webnovel

This Is So Painful

"Entah perasaanku saja atau memang perayaan ini terasa membosankan." Keluh Bob, tangannya tidak berhenti memainkan gelasnya yang sudah kosong.

"Iya, rasanya aku ingin cepat pulang saja. Atau mampir dulu ke rumah El, sepi tidak ada dia disini." Geya juga ikut-ikutan mengeluh. Meski suasana disana ramai, tapi dia merasa ada sesuatu yang kurang.

"Yaudah kita ke rumah El saja sekarang." Ajak Bob, dia sudah bersiap untuk beranjak dari kursi. Tapi Rhino dengan cepat melarangnya.

"Jangan... El sepertinya sedang tidak enak badan, biarkan dia istirahat jangan diganggu dulu."

"Yah..." Bob dan Geya yang tadi sudah semangat-semangatnya kembali lesuh mendengar penjelasan Rhino.

"Kalau gitu kita pulang saja Geya, sebelum para fans mu makin menjadi-jadi." Ucap Bob menunjuk kearah beberapa orang yang berada tidak jauh dari meja mereka. Bob tahu mereka adalah para fans Geya yang terus menerus mengikuti Geya kemanapun dia berada. Bob kadang sampai capek harus mengusir mereka agar menjauh.

Geya menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Bob. Orang-orang itu melihat Geya yang menoleh ke mereka, mulai histeris karena merasa mendapat perhatian dari Geya. Padahal sebenarnya Geya sama sekali tidak peduli.

Geya menyetujui saran dari Bob. Mereka berdua pun pamit pulang pada Rhino dan Jovita.

"Mereka berdua itu terlihat sangat serasi bersama. Kadang aku sangat ingin membuat mereka jadian."

"Itu urusan mereka berdua Vit. Kita tidak bisa terlalu ikut campur dalam urusan pribadi mereka."

"Tapi sepertinya ucapanmu itu tidak berlaku untuk El. Kalau aku perhatikan kau terlalu ikut campur dalam hidupnya."

Komentar Jovita yang lumayan pedas itu hanya ditanggapi Rhino dengan kekehan pelan.

"Lah aku benar kan?"

"Vit... Kau tahu dengan jelas. Urusan Elea itu berbeda..."

"Beda apanya No? Jangan gunakan penyakitnya sebagai alasan. Elea itu sudah besar. Kurasa dirimulah yang sedikit melebih-lebihkan."

Rhino mengerutkan dahinya, agak tersinggung dengan ucapan Jovita. Dipandangnya Jovita yang duduk disebelahnya. Dia paham kemana sebenarnya arah percakapan mereka.

"Langsung ke intinya saja Vit. Kau tahu aku tidak suka hal bertele-tele."

Menghela nafasnya sebentar, Jovita memutuskan untuk mengungkapkan isi hatinya. "Seperti yang aku katakan tadi, sikapmu sedikit berlebihan pada Elea. Maksudku, bisa tidak sehari saja atau semenit saja kau tidak memikirkannya? Dia itu bukan anak kecil lagi."

"Maaf Vit, aku sangat paham apa maksudmu. Tapi untuk saat ini fokusku hanya untuk Elea, tidak ada lagi ruang untuk memikirkan yang lainnya." Jawab Rhino langsung ke intinya. Dia tidak mau memberikan harapan kosong.

Hening, Jovita tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan Rhino jelas tidak ingin membahas lebih jauh lagi. Itu benar-benar memberikan rasa kecewa sekaligus luka di hatinya.

Merasa sedikit canggung, Rhino memilih untuk mengalihkan perhatiannya. Dia ambil ponsel dari sakunya, mengecek sesuatu yang selama ini diam-diam dia lakukan. Matanya lekat pada layar ponsel itu, memperhatikan semua tanda yang muncul disitu. Sampai dia menyadari sesuatu yang ganjil.

Dia bangkit dari kursinya, Jovita agak kaget karena Rhino yang tiba-tiba saja berdiri. Saat dia melihat Rhino yang hendak pergi, dia mencoba menahannya. Dipegangnya tangan Rhino, Rhino pun menoleh ke arahnya. Seolah mengerti akan ekspresi yang tergambar di wajah Rhino, Jovita menggeleng pelan. Tapi Rhino mengabaikannya, dilepasnya pegangan Jovita dan dia pun pergi dengan tergesa.

Rhino berlari sangat kencang, keluar dari gedung acara itu. Dia kembali mengambil ponselnya dan berusaha untuk menghubungi Elea, tapi tidak ada jawaban. Tidak menyerah begitu saja, dia terus mengulang panggilan itu hingga dia tiba ke tempat tujuannya.

Dia berdiri di depan gudang yang ada di belakang gedung acara itu. Tangannya masih memegang ponsel yang masih mencoba untuk tersambung ke ponsel Elea.

Dia pun segera masuk ke dalam gudang itu. Dengan bantuan pencahayaan yang redup dari lampu yang tergantung di ruangan itu, dia berhasil melangkahkan kakinya melewati kotak-kotak yang tertumpuk disana. Dia kembali mengecek ponselnya, memastikan kalau ini adalah tempat yang benar. Setelahnya dia mulai membuat panggilan lagi ke ponsel Elea. Dan akhirnya dia bisa menangkap samar-samar suara berdering yang sangat dia tahu milik siapa itu. Dia mengikuti arah suara itu yang memandunya ke sebuah ruangan yang terletak paling ujung.

Rhino merasa sangat takut dan cemas, tangannya bergetar tapi dia tetap berusaha untuk membuka pintu ruangan itu. Dia memejamkan matanya sambil mendorong pintu itu, tidak berani  dan tidak siap untuk melihat apapun yang ada di dalam ruangan itu. Pikirannya sudah menggambarkan skenario paling buruk.

Dan benar saja, saat dia membuka perlahan matanya. Dia terduduk lemas. Dihadapannya, hal yang sangat tidak ingin dia lihat, hal yang ditakutkan. Dia ingin berteriak marah tapi bibirnya sudah keluh dan gemetar. Hanya penyesalan yang kini mengisi sesak hatinya.

*

*

Pagi telah tiba, Rhino sudah menyiapkan sarapan dan dia akan membawanya ke kamarnya. Dia masuk ke kamarnya dan meletakan sarapan di meja. Berjalan mendekati tempat tidur dan duduk ditepiannya.

"El ayo makan dulu..." Ucapnya lembut. Tapi orang yang dipanggil itu sama sekali tidak mau bangun. Dia bahkan makin menarik selimutnya untuk menutupi dirinya.

"Ayolah El, jangan seperti ini..."

Elea tetap tidak mau keluar dari dalam selimut itu. Rhino tetap berusaha membujuknya. Saat Rhino menyentuh bahu Elea yang masih tertutup selimut, dia merasakan bahunya bergetar. Elea menangis, Rhino dengan terpaksa menarik selimut itu. Dilihatnya air mata sudah membasahi pipi Elea, matanya bengkak dan merah. Bahkan tubuhnya tidak berhenti gemetar.

Diangkatnya perlahan tubuh Elea agar bisa duduk lalu dia segera berlutut dihadapan Elea sambil memeluk kakinya dan menangis.

"Maafkan aku El... Maafkan aku... Ini salahku..."

Elea hanya diam, matanya masih mengalirkan air mata dengan tatapan kosong. Rhino menangis semakin menjadi melihat kondisi Elea yang seperti itu.

"Kak... Rasanya sakit..." keluh Elea yang membuat Rhino langsung mendongak menatap Elea. "Sakit sekali kak..." Ucapnya lagi masih terus menangis.

Rhino bangun dan duduk disebelah Elea. "Dimana??? Katakan dimana yang sakit...?" Elea kembali diam, dia mengangkat pelan tangannya dan meletakkannya di dadanya. Lalu dia mulai memukul-mukul dadanya itu.

Rhino langsung menahan tangan Elea menghentikannya menyakiti dirinya sendiri. Tapi apa yang dilakukan Rhino itu malah membuat Elea makin berontak dan berteriak sangat keras, meminta untuk dilepaskan. Rhino melepaskan peganganya dan Elea pun berhenti berteriak meskipun masih gemetaran.

Rhino masih duduk disebelah Elea, menunggu dirinya lebih tenang. Air mata Elea sudah mulai berhenti tapi masih terdengar sesegukan. "Kak..." lirihnya pelan.

Rhino dengan sigap langsung memalingkan perhatian pada Elea. "Kak... bisa lakukan sesuatu untukku?" Rhino otomatis langsung mengangguk.

"Tolong bantu aku..."

*

*

*

Elea tidak masuk sekolah sudah hampir satu minggu, Rhino memberitahukan kalau Elea sedang sakit dan Rhino minta agar teman-temannya tidak mengganggunya dulu. Rhino bahkan minta izin pada ibunya Elea, agar Elea dapat menginap dirumahnya dengan alasan agar dapat merawat Elea dengan lebih baik. Ibunya awalnya keberatan, tapi Rhino meyakinkan kalau Elea tidak sakit parah, dia hanya butuh istirahat. Lagipula Rhino tahu dengan jelas seberapa padat jadwal kerja Ibunya Elea. Jadi akhirnya ibunya setuju asal Rhino terus memberi kabar perkembangan Elea.

Lain halnya dengan Felix, dia tiap hari mencari Rhino untuk menanyakan keadaan Elea. Tapi Rhino mengacuhkannya tidak peduli.

"Kalian kan tidak punya hubungan lagi. Jadi kau tidak perlu tahu." jawaban itu yang selalu diberikan Rhino setiap kali Felix menanyakan keadaan Elea.

"Kak tolong beri tahu aku, Lea seperti hilang tanpa kabar. Aku sangat khawatir..."

"Sudah kubilang tidak usah peduli lagi. El itu bukan urusanmu lagi. Urus saja dirimu sendiri." jawab Rhino tegas dan langsung meninggalkan Felix yang tidak bisa berkata-kata lagi.

Bukan hanya Felix yang khawatir dengan kondisi Elea. Sam juga merasakan hal yang sama. Dia ingin tahun bagaimana kondisi Elea tapi dia enggan untuk bertanya pada Rhino. Dia tidak mau diperlakukan seperti Felix.

Tapi dia tidak bisa menutupi rasa khawatirnya itu. Teman-temannya bahkan dapat melihat dengan jelas wajahnya menunjukkan kecemasan yang amat sangat. Dia juga tidak bisa berkonsentrasi, pikirannya dipenuhi oleh Elea.

"Galen... bagaimana kondisimu sekarang?"