46 Setelah ketegangan

[Chapter ini mengandung kata kasar dan kekerasan! Mohon bijak dalam membaca, jangan ditiru!]

"Ini tangan yang nampar Raya tadi?" suara serak dan berat milik Bimo terdengar, membuat semua orang disana bergidik ngeri. Ia mulai menekan telapak tangan Dika dengan ujung kakinya, bersamaan dengan pekik suara Dika yang kesakitan. Bimo seolah ingin mematahkan tangan itu, tak terlihat darinya keinginan untuk memberi pengampunan.

Dika, cowok dekil itu menangis meraung-raung dengan wajah sudah babak belur dan berdarah-darah, meminta Bimo untuk berhenti sembari mendorong punggung sepatu Bimo dengan sebelah tangannya yang lain. Ia bahkan meminta ampun dan memohon pada Bimo untuk melepaskan dia.

Bayu dan Akbar berusaha sekuat tenaga menarik Bimo yang sudah kalap.

"Bim! Eling! mati anak orang nanti!" seru mereka berdua hampir bersamaan. Mulut mereka tak berhenti menyadarkan Bimo dengan tangan yang terus berusaha menjauhkan Bimo dari anak itu. Bimo bergeming, tetap dengan tatapannya yang lurus tanpa ekspresi pada Dika di bawah kakinya. Seolah-olah ia mendadak budeg dan pakai kacamata kuda sehingga membuatnya tak sadar dengan sekelilingnya.

Aku sesenggukan melihat Bimo seperti itu, benar-benar takut, tanganku gemetar menyaksikan ini semua. Anak-anak kantin belakang segera menyebar mendekati semua kawan-kawan Putri, mengancam mereka untuk tidak ikut campur jika tidak mau masalah nya jadi panjang dan berakhir tawuran.

"Ray! Suruh pacarmu berhenti! bar-bar banget sih kalian!" pekik Putri padaku dengan tangis yang sudah menjadi-jadi, aku tidak tahu harus merespon bagaimana, hanya bisa ku pandangi Putri dari tempatku berdiri. Aku juga sama syoknya dengan dia.

"Kayaknya hari ini terpaksa ingkar janji buat gak mukul perempuan nih ...." celetuk salah seorang yang berdiri diantara aku dan Putri, itu adalah Agus, bicara seperti tadi sambil mengangkat kepalan tangannya ke depan wajah lalu melirik Putri.

Seketika Putri diam, tak berani bicara lagi, takut kena pukul seperti aku. Mungkin dia pikir, dia bisa saja dipukuli disini karena kawannya sudah memukul aku duluan.

Kak Damar dan kak Yogo, ikut membantu Akbar dan Bayu menarik Bimo dari ketidak sadarannya sampai kaki Bimo terangkat dari telapak Dika yang sudah seperti tempe penyet. Paling tidak, tulang pada telapaknya retak dan aku yakin sekali itu pasti sangat sakit.

Dika memegangi pergelangan tangan yang telapaknya sudah remuk, ia berguling menahan sakit. Tak ada satupun kawannya yang berani bergerak untuk menolong, semuanya merasa ciut.

Cewek-cewek rombongan Putri semua berkumpul dalam satu gerombolan dan hanya bisa meringis ngeri melihat kawannya babak belur, ada beberapa orang yang menangis termasuk pacar si Dika itu. Sedangkan untuk teman-teman Putri yang cowok, sudah di redam oleh kawan-kawan Bimo agar tak berkutik bahkan se-inchi pun.

"Bim, udah woy! lihat itu Raya sudah ketakutan!" sentak kak Yogo sambil mencengkram kerah Bimo yang masih juga berusaha mengejar Dika, ingin membenturkan lututnya pada kepala Dika, rupanya dia masih geram.

Bimo terhenti, lalu menoleh kepadaku, masih dengan wajah tanpa ekspresi yang menakutkan buatku itu. Ia mulai melangkah menghampiri aku, seketika tanganku gemetar lebih hebat tanpa bisa ku kendalikan. Tanpa sadar, aku mundur selangkah saat Bimo tiba di hadapanku. Kepalaku tertunduk dengan sendirinya karena takut menatap wajahnya, jantungku tidak bisa berdetak normal.

Ia menghela napas panjang, seolah sedang gusar. Bimo meraih lengan atasku sedikit keras lalu membimbing aku berjalan mengikutinya.

"Bar! bubarin!"

Ucapnya pada Akbar, setelah berhenti sejenak lalu kembali membawaku berjalan menjauhi warung Mbah Rimbi.

Ia membawaku menuju sekolah lewat pintu gerbang belakang yang akan langsung tembus ke pekarangan sekolah tempat rumah pak Budi atau kantin belakang yang biasa kau tahu itu berada.

Saat sudah memasuki area sekolah, Bimo sedikit menyentakku dan mendorong tubuhku, dengan kedua tangannya memegang sisi bahuku agar aku menyandar pada dinding pagar belakang sekolah.

Aku terkesiap, dia berdiri menghadap aku dan menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang ia tumpukan pada dinding pagar di belakangku, tubuh Bimo yang tinggi dan lebih besar dariku, sukses mengurungku diantara dinding dan dia. Bimo nampak benar-benar berusaha menelan emosinya.

Tak ada seorang pun terlihat berseliweran di sekolah, karena bel pulang sekolah memang sudah sejak tadi berdentang, ditambah hari ini guru-guru banyak yang pergi menghadiri rapat di dinas untuk membicarakan soal ujian nasional bagi siswa kelas 3 nanti. Syukurlah, karena setidaknya kami tidak akan di sidang hari ini juga oleh pak Baroto.

Bimo masih menatap tajam padaku yang masih tergugu setelah banyak memangis tadi, dia benar-benar menakutkan. Apa memang Bimo terlihat seperti itu jika sedang berkelahi? Tanganku sampai gemetar hanya karena melihat aksinya saja, apalagi jika aku yang di hajar seperti Dika tadi, oh ... tidak! itu ngeri. Dika pasti masuk rumah sakit setelah ini.

"Bukannya sudah aku bilang untuk gak ikut campur Ray?!" sentaknya padaku tiba-tiba setelah diam menatapku agak lama. Aku sedikit terkejut, tangisku makin jadi, tanganku masih saja gemetar sambil mencengkram ujung kemeja seragamku yang sudah keluar dari sela rok.

Jangankan untuk menjawab omongan Bimo, menghentikan sesenggukanku saja aku kesulitan.

"Apa susahnya sih nurut?!" ujarnya lagi tak kalah keras dari yang tadi. Aku paham, sangat paham kenapa Bimo marah seperti ini.

"Hhaaaaaaakkhhh ...."

Ia menghela nafas berat sambil memukul dinding tempat aku menyandar dengan satu tangannya, melampiaskan frustasi yang ia rasa, Bimo lalu menenggelamkan wajahnya pada pundakku, lama dia terdiam disana, kurasakan nafasnya yang mulai teratur menyapa leherku. Aku pun mulai bisa mengendalikan diri dari sesenggukan tangis.

"Maaf ...." bisikku lirih tanpa menghadapkan wajahku padanya, tapi aku tahu dia dengar.

Dikecupnya pelan leherku, lalu ia angkat wajahnya jadi kembali menghadapku, tak ada lagi wajah tanpa ekspresinya, yang ada hanya mata sendu miliknya yang sudah berbingkai kemerahan pada sekeliling kelopaknya, seolah ia menahan tangis karena melihat wajahku yang sudah babak belur.

Ia kembali membimbingku berjalan tanpa sepatah kata, kali ini dengan lembut dia meraih telapak tanganku dan menggenggamnya, meredakan gemetar yang sedari tadi tak kunjung hilang.

Rupanya ia membawaku ke kantin pak Budi, lalu dengan sigap ia mencari es batu, mengambil seragamnya yang sudah ia jejalkan asal ke dalam tas miliknya kemudian membungkus es batu tadi dengan baju seragamnya dan mulai mengompres pipiku.

Dingin menyapa pipiku yang kebas, nyerinya juga terasa makin menjalar ke mata kananku, sepertinya mataku juga kena dan kini bengkak. ujung bibirku sangat perih saat Bimo mencoba membersihkan sedikit darah yang keluar karena robekan di sudut bibir itu. Aku jadi mengingat lagi, tangan yang tadi menamparku itu besar bahkan lebih lebar dari sebelah pipiku, sehingga wajar jika pukulannya mengenai telinga dan juga sisi luar mataku, juga Aku sempat goyah dan hilang keseimbangan.

Anak-anak lainnya baru saja tiba di kantin belakang bersama Dwi dan Sari yang langsung menghambur padaku. Sari memegang erat tanganku seolah dia sangat amat menyesal dan merasa berhutang budi.

Bimo menatap kesal pada Sari, seakan ingin mengusirnya pergi dari pandangannya sekarang juga.

"Sudah Bim! cewek itu, jangan di apa-apain" kata kak Damar, setelah menyadari kemana tatapan Bimo mengarah. Bimo diam saja dan melanjutkan pekerjaannya pada pipiku tadi, sedangkan Sari hanya tertunduk.

"Udah beres semua, gak kayak Pertiwi, Mandala bocahnya lembek semua. Taunya cuma gaya" lapor Akbar entah pada siapa.

"Harus tetep di pantau, barangkali mereka banci kayak Pertiwi yang milih ngeroyok anak sekolah kita yang gak ngerti apa-apa." kata Kak Damar menanggapi laporan Akbar.

"Kalo itu gampang kak, aku punya senjata pamungkas. Hehehehe" tandas Akbar dengan senyum licik di wajahnya. Disambut senyum puas yang lain.

Aku sama sekali tak mengerti arah obrolan mereka, seakan mereka ini bicara pakai bahasa Zimbabwe.

Kemudian, mereka semua mulai mengintrogasi Sari untuk tahu apa masalah sebenarnya, karena mereka memutuskan untuk terlibat tadi. Sari menceritakan semuanya dengan ucapan yang beberapa kali terhenti karena menahan tangis. Kami semua mendengar dengan serius apa yang dia ceritakan.

Ternyata, Sari tahu bahwa Dika selingkuh saat tidak sengaja melihat Dika sedang makan bersama cewek lain kemarin. Makanya hari ini dia minta Dika datang kesini setelah pulang sekolah untuk membicarakan masalah itu setelah sedikit berdebat di telfon saat Sari minta dia datang.

Tapi betapa Sari terkejut karena dia datang tidak sendiri melainkan membawa serta kawan-kawan gerombolannya, hal itu membuat Sari kesal dan akhirnya marah pada Dika, yang tidak Sari sangka adalah reaksi teman-teman dan termasuk pacar si kampret itu yang menyudutknnya, seolah-olah jadi Sari yang salah disini.

Dia di dorong sampai jatuh terduduk di tanah setelah berdebat dengan cewek-cewek dari genk itu, sedangkan para cowok hanya duduk di jok motor mereka sambil nontonin Sari yang benar-benar di permalukan. Sampai akhirnya kami datang menghampiri dia tadi.

Sari bilang, Dika itu seringkali minta dikirim pulsa atau minta di belikan hal-hal yang sebenarnya remeh, tapi tetap saja bukankah memalukan meminta-minta pada cewek? Apalagi dia minta cukup sering, bahkan kadang jika makan di luar pun Sari yang bayar. Itulah sebab Sari sampai menyalahgunakan uang baayaran SPP nya.

"Makanya jadi cewek jangan goblok!" celetuk Bimo tanpa menatap orang yang ia maksud, dia masih tetap sibuk mengompres pipiku. Tampak beberapa anak lain yang menggeleng-geleng mendengarnya, ada pula yang lalu sedikit tertawa.

Sari hanya diam, dia seolah paham kenapa Bimo sampai berkata begitu.

--o0o--

Sekolah sudah sangat senyap, waktu juga sudah menjelang sore, aku dan Bimo sedang berjalan menuju tempat motor Bimo terparkir. Anak lainnya juga sudah bubar pulang ke rumah masing-masing dan Sari diantar pulang oleh Akbar.

Badanku rasanya tidak ada tenaga, sebenarnya aku masih kesulitan berjalan dengan baik karena keseimbanganku yang masih juga terasa sedikit goyah. Bimo memberikan hoodie besarnya untuk ku pakai saat ini, dia berjalan sejajar denganku. tidak seperti biasanya, kami berjalan dalam diam. Tanpa bisa aku tahan, aku sedikit terhuyung ke samping tiba-tiba, lalu Bimo dengan sigap memegangi aku.

"Sini naik ...," dia berjongkok di hadapanku agar aku bisa naik ke punggungnya untuk ia gendong. Tas ranselnya sudah ia pindahkan ke depan.

"Hah? Gak usah Bim, aku masih bisa jalan. nanti gak enak di lihat orang."

"Siapa yang mau lihat? Sekolah udah gak ada orang." ujarnya.

"Tapi Bim ...."

"Udah naik! Kalo enggak aku tinggal disini." ancamnya, membuat aku terpaksa menurut.

Aku memeluk punggungnya dari belakang, dengan kedua tangan yang aku rangkulkan pada lehernya, dia mulai berdiri menopang badanku dengan kedua tangan berada di sela kakiku, kusandarkan kepalaku pada tengkuknya yang masih terasa wangi khas tubuhnya meskipun dia sudah banyak berkeringat. Ku pejamkan mataku sambil menghirup aroma Bimo dalam-dalam.

"Kamu berat ..." katanya memecah keheningan diantara kami.

"Masa? Kalo gitu turun aja, nanti kamu capek." jawabku, masih tetap dengan posisiku merebahkan kepala pada tengkuknya dan memejamkan mata.

"Gak mau," Aku tahu dia akan bilang begini.

"Tapi kan aku berat."

"Iya, kamu kebanyakan dosa sih, padahal makan gak seberapa, tetep aja berat."

"Haha..Kamu juga kebanyakan dosa, mukulin orang terus"

"Hahahahah...." dia hanya tertawa.

Kami bicara sambil terus jalan menuju motor Bimo, sampai disana ia menurunkan ku lalu menaiki motornya, setelahnya aku ikut naik di jok belakang, kami melaju ke rumahku, kupeluk Bimo dari belakang, menyandarkan kepalaku pada punggungnya yang lebar.

Aku ngantuk, ingin tidur, kepalaku pening ...

To be kontiniu ...

Spoiler chapter selanjutnya : kita lihat reaksi ayah waktu lihat wajah Raya

avataravatar
Next chapter