webnovel

Loss And Promise

Kembali lagi ke sekolah, semua terasa tidak sama lagi bagi Elea. Ada begitu banyak yang berubah.

Saat dia masuk ke dalam gedung sekolah, ada begitu banyak mata yang melihatnya. Mereka melihat Elea bagaikan melihat hantu. Setelah hilang cukup lama, Elea tiba-tiba muncul lagi. Penampilannya pun tidak seperti biasanya. Tubuh yang terlihat makin kurus, kulit pucat dan raut wajah yang hampa, persis seperti mayat hidup yang sedang berjalan.

Saat mengetahui Elea telah kembali, seseorang dengan antusias hendak mencarinya. Orang itu bahkan tidak peduli sudah berapa banyak orang yang dia tabrak saat dia berlari di lorong sekolah hanya untuk bertemu dengan Elea.

Berhasil menemukan sosok yang dari tadi dia cari. Dia pun segera mendekati Elea. Elea yang menyadari seseorang berlari ke arahnya langsung bersembunyi di belakang Rhino yang sejak awal masih terus menemaninya.

"Kendrick berhenti disitu!!" perintah Rhino, membuat Sam yang beberapa langkah lagi tiba dihadapan mereka berhenti. "Kau membuat El takut." lanjut Rhino.

"Evans aku kesini bukan untuk bicara padamu, tapi aku ingin bicara pada Galen." ucap Sam sambil melirik Elea yang masih bersembunyi di belakang Rhino. Tatapannya sangat menyiratkan kecemasan tapi sedikit ada rasa lega karena dia akhirnya bisa melihat Elea lagi.

"Sudah kubilang kau membuat Elea ketakutan."

Tidak mempedulikan ucapan Rhino, Sam masih berusaha untuk bicara pada Elea. "Galen? Kemana saja kau? Tidak tahukah kau aku mencemaskanmu..." ucapnya tulus, sangat tulus, itu mungkin ucapan yang paling tulus yang pernah Sam ucapkan pada Elea.

Tidak mendapat respon, Sam berusaha untuk mendekat. Tapi tubuhnya langsung didorong oleh Rhino. Rhino tidak membiarkannya mendekati Elea, dia bahkan langsung membawa Elea pergi.

Sama halnya dengan Sam yang sangat antusias untuk bertemu dengan Elea. Felix tidak kalah antusiasnya, dia menunggu dengan sabar di kelas mereka. Felix terus memandangi pintu kelas, berharap Elea akan muncul di pintu itu. Dia langsung tersenyum saat melihat seorang gadis hendak masuk ke dalam kelas, tapi senyumnya langsung hilang saat tahu itu bukan Elea tapi Qiana. Dan Qiana langsung menghampiri Felix.

"Felix..."

"Hentikan Qiana aku tidak mau dengar lagi." Felix langsung memotong ucapan Qiana. Dia tidak mau dengar apa-apa lagi dari Qiana. Selama Elea tidak masuk, Qiana selalu berusaha untuk mendekati Felix, meskipun Felix terus menolak. Dia terus berkata pada Felix bahwa Elea sudah tidak punya perasaan lagi padanya. Dia bahkan menjelek-jelekkan Elea. Felix sudah muak dengan itu semua.

"Biar aku tekankan sekali lagi Qiana, aku tidak akan percaya lagi dengan ucapanmu. Dan sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa menggantikan Elea." tegas Felix.

Qiana hanya bisa terdiam, menahan air matanya. Dia merasa tersakiti dan kesal. Tidak pernah dia merasakan dan menerima penolakan. Tapi kali ini dia ditolak dengan telak, bahkan sebelum dia mengatakan isi hatinya. Merasa air matanya sudah tidak bisa ditampung lagi, dia langsung berlari keluar dari kelas itu.

Qiana berlari masuk ke dalam toilet, tidak ingin orang-orang melihatnya menangis. Rasanya dia ingin sekali berteriak meluapkan amarahnya, dia sangat kesal dan marah. Menarik nafasnya beberapa kali, dia memutuskan untuk membasuh wajahnya dan memperbaiki riasannya.

Selesai dengan urusannya, dia segera keluar dari toilet tersebut. Saat di hendak keluar, dia tidak sengaja bertemu dengan Elea, orang yang sebenarnya sangat tidak ingin dia lihat. Tapi mengingat penolakan yang baru saja dia terima, Elea langsung menjadi sasaran amarahnya.

Dia menarik Elea masuk ke dalam toilet dan menyudutkannya di pojok. "Galen, kau pikir siapa dirimu? Apa kau merasa dirimu adalah seorang putri? Hingga berani untuk tebar pesona kesana sini?" ucap Qiana ketus, menatap Elea dari atas hinggaa ke bawah. Elea tidak dapat melawan, tubunya masih lemah bahkan saat itu dia sedang menahan rasa sakit di perutnya.

"Lihat dirimu, kau bahkan terlihat seperti mayat hidup. Harusnya kau tidak usah kembali lagi, teruslah menghilang. Kalau perlu untuk selama-lamanya."

Elea tetap tidak mempedulikan semua yang Qiana katakan. Dia ingin segera pergi dari sana, dia sudah tidak dapat menahan rasa sakitnya.

"Hei aku ini sedang bicara denganmu, kau berani mengacuhkanku!!!" Qiana merasa tidak terima diabaikan oleh Elea, meraih kedua bahu Elea dan mengguncangnya dengan kuat. Tetap tidak mendapat respon dari Elea, dia makin emosi dan menghempaskan kuat tubuh Elea ke tembok. Tubuh Elea yang sudah lemah itu terpental di tembok lalu jatuh tersungkur ke lantai.

Elea langsung mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Lalu dia melihat sesuatu berwarna merah pekat mengalir diantara kakinya. Elea yang tidak dapat menahan rasa sakitnya itu akhirnya kehilangan kesadarannya. Sedangkan Qiana yang terkejut melihat keadaan Qiana merasa takut dan segera lari keluar membiarkan Elea yang terbaring di lantai toilet dengan darah yang terus mengalir.

Tidak lama setelah Qiana pergi, seorang murid masuk ke dalam toilet dan dia sangat terkejut saat melihat ada orang pingsan disana. Murid itu berteriak histeris mengundang perhatian orang-orang disekitar toilet.

Rhino yang memang sedang mencari Elea, melihat kerumunan di dekat toilet dan langsung mendekati kerumunan itu. Saat dia melihat apa yang jadi pusat perhatian orang-orang itu, dia langsung saja menerobos kerumunan itu untuk bisa masuk. Mengangkat tubuh lemah Elea, menggendongnya dan langsung membawa Elea pergi.

*

*

Daniela berlari dengan tergesa di lorong rumah sakit, diikuti Bob dan Geya dibelakangnya. Mereka melihat Rhoni, ruangan didepannya masih tertutup rapat dan lampu yang terdapat diatas pintu ruangan itu masih menyala dengan warna merah.

Rhino terus memegangi kepalanya, mencengkram kuat rambutnya. Dia marah pada dirinya kenapa dia selalu tidak ada saat Elea mngalami hal buruk. Sesekali dia juga menampar pipinya, memaki dirinya sendiri dalam hati.

Daniela menghampirinya dan menahan tangannya agar dia berhenti menyakiti dirinya sendiri. "Nak Rhino..." ujarnya lembut, Rhino menatap wajah wanita paruh baya didepannya itu, raut wajah Rhino menunjukkan betapa dia sangat menyesal atas apa yang terjadi dengan Elea, dia gagal menjaga Elea. Dia langsung berlutut dihadapan Daniela, air matanya sudah pecah dan mengalir begitu deras. Daniela tidak tega melihat Rhino seperti itu, dia mengangkat tubuh Rhino bangun. Menepuk bahu Rhino perlahan, mencoba menenangkan Rhino. Meskipun tangannya sendiri sebenarnya masih gemetaran. Bob dan Geya yang menyaksikan itu semua juga ikut menangis.

Perhatian mereka kemudian teralih saat mendengar suara pintu yang dibuka dan seorang dokter kelura dari ruangan itu. "Keluarga nona Galen?"

Mereka berempat langsung menghampiri dokter itu. "Saya ibunya dok..." ucap Daniela gusar. "Bagaimana kondisi putri saya dok?"

"Putri anda sudah melewati masa kritis, hanya saja kondisinya masih sangat lemah." mendengar itu, sedikit perasaan lega menghampiri mereka berempat. "Tapi apakah dia memiliki riwayat penyakit tertentu?"

Daniela tersentak saat dokter menanyakan hal itu. "Elea... putri saya punya riwayat 'PTSD' dok..."

Dokter itu mengangguk, "Itu menjadi salah satu pemicu yang memperburuk kondisinya. Sepertinya putri anda mengalami stress berat." Daniela langsung tertunduk, dia tidak sadar penyakit Elea kambuh, dia bahkan tidak tahu jika putrinya itu sedang stress berat.

"Dan satu lagi..." lanjut dokter itu tapi ekspresinya terlihat tidak baik membuat mereka kembali tegang.

"Maaf... kami tidak dapat menyelamatkan calon cucu anda." mendengar itu sontak mereka berempat terkejut. Amat sangat terkejut dengan kabar itu. Geya sudah menutup mulutnya dengan kedua tangannya, menahan suara tangisannya agar tidak keluar. Bob mengepalkan kedua tangannya kuat, matanya begitu merah entah itu karena menangis atau menahan amarah.

"Apa dok...?" tanya Daniela, bibirnya bergetar. Tubuhnya hendak tumbang jika tidak langsung ditahan oleh Rhino dan Bob.

"Putri anda sedang mengandung, tapi sayangnya di mengalami keguguran."

*

*

Elea sudah dipindahkan ke kamar inap. Daniela dan Geya menemaninya di dalam sedangkan Rhino dan Bob menunggu di luar.

Rhino sudah menceritakan pada mereka. Di malam perayaan itu berlangsung, saat Rhino menemukan Elea sendirian di dalam gudang. Kondisi Elea saat itu sangat kacau, dapat langsung disimpulkannya kalau Elea baru saja mengalami pelecehan di tempat itu. Rhino sudah berusaha untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tapi Elea mengatakan kalau dia tidak bisa mengingat apapun, dia juga meminta Rhino untuk merahasiakan kejadian itu dari siapapun.

"Tidak kak, kita harus melaporkan kejadian ini. Siapapun pelakunya harus mendapatkan ganjaran yang setimpal." Bob berkata tegas dan suara yang keras, dirinya tidak peduli jika sedang berada di rumah sakit. Dia sudah sangat marah, kesal, kecewa, tidak terima semuanya sudah jadi satu.

"Kakak harusnya langsung cerita pada kami, setidaknya kita bisa memikirkannya bersama. Dan... dan hal ini tidak akan terjadi pada El..." dia menatap Rhino penuh kekecewaan.

"Itu semua keinginan Elea, aku tidak bisa memaksanya. Tidak saat dia sedang dalam kondisi seperti itu. Dia bahkan tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya malam itu." Rhino mengusap kasar wajahnya dengan kedua tanganya. Dia juga marah tapi baginya keinginan Elea adalah yang utama. "Aku... aku juga tidak tahu kalau dia... dia sedang..."

"Aku tetap akan melaporkan hal ini. Aku tidak bisa membiarkan pelaku itu bebas begitu saja." Bob menegaskan lagi.

Geya kemudian datang menghampiri mereka, mengatakan kalau Elea sudah sadar dan ingin bertemu dengan mereka berdua. Bob dan Rhino segera masuk ke dalam, mereka melihat Elea sedang berusaha duduk diranjangnya dibantu Daniela.

Bob berjalan mendekati Elea, menatap mata Elea yang masih lesuh. Kedua tangan Bob terangkat sedikit, ada keraguan diwajahnya untuk lebih mendekat ke Elea. Saat dia melihat Elea mengangguk dengan pelan, tanpa pikir panjang dirinya langsung memeluk Elea tidak terlalu erat tidak mau makin melukai tubuh Elea. Dia mulai menangis dibahu Elea.

"Maaf..." kata itu yang terucap pelan dari bibir Elea.

Bob langsung menggeleng. Dia melepas pelukan itu, dipegangnya kedua bahu Elea. "Jangan minta maaf... itu bukan salahmu..." Ucapnya masih berlinang air mata.

"Aku akan membalasnya untukmu El. Tidak akan kubiarkan mereka lepas. Mereka harus membayar semua ini. Itu janjiku padamu..."