webnovel

White Love In The Dark Sky

Berawal dari kesalahan pendaftaran Universitas, membawa Ran Yuki ke sebuah Universitas Indigo. Ia bertemu Hiro, seorang pria berstatus khusus sebagai Albino Indigo dari keluarga bangsawan elit. Pertukaran Energi dengan Hiro menyeretnya dalam dendam masa lalu pria itu. Hari-hari Ran Yuki berubah menjadi malapetaka. Ia selalu diteror oleh kemampuan mata batin yang terbuka. Ran Yuki berupaya lari dari kehidupan para Indigo dan kembali menjalani kehidupan normalnya. Namun, hal itu tak semudah yang dibayangkan. Dia mengalami berbagai cerita perih, romansa cinta, pengorbanan, hingga mengorek asal usulnya yang mengejutkan.

Vince_Umino · Fantasy
Not enough ratings
365 Chs

Indigo Pemula

"Kau tidak baca ketentuan sebelum melakukan pendaftaran?" Matanya menatapku dengan kasihan. "Setelah kau dinyatakan lulus dan mendapatkan pemberitahuan, namamu sudah dicetak dalam bentuk barcode dan hantu pelayanmu sudah ditentukan. Dengan darah, kita memberikan persetujuan atas konsekuensi yang akan diterima selama sekolah di kampus ini. Darah yang kau teteskan di atas kertas namamu, diberikan kepada pelayan hantu. Mereka makan dari kita, Yuki. Dengan darah itu, sampai kapan pun para hantu pelayan itu dapat mengetahui keberadaan tuannya."

Mendengar seluruh penjelasan Sakura, menambah pening kepalaku. "Waktu itu, aku tak sengaja terluka dan mengotori kertas itu—"

"Biarpun begitu, tetapi darahmu sudah mewarnai kertas perjanjian itu. Tidak ada kertas yang dapat dicuci untuk menghilangkan darahmu. Kertas perjanjian yang dirusak ... Kurasa juga akan berakibat fatal pada dirimu sendiri." Sakura memotong ucapanku dengan cepat, dengan informasi baru yang mencengangkan.

Aku khawatir dan takut setelah mendengar dari mulutnya. Keadaanku bukan main-main. Ini serius. Kepalaku berdentam pusing. Otakku tak menemukan cara untuk lolos dari masalah ini. Aku menyembunyikan wajahku di antara lengan di meja dan menggelengkan kepala.

Sakura menyentuh kepalaku dan mengelusnya. "Sekarang begini saja. Belajarlah untuk menerima keadaan. Kau harus terima ini semua. Tidak ada jalan lain."

"Walau bagaimana pun ini tetap tidak masuk akal!" Aku berseru. "Dan ... aku tidak menyukai hantu."

Malam berlangsung selama satu jam, hujan deras mengguyur Hokkaido dan distrik sekitarnya. Termasuk distrik 10, tempat gedung besar ini berada. Butir-butir percikan air memenuhi jendela kamarku. Hujan dan embun di udara, menghibur kondisiku. Meski merasa berat, tetapi disaat bersamaan aku mendapatkan ketenangan dari panorama ini.

Para divisi Bogyo.Gent, berlari dari pintu belakang universitas melewati halaman depan gedung asramaku. Tugas mereka malam ini kudengar untuk menyelidiki penculikan para pelayan yang sedang marak-maraknya di sekitar distrik 14.

Mereka berjas hitam panjang dan tengah berlari di tengah hujan bersama hantu-hantu pelayan mereka. Aku benar-benar melihatnya kali ini. Salah satu yang berjas hitam itu berhenti dan menengadahkan. Itu Niel bersama teman-temannya.

"Niel. Apa yang kau lakukan, cepat mereka sudah membagi menyebar. Ayo bergerak!" panggil salah seorang temannya.

Niel berlari lagi dan menghilang dari pandanganku ketika melewati asrama.

[ Seperti apa pekerjaan mereka? Dan kenapa para hantu dilibatkan? ]

"Ah, lupakan itu. Aku harus fokus mencari cara keluar dari masalah rumit ini." Aku merasa sangat bodoh karena memasuki universitas ini tanpa tahu apa isinya. Seharusnya aku tidak langsung tergoda oleh asrama gratis ini.

Aku tidak punya tujuan, tidak tahu apa yang terbayangkan di masa depan nanti. [ Apakah kabur saja? Pertama-tama, aku harus mendapatkan kembali kertas pendaftaran itu dan memusnahkannya. ]

Aku berjalan-jalan untuk mendorong otakku bekerja.

Dan itulah yang muncul secara berulang di otakku. Mencuri berkas pendaftaranku dan lari dari sini.

"Berhentilah mondar-mandir. Dari tadi aku pusing melihatmu!"

Suara seorang pria terdengar tanpa arah. Menyebar ke berbagai sudut sehingga sulit ditentukan di mana asal suara itu. Seketika tubuhku merinding, hawa keberadaan seseorang terasa, tetapi tak terlihat wujudnya.

Mataku melirik kesana kemari, memperhatikan isi ruang kamar. Samar-samar tampak tubuh seorang pria berambut gondrong dan pirang. Pria itu melayang di udara, berbaring dengan kepala yang ditumpu oleh lengannya. Pria pirang itu mengorek-ngorek lubang hidungnya.

Aku berkedip-kedip cepat, "Benarkah yang kulihat ini?" Meski sudah berkedip dia tetapi tidak lenyap.

Pria itu mendadak tersenyum lebar dan bangkit dari berbaring melayang, lalu mendekatiku.

Aku berbalik pura-pura tak melihat, jantungku berdetak kencang dan aku mulai gugup. Seluruh tubuhku merinding hebat sekali.

Pria itu tinggi dan wajahnya agak kuning, bibirnya merah padam.

Kata Sakura, pria ini pelayanku.

[ Dia jauh berbeda dari penampilannya tadi malam. Walau bagaimana pun aku tetap tak ingin mempercayainya. Ini terlalu ajaib. Hal-hal magis hanya dilakukan oleh para penyihir bersama iblis. Aku sama sekali tak percaya orang mati bisa bangkit jadi hantu. Omong kosong! ]

Aku meliriknya. Jantungku tersentak saat dia menatapku, matanya merah.

"Yuki, kau bisa melihatku. Aku yakin tadi itu mata kita bertemu. Yukiii!"

Aku mengepalkan tangan dan mataku berusaha fokus menatap pemandangan hujan. Meski rasanya begitu kewalahan menahan ketakutan. [ Aku ... aku ingin sekali berteriak. ]

Dia berloncat-loncat kesenangan. Sesekali berguling dan melakukan tarian Meksiko. Konyol Sekali sikapnya. Walaupun begitu, melihat tubuhnya yang setengah-setengah itu, malah lebih menyeramkan.

"Yuki melihatku! Yuki melihatku!" Suaranya menggema selagi dia berlari-lari dan berloncat sana sini seperti anak kecil mendapatkan hadiah.

"Arhhh ... Tidak! Ini tidak nyata! Ini hanya ada dalam pikiranku!" Aku berucap dengan gegabah.

Aku menyerukan peperangan batin terhadap diriku sendiri, menolak semua halusinasi yang terlihat berwujud nyata seperti dia.

Pria itu mendatangiku, setelah mendengarku. Kemudian kedua tangannya menerjang hendak memegangi kedua pundakku. Akan tetapi dia menembusku.

Wajahnya tampak kebingungan. Aku pun baru sadar tertarik pada kehadirannya. Aku menggelengkan kepala

"Tidak!!!"aku berteriak melepaskan semua yang kutahan. "Ini tidak nyata!"

Pria itu duduk di ranjangku sambil melipat kedua tangannya. "Kau memiliki sedikit rasa percaya sehingga dapat melihat wujudku. Walaupun aku masih belum bisa menyentuhmu secara langsung." dia mengulum senyum. "Meski kau menolak, rasa percaya dalam dirimu yang telah bangkit itu akan terus membuatmu melihat kami."

Aku menepuk-nepuk telingaku sesekali menutupnya rapat-rapat agar tidak mendengar ocehan pria ini.

"Kalian tidak ada, ini hanya ada dalam pikiranku. Pikiran ini akan kembali seperti semua. Aku yakin itu!" kataku menolak pria itu.

"Renji, aku mendengar teriakan ... berisik sekali!"

Sesosok pria dewasa muncul menembus pintu. Kemudian satu lagi. Mereka menatapku dengan wajah menyeramkan.

Yang satu wajahnya pucat sekali dan bibirnya agak hitam dan yang satunya wanita berambut panjang.

"Jangan-jangan dia sudah dapat melihatmu?" tanya pria berbibir hitam. Dua sosok itu mendekatiku. Setengah tubuh mereka melayang seperti kain tipis.

Mereka menatapku dengan mata yang besar dan putih. Begitu dekat wajah seram itu hingga aku harus mundur sambil menahan jantungku yang mulai dingin dan berdebar cepat.

Aku tersudut.

"Haaaiiiiii"mereka menyapa.

Seketika jantungku seperti dipukul. Aku jatuh ke lantai dan pandanganku diselimuti kegelapan.

<>

Aku terbangun saat mendengar suara beberapa orang tengah ribut di depan asrama. Yang sedikit kudengar, mereka menemukan korban yang diculik dan membawanya ke dalam gedung universitas.

Aku beranjak dan naik ke atas ranjang. Duduk dengan selimut menutupi tubuhku yang meriang.

"Maafkan teman-temanku. Mereka terlalu senang untuk berkenalan denganmu." Pria itu muncul lagi dan berbaring di sampingku.

[ Kenapa dia tidak hilang juga? Biarkan aku istirahat, Sialan! ]

"Kuberitahu kau! Tidak ada untungnya menolak kehadiranku. Itu hanya membuatmu gila. Aku ini ada, eksistensi kami bertahan di dunia kami. Jika malam telah tiba, asrama ini setengah dari dunia kami."

Dia terus berceloteh. Api seperti bergemuruh dalam jiwaku saat dia mendekatiku. Aku yakin, ini adalah wujud perbedaan alam kami. Kuambil headset dan memainkan lagu kesukaanku dari pemutar musik. Meski lagu bersenandung merdu, suaranya masih dapat kudengar jelas.

"Biar kuberitahu, diantara seluruh mahasiswa baru di asrama ini. Hanya ada tiga manusia biasa sepertimu. Satu orang dinyatakan koma dan satu lagi tengah belajar membuka mata batinnya. Setidaknya kau bisa mengambil pelajaran, bahwa ada manusia biasa yang tertarik dan mau menjadi indigo. Indigo itu istimewa. Mereka dapat menjadi tembatan antara dua dunia dan menjaganya tetap stabil, Yuki."

Pria itu memperpanjang celotehannya. "Aku akan menunggumu, Yuki. Menunggumu menerimaku sebagai pelayanmu. Karena aku sudah terikat dengan darahmu. Aku akan terus mengoceh sampai kau menerimaku!"

[ Dia mulai melancarkan peperangan. Dan aku akan diam sampai dia bosan! ]

"Aku mati karena kecelakaan, hidupku hanya sampai diawal-awal kuliah. Waktu itu aku naksir berat sama kakak kelasku. Tetapi aku meninggal lebih dulu sebelum bisa mengakui perasaan ini. Kasihan 'kan. Beberapa hantu terlihat menyeramkan karena cara mereka mati. Kecelakaan adalah hukum alam, oleh sebab itulah tubuhku bersih seperti manusia. Aku meninggal di rumah sakit, saat seluruh keluargaku berkumpul. Aku ditangkap oleh divisi intelijen karena mencuri makanan. Hiro berhasil menangkapku."

Entah berapa lama, dia sudah bercerita tentang dirinya. Rasa takutku mulai menipis, tetapi mataku begitu mengantuk. Beberapa kali aku hampir tertidur dan mendadak terusik lagi ketika nada bicaranya meninggi.

Aku menguap lebar, masih dengan musik di telinga yang berulang. Aku tidak bisa membiarkan malam berhargaku rusak karena ini. Aku harus keluar dari sini bagaimanapun caranya. Jika dibiarkan terus, aku bisa gila karena tidak bisa tidur.

<>

Mendadak jam beker berbunyi lantang tepat di samping wajahku. Aku terlonjak kaget dan mematikannya segera.

Mataku masih sangat malas untuk terbuka. Pancaran cahaya di kamar membuat aku tertarik untuk bangun. Mataku membesar, melihat cahaya matahari masuk lewat jendela.

"Hah! Kapan ini pagi? Bukannya baru saja malam?"

Ketukan hebat terdengar dari balik pintu.

"Yuki, aku duluan. Cepat bangun kita sudah telat 5 menit dari jadwal kuliah!" Sakura berteriak, semakin detik suaranya makin jauh. Kakinya bergema menuruni tangga dengan terburu-buru.

"Gawat!"

Aku meloncat, menepuk-nepuk wajah agar kantukku hilang. Kemudian mengikat rambut keritingku dengan sekali ikat dan membiarkannya mekar. sela bibir kubersihkan karena ada jejak air liurku. Hancur sekali wajahku pagi ini. Ada mata pandang yang menempel di wajahku. Tubuhku pucat sekali karena tidak tidur secara teratur.

Aku melihat sekeliling, dan tak menemukan pria berambut pirang itu. Segera kuganti baju tidur dengan seragam dan berlari keluar tanpa mandi, tanpa menggosok gigi dan hanya berkumur-kumur saja.