webnovel

Where I Put My Heart

Ben menikahi Raniya karena perjanjian manis mereka ketika kecil. Keduanya saling menyayangi. Hingga, pada akhirnya Ben mengkhianati semuanya secara sengaja. Kini, Raniya harus menanggung rasa sakit, kecewa yang berakhir dengan pembalasan dendam.

LueKai03 · Teen
Not enough ratings
5 Chs

It's Hard To Say I'm Sorry

Ben memang pekerja keras. Loyalitas dengan pekerjaannya. Pria berkulit kuning langsat itu tidak pernah setengah-setengah kalau melakukan sesuatu. Sekalipun suhu tubuhnya 38 derajat, ia akan tetap pergi bekerja. Di rumah pun, jarinya selalu lincah di atas keyboard laptop. Tuntutan hidup juga yang membuatnya seperti ini. Apa-apa serba mahal. Apa-apa butuh uang. Di tambah, ia memiliki seorang anak yang sedang dalam fase selalu menginginkan apapun yang di lihatnya. Entah iklan mainan di tv. Ataupun cokelat super mahal yang berada di meja kasir minimarket.

Masa kecilnya cukup sulit. Ia tidak mau, Bintang mengalami hal sama dengan dirinya. Namun, kesibukannya sudah terlalu parah. Dia tidak pernah ada waktu untuk Raniya dan Bintang. Pun keduanya juga tak pernah mengeluh. Bisa saling sapa saat sarapan saja sudah sangat bersyukur. Ben tidak pernah menemani Bintang menonton acara favoritnya di tv. Tidak pernah mengajaknya main bola. Terkadang, Bintang juga protes kepada sang ibu. Ingin bermain ayunan di taman bersama ayah. Bermain robot di kamar. Bahkan, sampai mengolok-olok sang ibu membosankan.

Sabtu-Minggu kantor Ben libur. Bukan berarti dia ada waktu luang untuk membantu Raniya di kafe. Ataupun menemani Bintang. Botak sialan itu selalu saja meneleponnya. Seolah tak ingin membiarkan Ben menganggur.

Namun, pengecualian untuk hari minggu sekarang. Ben memutuskan untuk tidak membuka laptop. Menyimpan berkas-berkas pekerjaannya dalam tas. Mencoba menikmati sarapan bersama sang istri. Pukul 07.15 saat ini. Ben mengatakan pada Raniya, jika hari ini akan mengajaknya jalan-jalan. Destinasinya Raniya harus menentukan sendiri. Mata berbinar-binar Raniya menatap Ben. Seolah tak percaya dengan kata-kata Ben.

"Beneran?" tanya Raniya.

"Iya. Jam 08.00 kita berangkat. Kamu cepet siap-siap. Bangunin Bintang," jawab Ben. Meneguk teh hangat.

"Beneran, Ben?"

Kali ini Ben mengangguk.

"Beneran kan, Ben?"

"Raniya... Kamu kok tanya terus, sih?"

"Aku cuma nggak percaya aja. Kamu ajak kami jalan-jalan. Biasanya, kamu lebih mentingin botak tua itu."

"Hei, botak tua itu yang menggajiku."

"Benar juga, sih. Tapi, aku nggak suka. Dia selalu mengganggu hari liburmu."

"Lagian, dia nggak botak. Cuma bagian depannya aja nggak ada rambut."

"Sama aja. Itu botak separuh namanya. Terus—kita kemana hari ini?"

"Terserah kamu. Kamu pengen kemana?"

Setelah beberapa detik mengetukkan jari telunjuk pada bibir tipis nan seksinya, kini jentikan jari terdengar.

"Bintang katanya mau pergi ke taman ria. Kita pergi kesana saja."

"Okay. Kita kesana."

"Sungguh, Ben? Kita benar-benar berangkat."

"Raniya..."

Raniya tersenyum lebar. Sederet gigi putihnya tampak.

"BINTANG! Cepat bangun! Ayah mengajak kita ke taman ria."

Raniya meloncat girang. Bibir sedikit lebar nan tipis milik Ben mengembang seketika.

***

Pukul 09.22. Ketiganya sudah siap pergi. Bintang dengan kaus hitam gambar kartun beruang putih yang sedang di gandrungi anak-anak. Celana abu tua. Selaras dengan warna pakaian Raniya. Berbeda dengan Ben yang mengenakan sweater rajut navy. Celana jeans yang sobek di bagian lutut. Ponsel Ben dalam saku celana kiri berdering. Botak sialan menelepon. Ben menolaknya dengan ragu.

"Kenapa nggak di angkat?"

"Nanti aja."

Ben tiba-tiba berlutut dengan satu kaki, di depan Bintang.

"Jagoan kecil Ayah.. Kamu sudah siap bermain-main di sana?"

"Iya dong yah! Oh, iya apa nanti aku boleh beli permen kapas? Kata temen-temenku, permen kapas di taman ria sangat enak!"

Ben tersenyum. "Kamu boleh beli apa saja di sana! Ayah kerja itu buat kamu."

"Ibu? Ibu dapet apa dong?"

"Ibu dapat pelukan dari Ayah."

"Heh? Kok gitu?"

"Kan, kata ibu— tiap pagi gitu. Nggak dapet apa-apa dari ayah nggak apa-apa. Yang penting Ayah peluk ibu aja."

Ben dan Raniya saling melirik.

"Ayo pergi," ajak Ben.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, ketiganya turun. Ben segera mengeluarkan kunci mobil dari saku celana.

"Mobil siapa?" tanya Raniya. Menatap mobil SUV hitam terparkir di bahu kanan jalan.

"Semalam aku pinjam teman kantor."

"Ah, aku kira kamu beli. Hampir saja badanku lemas."

"Aku tahu, hutang kita masih banyak. Belum lagi kita harus mengembalikan uang Bu Ratih. Berkatnya, kita bisa menyewa ruko ini, kan?"

"Tapi, Bu Ratih bilang kita nggak perlu mengembalikan uangnya."

"Meskipun begitu, kita harus tetap kembalikan, Raniya."

"Tapi-"

"Nggak jadi berangkat? Mau seharian terus debat di sini."

"Bintang! Mobilnya bagus ya."

Ben memang sangat jujur dalam hal apapun. Tidak ingin merepotkan lain. Pun dia tak sadar. Jika dalam beberapa hal dia selalu merepotkan istrinya.

Teringat beberapa waktu yang lalu. Ketika keduanya bertengkar hanya gara-gara handuk basah. Sisi buruk Ben salah satunya adalah ceroboh. Dia sering kali meletakkan handuk basah di atas kasur. Seperti pagi itu. Raniya yang masih memegang spatula beserta apron terpasang di badannya, nampak geram. Menatap handuk Ben berada di atas kasur. Urat halus pelipisnya muncul seketika. Genggaman pada spatula menegang. Giginya bergemeretak.

"Sudah aku katakan berapa kali! JANGAN LETAKKAN HANDUK BASAH DI KASUR! NANTI IKUTAN BASAH SEMUANYA!"

Ben yang masih merapikan dasi, menoleh dengan santai.

"Maaf, aku lupa."

"Selalu itu yang kamu bilang! Ben, apa susahnya, sih? Kamu tinggal gantungin handuknya di pintu kamar mandi."

"Kamu ini, pagi-pagi udah cerewet banget, sih!"

Ben mengambil handuk. Keluar dari kamar. Melemparkan handuk ke sofa.

"BENJAMIN! JANGAN DI SOFA!"

"TERUS DIMANA?!"

"GANTUNGIN DI PINTU KAMAR MANDI! Kamu nggak denger aku ngomong tadi? Bintang aja bisa loh."

"TARUH SENDIRI!"

Ben meraih tasnya di sofa. Mengenakan sepatu. Keluar dari rumah. Meninggalkan Raniya dengan segala kejengkelannya.

35 menit kemudian Ben menelepon Raniya. Kalau berkasnya ada yang tertinggal di meja makan.

"Makanya, pagi-pagi jangan marah!" kata Raniya.

Sekalipun mengomel, Raniya tetap pergi ke kantor Ben. Keduanya bertemu di lobi. Hanya 3 detik saja keadaan canggung terjadi. Selanjutnya, mereka tertawa.

"Maaf," kata Ben.

"Aku juga."

"Nanti kita makan malam di luar, ya," ajak Ben.

Raniya mengangguk. Tersenyum. Ben berjalan pergi. Bibir Raniya mengerucut. Namun, tak lama Ben kembali mengecup singkat kening Raniya. Membuat senyumnya mengembang.

***

Dalam perjalanan, hingga tiba di parkiran, dering ponsel Ben tidak berhenti. Jelas sekali, botak sialan akan menyuruh Ben lembur secara cuma-cuma. Lagi. Wajah resah tak dapat lagi di sembunyikan olehnya. Membuat pandangan Raniya juga tak dapat teralihkan dari Ben. Mendesah panjang.

Setelah ketiganya keluar dari mobil, Ben mengantri beli tiket. Beruntungnya antrian tidak terlalu panjang, jadi Raniya dan Bintang tidak perlu terlalu lama berpanas-panasan. Pria dengan tinggi 186 senti bak model itu kembali membawa tiket. Dengan cepat wanita berkulit putih itu mengambilnya.

"Pergilah."

"Kemana?"

"Botak tua yang meneleponmu, kan?"

Ben diam. Berdeham.

"Kamu pergi aja. Tapi, cepat kembali kesini. Aku sama Bintang nunggu di sini."

"Nggak—apa-apa?"

"Cepetan pergi. Daripada aku berubah pikiran."

"2 jam! Kasih aku waktu 2 jam saja. Aku janji—akan secepatnya kembali kemari."

"Hati-hati di jalan."

"Terima kasih, Raniya."

Ben berlari menuju parkiran. Sedangkan Raniya hanya mampu mendesah panjang, melihat punggung lebar sedikit gemuk yang perlahan menghilang.

"Bu, Ayah mau kemana?"

Raniya berlutut di depan Bintang.

"Ayah— lagi ada urusan sebentar. Nanti pasti dateng. Gimana kalau sambil nunggu Ayah kita main-main dulu?"

Bintang mengangguk dengan girang.

Keduanya segera masuk. Segera di sambut dengan musik andalan dari taman ria yang terdengar lantang. Go-Car. Rumah kaca. Bianglala. Rumah air. Komidi putar. Dan tak lupa membeli permen kapas. Berlanjut dengan melihat pertunjukan lumba-lumba juga sirkus yang kebetulan sekali di adakan khusus hari ini.

Sementara di tempat karaoke, Ben baru saja selesai menyelesaikan sebuah lagu. Botak sialan itu ternyata tidak menyuruhnya untuk pergi ke kantor. Melainkan menjamu calon investor, agar tidak perlu panjang lebar lagi untuk menanamkan modal di perusahaannya. Begitulah rata-rata bekerja di gedung elit. Hal-hal seperti itu seolah upacara khusus bagi mereka. Tentu, tak ketinggalan beberapa botol alkohol dengan harga termahal tersaji di meja.

"Wah— aku nggak nyangka suaramu merdu juga, Ben."

Ben hanya tersenyum. Melirik jam di tangannya. Pukul 18.25. Taman ria sudah tutup 1 jam yang lalu. Membuatnya mendesah panjang. 2 jam yang di janjikan pada Raniya, tentu sudah tidak dapat di penuhi lagi.

"Kenapa kamu tidak coba jadi penyanyi saja? Mungkin saya bisa jadi sponsor mu?" tambah Pak Dirga.

Ben tersenyum. "Saya anggap itu sebuah pujian, pak."

"Ha-Ha.. Hidupmu pasti sangat berat. Jadi, kamu lebih memilih bekerja dengan Direktur yang menyebalkan seperti Pak Jimmy ini. Kamu rela melepaskan impianmu."

Ben menatap dalam-dalam Pak Dirga.

"Bagaimana aku bisa tahu? Cukup mudah. Wajahmu saat bernyanyi tadi lebih terlihat bahagia."

Ben tersenyum kikuk. "Saya permisi keluar sebentar."

Selain memiliki suara yang merdu, wajah tampan Ben memang sangat mendukung sekali untuk berada di dapur rekaman. Memang itu impiannya sejak dulu. Impian— yang harus terkubur dalam-dalam. Well, begitulah hidup. Melepaskan sesuatu yang sangat kita inginkan memang terasa berat. Tapi, lebih berat lagi jika kita harus egois mengejar apa yang kita inginkan, dan mengabaikan orang-orang yang hidupnya bertumpu pada kita.

"Permisi. Apa—anda tadi yang menyanyi di ruang VIP 1?"

Pria berwajah kotak, rambut tipis yang berdiri tegak itu menghampiri Ben, saat akan pergi ke kamar kecil.

"Ada apa?"

"Benar Anda?"

"Wah.. Anda tampan juga. Cocok banget!"

"Maksudnya?"

"Emm.. Anda tidak kenal saya?"

"Siapa?"

"Anda tidak pernah menonton tv? Saya orang yang paling di cari saat ini."

"Buronan?"

"Ha-Ha. Humormu bagus sekali. Tapi, bukan. Aku bukan orang jahat."

"Maaf— saya tidak mau membeli barang Anda."

Langkah Ben di halangi oleh pria berbaju hitam itu.

"Tu-tunggu sebentar. Apa wajah saya seperti sales?"

Ben mengangguk.

"Anda tidak pernah menonton acara musik?"

"Saya tidak ada waktu untuk bicara dengan Anda."

"Eh-eh.. Tunggu," Pria itu menarik dompet dari saku celana belakang. Mengeluarkan kartu nama hitam. Dengan desain elegan. "Simpan ini. Kalau Anda ingin hidup yang menjanjikan."

Sekembalinya dari kamar kecil, Ben masih saja harus mendengar basa-basi dari botak sialan itu. Suara seraknya kini terdengar menjengkelkan di telinga Ben.

"Pak Dirga.. Saya jamin! Anda tidak akan pernah menyesal menanamkan modal di perusahaan kami. Kosmetik yang kami jual selalu menjadi peringkat teratas. Banyak artis yang selalu menggunakan produk kami. Mereka juga mengantri untuk jadi bintang iklan kosmetik kami."

"Bagaimana Pak Ben? Apa menurut Anda saya harus mempercayakan uang saya di perusahaan ini?"

Ben bimbang sesaat. Melirik Jimmy di waktu tepat, dimana ia memberi kode agar memberi jawaban yang tepat.

"Saya tidak bisa banyak bicara. Tapi, Pak Dirga saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan Anda."

"Pak Ben ini manager paling handal di kantor kami. Anda bisa percaya kata-katanya."

"Baiklah. Tapi, sebelum saya memberi cap pada surat ini— saya ingin kalian memberi cap pada surat perjanjian milik saya."

"Surat—perjanjian?" Tanya Pak Jimmy.

Pak Dirga meminta amplop besar cokelat yang sejak tadi di bawa pengawalnya. Mengeluarkan isinya. Meletakkan di atas meja. Pak Jimmy segera mengambil. Membacanya dengan hati-hati.

"Ini cara saya bekerja. Jika kalian memiliki kontrak. Maka saya, juga memiliki surat perjanjian. Dunia bisnis— sangat mengerikan, bukan? Banyak hal di luar dugaan yang akan terjadi."

"Anda takut kami akan menipu?" Tanya Pak Jimmy.

"Banyak orang menempuh jalan yang salah untuk mencapai kesuksesan. Mereka tidak menapaki satu persatu anak tangga. Tapi, meloncat dengan tumpuan tubuh temannya. Agar mencapai bordes atas. Tidak peduli, dengan temannya yang sedang kesakitan di bawah."

"Ha-Ha. Anda memiliki pemikiran yang unik Pak Dirga. Baiklah, kami juga menyetujui perjanjian ini."

Pak Jimmy menggeledah tas hitam perseginya.

"Aduh! Aku lupa! Capku tertinggal di kantor. Bagaimana ini? Ben, kamu bisa ambil di kantor?"

Pak Dirga melirik jam tangan peraknya. "Saya harus berada di bandara 1 jam lagi. Waktu saya tidak banyak lagi."

"Kalau begitu, Ben— kami selalu bawa cap namamu kemana-mana, kan?"

"I-iya."

"Kita pakai itu saja."

Ben bergeming.

"Ayolah. Ini untukmu juga, kan?"

"Baik, pak."

Ben mengambil cap namanya di dalam tas, yang sebelumnya ia ambil di rumah waktu perjalanan ke tempat karaoke. Saling memberi cap pun sudah di lakukan mereka.

"Karena urusan kontrak sudah selesai. Apa— saya boleh pergi terlebih dulu?" tanya Ben.

"Hei.. Kau harus menghibur Pak Dirga dengan suaramu sekali lagi."

"Pergi saja. Seseorang pasti sudah sedang menunggu Anda, kan?"

Ben segera berdiri. Menenteng tas di punggung.

"Terima kasih. Saya pergi dulu."

Ben berlari ke luar gedung. Menancap gas begitu mesin mobil menyala. Pergi ke taman ria. Meskipun tahu, kalau tempat itu sudah tutup. Bisa saja, Raniya dan Bintang masih menunggu di depannya. Tapi, Raniya tidak sebodoh itu membiarkan anaknya kedinginan tanpa jaket.

Ben memutar haluan. Pulang ke rumah. Melihat kafe yang gelap. Berlari menginjak 10 anak tangga. Melihat Bintang menonton tv, begitu ia membuka pintu. Mengatur nafas sejenak. Berlutut di depan Bintang.

"Kamu udah dateng, Ben." kata Raniya. Nada bicaranya dingin.

"I-iya," jawab Ben gugup. "Bintang.. Kamu bersenang-senang sama ibu di sana tadi?"

Bintang diam. Membuat Ben canggung.

"Ah, iya! Ayah membelikan mu es krim cokelat!"

Ben menarik resleting tasnya, yang ia letakkan di lantai.

"Bu, aku ngantuk."

"Iya. Kamu cepat masuk ke kamar. Nanti ibu nyusul. Ben, kamu cepet mandi."

Bintang turun dari sofa. Masuk ke dalam kamar.

"BINTANG! Kamu nggak boleh gitu sama Ayah!"

"Cepat mandi. Lalu makan. Aku sudah siapkan ayam goreng buat kamu."

"Aku nggak lapar."

"Ya sudah. Aku buang aja."

"Kenapa kamu buang?! Kamu marah sama aku?!"

"Marah? Siapa? Aku? Nggak. Ngapain aku marah? Terus siapa yang mau makan? Daripada basi, aku buang aja!"

"Raniya.. Aku juga lelah."

Raniya mendengus kesal. "Kamu pikir kami nggak capek? Kami menunggu kamu berjam-jam di sana! Bintang nggak mau makan kalau kamu nggak dateng! Tapi, di sini kamu marah-marah sama dia! Kamu tanya apa? Dia senang-senang di sana?! Gimana dia bisa senang-senang? Yang dia pikirkan cuma Ayah dan Ayah!"

"Terus, aku harus ngapain?!"

"MINTA MAAF! Daripada bertanya kamu senang-senang— lebih baik bilang maafkan, ayah. Daripada Es krim, mending bilang nanti ayah akan ajak kamu kesana lagi! Dia nggak butuh es krim! Dia butuh Ayahnya!" Jelas Raniya.

"Raniya.. aku-"

"Kami nggak pengen apa-apa dari kamu. Kami hanya mau waktumu. Meskipun hanya sebentar!" tegas Raniya. "Dan juga—minta maaf pada kami. Apa—itu sulit?"