1 ++

Aku berhasil masuk ke kelasku setelah sebelumnya mendapat lirikan beberapa siswa yang aku lewati di koridor tadi. Tidak ada yang istimewa. Tatapan-tatapan iri dan semacamnya sudah aku dapatkan sejak aku mendapat peringkat pertama satu angkatanku, dan beberapa kali mendapat medali emas olimpiade sains dan matematika. Ah, juga beberapa medali emas untuk lomba renang antar sekolah.

Tapi, hari ini memang lirikan itu agak tampak berbeda. Mungkin karena kejadian yang menggemparkan--namun menyebalkan bagiku-- satu bulan yang lalu di papan pengumuman peringkat. Orang-orang mungkin ingin tahu bagaimana responku akan hal itu. Entahlah, aku tidak peduli. Hal yang aku pedulikan saat ini hanyalah; aku sudah siap menginjakkan kakiku di kelas 12.

Persiapanku di kelas 12 lumayan terhitung matang, menurutku. Selama liburan kenaikan kelas, Aku menghapal semua materi yang akan dipelajari di kelas 12. Bahkan aku menghapal beberapa rumus matematika, kimia juga fisika yang mungkin akan hadir di pelajaran kelas 12.  Intinya, persiapanku di kelas 12 sudah lumayan matang. Tinggal meningkatkan keaktifanku di kelas saja. Aku harus lebih banyak bertanya.

Namun, setelah aku mendatangi kelasku, semua persiapanku selama liburan bulan kemarin terasa sia-sia. Bagaimana tidak?

Rendra si perebut tahtaku, berada di kelas yang akan menjadi kelasku satu tahun ke depan.

Mimpi burukku ternyata belum selesai. Bolehkah aku berteriak sekeras mungkin di depan kelas yang sudah diisi oleh beberapa orang yang sekilas kulihat ada 10 orang? Ini tidak termasuk rencana. Aku benar-benar tidak menduga hal-hal yang cukup besar untuk ku handle. Seperti sekarang, dimana Rendra berada di kelas yang sama denganku.

Orang yang baru kubenci berada di satu ruangan yang sama denganku.

Orang yang merebut tahtaku akan berada dalam satu kertas absen yang sama denganku.

Apa yang harus kulakukan?

Wahai kerang ajaib, bisakah kau melenyapkan lelaki itu sekarang juga?

"Oi! Ngapain lo berdiri di depan pintu? Ngalangin pangeran lewat aja lo, La!" seru Reza, salah satu teman yang pernah satu kelas denganku di kelas 10. Reza memang suka berteriak kalau bicara. Agak menyebalkan, tapi masih bisa kutangani.

"Apaan sih, Rez. Jangan teriak depan telinga gue juga kali. Gue masih ingin mendengar suara gue yang indah." Aku membalas Reza dengan sedikit berteriak.

Reza mengernyit ngeri, "Dih, gila lo. Suara kayak cicak kejepit aja bangga. Lagian lo ngapain masih di depan pintu sambil bengong, sih?"

Aku hanya mengangkat bahu tak menjawab pertanyaan Reza. Mengalihkan tatapanku ke lelaki yang sedari tadi aku adukan pada kerang ajaib, yang sekarang menatapku balik sambil tersenyum miring. Menyebalkan. Haruskah aku berteman dengan Spongebob agar keinginganku terkabul?

Aku kemudian melangkah menuju bangku yang berada paling depan dekat jendela, menghiraukan Reza yang mengeluh tak mendapat balasan dariku. Bukankah tempat di dekat jendela itu yang paling diincar? Selain nyaman, kita juga bisa mendapat asupan vitamin D dari sinar matahari di pagi hari, juga tak lupa bisa belajar tanpa harus terhalang oleh siapapun.

Tempat yang nyaman. Hanya saja, kelas ini yang tidak nyaman. Benar-benar mimpi buruk.

"Anna! Sini duduk bareng gue," ajakku pada Anna yang baru saja datang. Dia salah satu teman dekatku sejak kelas 10 yang sempat terpisahkan di kelas 11. Anna berjalan ke arahku dengan senyum manis dan lesung pipit yang menggemaskan. Benar-benar khas Anna.

"Gila gak, Lul? Kita sekelas sama Rendra. Wah, gils." Anna tiba-tiba berkata seperti itu saat sudah duduk di sebelahku.

"Yang ada tuh nyebelin. Kenapa pak Aris harus nyatuin gue sama si pencuri itu di kelas yang sama? Ini bener-bener bikin gue hilang akal selama beberapa saat setelah gue masuk kelas ini, tahu gak?" Aku melengos pelan ke arah depan.

"Iya, tapi ini tetap gila, Lul. Orang yang kemarin 'nyuri' peringkat lo, satu kelas sama lo sekarang. Ini benar-benar luar biasa. Pak Aris mau bikin drama kali buat perpisahan kita nanti." Anna tertawa setelah menyelesaikan perkataannya.

"Terserahlah, gue gak mau konsentrasi gue hilang kalo gue tetep mikirin hal ini. Gue gak tahu kedepannya akan gimana. Lo siap-siap aja tahan gue jika ada hal yang membuat gue ingin meledak," kataku dengan nada yang kubuat serius. Ini sebenarnya memang hal yang serius. Tidak boleh dianggap remeh buatku.

Anna tertawa sambil melihatku. "Astaga, Lula. Lo tuh overacting banget. Tapi, tenang aja, gue bakal ngiket lo kalo ada apa-apa. Lo bisa percaya gue." Setelahnya, dia kembali tertawa. Dasar Annabelle.

Aku hanya melengos, lalu mengeluarkan alat perangku--alat tulis dan buku pelajaran-- dan memulai belajar. Itu keharusan, ingat, aku tidak boleh lengah. Rendra tidak boleh kembali mengambil posisiku.

Cowok itu memang terlihat tidak pernah belajar, tapi siapa yang tahu. Mungkin saja dia menyewa belasan tutor untuk mengajarnya.

Siapa yang tahu?

avataravatar
Next chapter