webnovel

DELISA, PEREMPUAN MENYEBALKAN

Calista memilih bungkam masih dengan keadaan tubuhnya yang menggigil dan wajah yang memucat. Kedua tangannya yang mengalung pada leher Xander perlahan ia lepas dengan setengah hati.

Xander mendudukan gadis itu di atas ranjang kamar Calista sendiri, lantas kedua kaki panjang itu menuju kamar mandi dan meraih handuk putih yang biasanya gadis itu pakai saat mandi.

Siapapun yang melihat wajah Xander pasti memilih tak membuka suara apapun, bahkan nyali Calista kini padam seketika saat aura negatif yang menguar dari tubuh laki-laki itu membuat tubuh kecilnya kembali meremang.

Tubuh mungil dengan piama basah itu langsung tersentak saat merasakan sapuan lembut pada rambutnya. Calista mendonggak, mengamati kegiatan Xander mengeringkan rambut basahnya setelah mengatur suhu kamarnya agar lebih hangat.

Tangan kekar itu menyapu rambut panjang Calista, mengusapnya perlahan dengan handuk putih yang diambilnya di kamar mandi masih dengan mulut yang bungkam. Sepertinya Calista salah bertindak kali ini, harusnya ia tak berlaku seenaknya pada laki-laki yang sudah jelas berbaik hati pada dirinya tanpa ia minta.

Tapi mengapa setiap Xander berdekatan dengannya, ingatan buruk masa kecil muncul dan kerap membuatnya mimpi buruk? Calista tak ingin menyangkalnya, ia ketakutan saat terlelap sendirian malam-malam.

"Mandilah, jangan terlalu lama. Lalu beristirahatkah tanpa perlu bertingkah lagi," ujar Xander dengan nada memerintah. Calista kembali tersadar pada dunianya, kemudian mengerjapkan kedua kelopak mata saat Xander dengan santainya berbaring di atas ranjang dalam kamarnya dan mulai memjamkan matanya dengan napas yang teratur.

Tanpa bersuara atau sekadar menjawab perintah Xander, Calista membawa tubuh basahnya menuju walk in closet lebih dulu, mengambil stelan piyama baru dan membawanya ke kamar mandi untuk menjadi bajunya bajunya setelah ini.

Deritan pintu kamar mandi yang tertutup membuat Xander menoleh, laki-laki itu kembali memejamkan matanya sejenak. Kemudian kembali menghela napas lelah akan jalan cerita romansanya yang tidak seindah orang lain. Ia memijit pangkal hidungnya, nyeri pada kepalanya mulai terasa sekarang. Apalagi mengingat baju yang dipakainya saat ini masih kemeja hitam yang sama saat menceburkan diri ke dalam kolam.

Tunggu, kasur dan baju basahnya? Xander langsung turun dari ranjang Tita saat menyadari bedcover merah muda milik gadis itu basah karena dirinya merebahkan tubuh di sana.

See, mengapa dirinya kian tak fokus seperti ini?

Tak ingin berlama-lama berpikir, langkah kaki Xander memilih keluar dari kamar Tita. Meminta dua maid yang tempo hari membereskan pakaian gadis itu untuk mengganti sprei dan bed cover miliknya. Sedangkan langkah kakinya memilih untuk memasuki kamarnya sendiri. Setidaknya Xander ingin mandi dan mengganti baju basahnya juga.

"Tita berbeda, Xan. Ia sudah lebih dewasa dibanding dengan pertemuan kalian beberapa tahun silam. Semuanya beranjak, berkembang, dan menciptakan ruang jarak antar manusia satu dan manusia yang lain." Jonathan berkata bijak ditengah kebungkaman Xander.

***

Maid yang seblumnya sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-mamsig langsung tunduk hormat saat wanita dewasa masuk begitu saja lewat pintu utama.

Kacamata hitam yang bertenger pada hidung mancungnya sengaja tak wanita itu lepas, balutan tubuh tinggi dan proposial dengan gaun merah menyala membuat kepercayaan diri wanita itu meningkat, serta highheals tiga centi yang membalut kaki jenjangnya melangkah maju tanpa gentar menuju ruang utama lantai satu. Siapapun yang melihatnya pasti terpana, tak ada pengecualian di sini.

"Selamat datang, Nyonya Delisa," sambut kepala maid bernama Amera dengan wajah tertunduk sopan.

Benar, wanita dewasa itu Delisa. Bila dideskripsikan, rambut model layer bergelombang nan menjuntai sampai ke pinggang serta lipstik merah merona yang menjadi karakteristiknya.

"Dimana Xander?" tanya Delisa tanpa basa basi. Kaca mata yang sebelumnya bertenger pada hidungnya kini ia lepas, netranya sibuk bergulir ke arah lain dengan harapan dapat bertemu dengan laki-laki yang dicarinya.

Kepala maid itu setia menunduk, "T-tuan sudah berangkat ke kantor sejak pagi-pagi sekali, nyonya," jelasnya.

Delisa memutar bola mata malas, ia mendorong pelan tubuh kepala pelayan itu. Membuat Amera terpaksa menyingkir dan memberikan Delisa jalan menuju lantai dua. Delisa tak akan mempercayai orang sebegitu mudahnya, setidaknya sampai ia tak menemukan Xander di dalam kamar laki-laki itu sendiri.

Beberapa pengawal yang berjaga memilih bungkam, Delisa masih mempunyai hubungan dengan sang tuan. Apalagi mengingat Delisa sangat terkenal di dunia malam dan dunia bawah, saat wanita itu punya sasaran, maka saat itu juga sasarannya harus tumbang. Ia bukan hanya wanita biasa, Delisa berbahaya amat sangat. Itu pandnagan manusia-manusia yang mengenalnya di dunia bawah juga.

"Apakah ada orang yang menempati kamar ini?" tanya Delisa. Langkah kakinya berhenti pada pintu kamar di samping kamar Xander, itu kamar Calista. Delisa menyadarinya karena Xander tak pernah meminta pengawalnya berjaga di depan pintu bila tak ditempati. Sedangkan dua penjaga yang ditanya dan bertugas tak jauh dari pintu kamar Calista langsung menunduk. Di satu sisi, mereka berdua takut berhadapan dengan Delisa karena sebuah kebohongan. Namun di sisi lain, Xander tidak memperbolehkan pekerja di sini memberitahukan keberadaan Calista pada siapapun.

Belum sempat dua pengawal dengan seragam jas hitam itu itu bersuara, decitan pintu terbuka disusul munculnya Calista yang kini rapih dengan dres santainya.

Delisa langsung menoleh, kemudian memiringkan kepala saat dirasanya tak mengenali siapa gadis kecil itu. Kedua alis wanita itu ikut terangkat, kemudian senyum miringnya tampak begitu saja. Apa gadis itu mainan baru Xander?

Sedangkan Calista menatap Delista tak mnegerti, siapa perempuan tinggi bak model itu? Mengapa wajahnya sangat familiar di mata Calista?

Memilih memendam pertanyaan yang menggunung pada pikirannya, Calista melangkahkan kaki menuruni anak tangga tanpa mengindahkan tatapan protes yang dilayangkan wanita bergaun merah yang tidak dikenalnya itu. Xander bilang, jangan berkata banyak atapun memulai dialog baru dengan orang yang tidak dirinya kenal. Jangan salahkan Calista, gadis itu hanya ingin menuruti perkataan Xander beberapa tahun silam.

Namun pada anak tangga ke empat, lengan kirinya di cekal. Ralat, dicengkram erat oleh wanita bergaun merah itu. Kuku panjang dengan warna mencolok yang menekan kuat lengannya membuat Calista sedikit meringis, kemudian menoleh ke belakang lantaran tidak terima diperlakukan sedemikian.

Namun bukan tatapan bersalah yang wanita itu pancarkan pada Calista, melainkan raut wajah seperti ... mengejek? Entahlah, Calista tak pernah berhasil mengartikan tatapan orang yang belum dikenalnya.

"Nona, lepaskan cengkramanya. Itu sedikit menyakiti lengan tanganku," ujar Calista dengan suara tenang.

Delisa langsung melepaskan cengkaman tangganya, kemudian melayangkan tangannya pada udara seperti seorang tahanan yang tertangkap basah. Namun bedanya, senyuman miring pada wanita itu belum padam.

Calista memutar bola matanya malas, kemudian kembali bersikap acuh seperti sebelumnya. Langkah kakinya kembali menuruni satu persatu anak tangga dengan waspada, bisa saja wanita yang kini sedang melangkah di belakangnya mendorong tubuhnya hingga menggelinding menuju lantai satu. Hentikan, itu hanya pikiran buruk dan tak jelas Calista, okay?

Langkah kakinya kenuju meja makan, ketidakberadaan Xander di ruangan penuh makanan ini langsung ditangkapnya. Calista mengerti, laki-laki itu pasti sudah berangkat ke kantornya. Mengingat jarum jam sudah menunjuk angka delapan.

Namun saat gerakan tubuhnya hendak mendudukan diri pada kursi yang biasa di dudukinya, Delisa langsung menarik kursi itu untuk didudukinya sendiri. Sedangkan Calista hanya bisa mengumpat dalam hati, kemudian memutari meja dan mendudukan tubuhnya di seberang wanita yang sampai sekarang belum dikenalnya.

"Hah." Delisa menghela napas sebelum memasukan satu butir anggur menggunakan pisau, cara yang cukup antimainstream.

"Harusnya kau berlaku baik denganku, gadis kecil. Mengaku saja, kau jalang baru Xander bukan?"