sengsara di muka bumi ini. Sungguh menyedihkan.

Satu bulan telah berlalu, namun Cherry masih jadi pengangguran di rumah. Dia hanya membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak perlu itu. Kesedihan yang dia rasakan perlahan mulai menghilang. Sepertinya dia sudah benar-benar bisa berdamai dengan masa lalunya.

Siang itu sedikit mendung, langit abu-abu yang membentang terlihat dari jendela kamar Cherry. Angin berhembus cukup kencang memasuki kamar itu. Udara dingin seperti ini membuat perut siapapun menjadi cepat lapar, begitupun Cherry. Dia tampak beranjak dari ranjangnya dan turun menuju ruang makan.

Di ruang tamu terlihat koper besar berwarna abu-abu. Dengan berbagai macam paper bag berwarna coklat muda dan putih juga berada disana. Cherry pun menghampirinya dengan rasa keingintahuan yang begitu tinggi. Sebenarnya apa ini?

"Bi Inah, ini koper siapa?" Cherry bertanya pada asisten rumah tangga nya itu. Namun tidak ada jawaban. Cherry keluar rumah mencari Bi Inah dan menanyakan semua barang itu milik siapa. Ternyata Bibi sedang menyapu halaman rumah. Setelah bertemu, dia mengulangi pertanyaannya beberapa saat lalu.

"Oh itu koper baru milik tuan. Katanya mau ke luar negeri urusan bisnis, Nona." Jadi, ayah akan pergi? Tapi tidak mengabari Cherry terlebih dahulu? Sungguh ayah ini kenapa.

"Kapan Ayah pergi Bi?" Pertanyaan itu malah membuat Bi Inah terkejut, dia tidak menyangka jika putri dari tuannya itu malah tidak diberi tau terlebih dahulu.

"Saya tidak tau, Nona. Makanan nya sudah saya siapkan di atas meja, silakan dimakan ya, Nona." Bi Inah kembali melakukan pekerjaannya yaitu menyapu halaman depan rumah majikannya. Meninggalkan Cherry yang melamun ditempat itu.

"Beep.. beep.."

Terdengar suara klakson mobil yang tidak asing ditelinga. Hal itupun menyadarkan Cherry dari lamunan dan benar memang tidak asing, itu adalah mobil sedan hitam pekat milik ayahnya. Cherry bergegas masuk ke ruang tamu, menunggu ayah yang sedang memarkirkan mobilnya di garasi.

"Ayah, ini semua milik siapa? Sebenarnya apa yang terjadi? Dan kenapa ayah tidak memberitahuku kalau mau ke luar negeri?" Baru saja ayahnya tiba, tetapi sudah dicecar pertanyaan dan sambut dengan wajah cemberut putrinya itu, namun malah membuatnya terlihat sedikit menggemaskan.

"Ayah mendadak harus pergi ke Switzerland hari ini, pesawatnya berangkat jam dua siang. Minggu depan ayah sudah sampai Jakarta, jadi jaga dirimu dengan baik. Ayah percaya bahwa kau bisa dan akan mengerti." Dengan berat hati, ayahnya mengatakan demikian, sebenarnya ayah tidak tega meninggalkan Cherry sendirian di rumah. Namun pekerjaan ini cukup penting karena juga meningkatkan kinerja perusahaan ayahnya.

"Kau, di rumah saja, urusan kantor ayah serahkan padamu ya. Nanti Pak Rian akan membantu mu disana. Ayo makanlah dulu!" Lanjut ayah dan meninggalkan Cherry, menuju ruang makan.

Cherry hanya terdiam, tidak membalas apapun yang dikatakan ayahnya, hanya mendengarkan. Seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan ayahnya itu. Kemudian dia menyusul ayah ke ruang makan.

Di meja makan itu hanya ada ayah dan Cherry. Mereka berdua hanya diam, tidak mengatakan apapun. Hanya terdengar suara piring yang beradu dengan sepasang sendok garpu. Hening.

Ayah beranjak dari ruang makan kemudian kembali lagi dengan membawa paper bag berlogo 'LV' dan diberikan pada putrinya. Suasana yang tadinya hening berubah menjadi haru. Cherry meraih paper bag itu dan menatap mata ayahnya yang mulai berkaca-kaca. Lalu ayah memeluk anak gadisnya itu dengan erat. Perlahan, Cherry mulai berlinang. Tak kuat menahan rasa sedihnya.

"Maafkan Ayah harus meninggalkan mu pergi lagi." Ayah berkata sembari mengusap rambut Cherry yang cokelat panjang nan lembut itu. Ketika melihat jam dinding ternyata sekarang sudah pukul satu lebih sepuluh menit. Cherry sadar ketika ayahnya sedang melihat jam dinding itu.

"Ayah tidak bersalah, tak perlu minta maaf. Cherry akan berusaha yang terbaik untuk kantor ayah." Anak itu mencoba menenangkan ayahnya dengan kalimat penenang itu disertai dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. Ayahnya cukup cemas dengan keadaannya saat ini. Ayah tetap merasa bersalah dan tidak rela melihat putri kesayangannya sedih untuk kesekian kali.

"Ayo kita keluar, sepertinya Pak Rusdi sudah menunggu Ayah di depan." Ajakan Cherry kepada ayahnya yang masih terdiam di ruang makan.

Di depan rumah sudah terparkir mobil sedan hitam pekat milik ayah dan Pak Rusdi sudah ada di dalamnya. Mereka berangkat menuju bandara sekarang.