1 Prolog

Empat tahun yang lalu ….

"Maafkan aku."

Hanya itu yang sanggup kukatakan. Ruangan itu berantakan. Meja dan kursi terbalik dengan posisi yang saling berjauhan. Pecahan botol bekas minuman keras berceceran di lantai.

Aku berdiri di sudut ruangan, mengamati kekacauan yang kubuat. Darah masih mengalir dari pelipisku. Mata kiriku berdenyut-denyut dan aku yakin besok pagi akan bengkak. Sudut bibirku yang robek terasa perih.

Di dekat meja yang terbalik, terdapat genangan darah. Ayah tiriku berbaring telentang di genangan tersebut, kaku tak bergerak. Matanya masih membelalak seolah terkejut. Mulutnya ternganga. Terdapat luka cukup besar di lehernya. Dari situlah darah tersebut berasal.

Aku hanya memandangnya dingin.

Aku sama sekali tak menyesali kematiannya. Aku justru bersyukur. Sudah bertahun-tahun dia menyiksaku. Aku hanya menyesal karena hari ini tidak datang lebih cepat.

Aku melangkah mendekati mayat ayah tiriku, kemudian berjongkok di sebelahnya. Tepat di tepi genangan darahnya. Tanpa bisa kutahan, ujung bibirku tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. Tak kuhiraukan rasa perih saat bagian yang robek tertarik.

"Ayah, apa kau sekarang menyesali perlakuan burukmu terhadapku dan Zola? Saat kau di ambang kematian tadi, apakah kau sempat berpikir, 'Oh, seharusnya aku bisa bersikap lebih baik pada dua jalang kecil itu.' Atau mungkin kau justru berharap membunuhku terlebih dulu?

"Aku tahu kau sangat ingin membunuhku dan adikku. Entah apa salahku dan adikku sehingga kau begitu membenci kami. Apa karena Ibu? Tidak pernahkah kau berpikir kalau kami tidak ada sangkut pautnya dengan wanita itu? Yaah, aku tahu kau pun sebenarnya menyadari hal itu, tetapi kau mengabaikannya. Kau memilih melampiaskan kebencianmu pada kami.

"Sekarang lihat apa jadinya. Apa kau menyesali keputusanmu karena sudah membesarkanku? Aku yakin kau tadi sempat berpikir, 'Seharusnya aku menjualnya ke Rumah Merah sejak dulu.'"

Aku terdiam. Samar-samar, aku mendengar suara sirine polisi dan lama-lama terdengar semakin jelas. Aku menghela tubuhku dan bangkit.

"Kau dengar, Ayah? Polisi sudah datang. Aku sungguh menyesal karena kau mati terlalu cepat. Kau seharusnya menderita jauh lebih lama—mati dengan sangat perlahan, tapi Tuhan masih berbelas kasih, bahkan pada seorang bajingan sepertimu. Kuharap Dia menyiksa dirimu di nerakanya. Kau tak perlu mengkhawatirkanku, Ayah. Dan aku yakin kau memang tidak pernah mengkhawatirkanku. Tuhan Maha Pengampun. Dia pasti mengerti mengapa aku melakukan ini."

Aku berbalik dan berjalan menjauh dari jasad ayah tiriku, kemudian melangkah ke arah Yesha—kekasihku. Dia terbaring tidak sadarkan diri di sisi lain ruangan. Darah mengalir dari luka di belakang kepalanya. Sebagian wajahnya kotor akibat terkena darah, begitu juga pakaiannya. Terdapat memar di sudut bibirnya. Aku bisa melihat luka memar di lehernya akibat dicekik oleh ayah tiriku.

Aku duduk, kemudian mengangkat kepalanya dan meletakkannya di pangkuanku. Kuulurkan tangan untuk membelai wajahnya, kemudian kusibak rambut coklat gelap yang menjuntai menutupi keningnya.

"Terima kasih sudah hadir di hidupku dan menjagaku selama ini. Terima kasih dengan semua yang kamu lakukan buatku. Terima kasih sudah mengajariku apa arti kehidupan yang sebenarnya. Karenamu, aku bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Kamu membuatku merasa hidup. Terima kasih sudah menyelamatkanku—dari ayahku, dari keputusasaan," bisikku di telinganya.

Air mataku mengalir dan menetesi wajahnya. "Maafkan aku sudah membuatmu celaka. Maaf sudah membuatmu terlibat dengan masalahku. Maaf karena sudah hadir di hidupmu dan menodai kehidupanmu yang sempurna. Maaf karena aku mencintaimu, Yesha."

Sudah cukup pengorbanan Yesha untukku. Dia berhak bahagia. Aku tidak ingin menghancurkan kehidupannya dengan menahan Yesha tetap di sampingku. Segalanya harus diakhiri. Dia tak perlu berkorban lebih banyak lagi untukku. Takkan kubiarkan dia melakukan itu.

Aku mencium kening Yesha lama, pipinya, kemudian mengecup bibirnya dengan ringan. Napas Yesha terdengar pendek-pendek. Aku harap mereka bisa tiba lebih cepat. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Yesha. Aku harap mereka datang bersama ambulans.

Suara sirine terdengar semakin jelas, pertanda mereka sudah semakin dekat.

Beberapa waktu lalu, aku menghubungi pihak yang berwajib. Aku juga meminta mereka datang bersama ambulans karena ada yang terluka. Aku juga mengatakan pada mereka yang sebenarnya, bahwa aku sudah membunuh ayah tiriku dan berniat untuk menyerahkan diri.

Aku mengecup kening Yesha untuk yang terakhir kali, kemudian bangkit. Kuletakkan kepala Yesha ke lantai dengan sangat lembut. Kusadari kalau darah Yesha mengotori celana jins serta telapak tanganku.

Aku berjalan ke kamar mandi dan berdiri di depan wastafel. Wastafel tersebut merah oleh darah ayah tiriku. Di tepi wastafel, tegeletak leher botol dengan ujung runcing yang tadi digunakan untuk menusuk lehernya. Bahkan masih terdapat sisa darah di sana.

Aku menatap bayanganku di cermin. Rambutku kusut. Wajahku pucat dan penuh lebam. Darah dari luka di pelipisku masih terus mengalir. Leher dan pakaianku bersimbah darah. Aku mengangkat tanganku. Telapak tangan dan ujung-ujung jariku merah oleh darah. Di bagian bawah kukuku terdapat lapisan darah yang kini sudah mengering.

Tak ada lagi jejak-jejak gadis yang sedang jatuh cinta itu. Aku menyaksikan binar di matanya perlahan padam. Kehidupan yang pernah ada di sana mulai meredup sebelum kemudian hilang. Aku memaksakan diri untuk tersenyum, tetapi bibirku bergetar.

Dua jam yang lalu, aku masih menjadi gadis paling bahagia di dunia. Aku baru mencecap indahnya kehidupan setelah bertahun-tahun. Dan sekarang, semua itu sudah direnggut dariku, lagi.

Ini bukan pertama kalinya aku merasakan hal itu. Aku sudah terlalu sering merasakan sakit sampai kupikir aku akan mati rasa. Kupikir aku takkan bisa berbahagia lagi. Namun, Yesha mengubah pemikiranku.

Dia datang dan dengan keras kepala menghancurkan dinding pertahanan yang kubangun di hatiku. Kurasa Tuhan memang tak ingin membiarkanku merasakan kebahagiaan terlalu lama. Dan sekarang, akulah yang harus pergi meninggalkan hidupku bersama Yesha dan tak kuduga rasanya akan sesakit ini.

Air mataku mengalir. Aku menggigit bibirku untuk menahan isakan lolos dari mulutku, kemudian mulai menangis tanpa suara. Aku tak ingin pergi. Aku ingin tinggal bersama Yesha, tetapi tak bisa.

"Maafkan aku, Yesha. Maafkan aku," isakku.

Adikku sudah aman berada di asramanya. Setidaknya, aku tak perlu mengkhawatirkan Zola untuk sementara waktu. Dengan mengakui perbuatanku, kuharap aku bisa mendapat keringanan hukuman.

Aku menarik napas panjang beberapa kali—berusaha menenangkan diri. Aku mendengar suara sirine berhenti tepat di depan rumahku, kemudian pintu depan terbanting terbuka. Setelah itu terdengar seruan-seruan perintah serta langkah kaki.

"Mereka sudah menemukan Yesha. Mereka akan merawatnya dengan baik. Yesha akan selamat," gumamku meyakinkan diriku sendiri.

Aku mendongak ketika seorang petugas berdiri di depan pintu kamar mandi sembari menodongkan pistol ke arahku.

"Letakkan senjatamu dan angkat tangan!" serunya.

Aku mematuhi perintahnya, kemudian berkata, "Aku mengaku bersalah dan menyerahkan diri."

avataravatar
Next chapter