41 Sarita Ningsih Pradipta

Minggu ini adalah minggu sibuk bagi kami karena ujian mid semester sudah dimulai, Bimo jadi jarang main ke rumah karena dia bilang aku harus fokus belajar dulu, kenapa gak belajar bareng Bimo aja? Kan Bimo pinter. Kamu pasti sudah buka mulut untuk tanya hal itu saat baca bagian atas kan?

Nah, itu ada sebabnya kenapa aku tidak lagi belajar bareng Bimo. Sebelum ujian mid, aku dan Bimo sudah pernah mencoba belajar bareng di rumahku, di gazebo halaman belakang. Bimo yang kasih usul untuk belajar bareng. Buku sudah kami susun dimeja, lengkap dengan gorengan dan es teh se-teko yang diantar Bi Marni untuk menemani kami memeras otak, tapi oh tapi kami malah sulit sekali fokus, bahkan bisa dibilang 5 menit belajar, 30 menit becanda, ketawa, makan gorengan, bikin gambar lucu di lembar paling akhir buku tulis ku dan berakhir ngakak.

"Udah atuhlah..haha...belajar lagi Ray, ini soal latihan yang ini dijawab, perang Pangeran Diponegoro dimana?"

"Hahahah...Perang apa?" balasku sambil membolak-balik buku cetak di tanganku.

"Perang Pangeran Diponegoro DI MA NA? kata Bimo menekankan.

"Hmm..di halaman 25 seingatku"

"Buahahahahhahahahah....maksud aku perangnya terjadi dimana Raaaay...wkwkwkwk"

"Hah? Oh kiraiiinnn...wkwkwkwk"

Yaaah...begitulah kami belajar, absurd sekali bahkan itu hanya sepenggal obrolan kami saja. Pada akhirnya Bimo bilang untuk belajar masing-masing, tak usah lagi lah sok belajar bareng. Hehe

Aku sedang berada di sekolah sekarang, sudah selesai mengerjakan soal Biologi yang tergolong mudah bagiku. Setelah ini akan ada ujian Bahasa Indonesia yang menjadi jadwal terakhir untuk hari ini.

"Ray, ayok ke kantin aja" Dwi menggaet lenganku dan setengah menyeret untuk membimbingku menuju kantin.

"Sari belum selesai Wi?"

"Belum, katanya dia gak belajar semalem"

"kok tumben? Gak bikin contekan juga dia?"

"Gak sempet tuh katanya"

"Serius?? Sari gak sempet bikin contekan?"

"Iyaaa....aneh kan? Dia bilang telfonan sama pacarnya sampe tengah malem, jadi gak sempet"

"Wi, kayaknya Sari udah kelewatan gak sih?" ujarku sambil menghentikan langkahku membuat Dwi melakukan hal sama lalu menghadap aku.

"Aku sependapat Ray, jadi kayak lupa daratan dia"

"Kok gak pernah dia kenalin pacarnya ke kita? Terus sering banget nongkrong dengan kawan-kawan pacarnya waktu pulang sekolah, gak langsung pulang. Aku kok jadi khawatir ya?"

Memang Sari sudah jadian dengan cowok yang dia kenal saat di beringin kembar tidak lama setelah Sari menceritakannya pada kami hari itu, tapi semakin lama kami merasa dia berubah, tidak mau terbuka pada kami seperti biasanya dan cenderung malas bersama kami bahkan untuk sekedar makan di kantin bareng, dia sering menolak dengan alasan kenyang dan seharian hanya akan SMS-an.

"Aku juga heran Ray, kenapa gak dikenalin ke kita itu pacarnya"

"Nanti kita tanya dia deh Wi.."

"Okelah, makan dulu sekarang"

Kami lanjut berjalan menuju kantin. Selesai kami makan, kantin sudah ramai sekali. Kami memutuskan kembali ke kelas karena Sari tak juga nampak batang hidungnya.

"Ray..Ray...tuh liat..." Dwi menyikut lenganku pelan dengan sikunya sembari memberi kode dengan wajahnya agar aku melihat ke arah yang ia maksud.

"Apaan?" tanyaku sambil mengikuti arah pandangannya tertuju.

Aku tertegun. Bagaimana tidak? Yang kulihat saat ini adalah Bimo pacarku, sedang menduduki motor hitam miliknya dengan seorang perempuan bernama kak Laras yang nampak memegang bahu Bimo sebagai pegangan karena dia akan naik ke jok belakang, lalu akhirnya mereka melaju meninggalkan sekolah entah kemana, kami berada di belakang mereka dan berjarak agak jauh sehingga tak mungkin mereka bisa tahu jika kami sedang mengawasi.

Aku lemas, berbagai pertanyaan berkelebat ruwet di kepalaku. Bagaimana bisa mereka pergi berboncengan berdua-duaan?

Apa mereka bolos bersama?

Aakh! Aku benci sekali ini! Aku merasa dikhianati.

Tapi Bimo bukan orang seperti itu, aku tau...sangat tau..bahkan diintip kambing betina pun Bimo akan bilang padaku kalau sedang ditaksir kambing, tapi dia pilih aku katanya tempo hari. Jadi tak mungkin semudah itu ia main serong, tapi logikaku kalah dengan perasaan cemburu yang melahapku saat ini. Aku benar-benar cemburu!

Awas kamu Bim! Aku sunat kamu kalau sampai macam-macam!

"Sabar Ray..." Dwi mengelus punggungku, mungkin saat ini hidungku sedang kembang-kempis menahan gelora emosi kecemburuan yang hakiki. Entahlah, aku tak tahu karena tak ada kaca untuk melihat bagaimana wajahku saat ini.

"Udahlah Wi, balik ke kelas aja kita..." ucapku lemas.

Dwi hanya mengangguk prihatin, entah kenapa dia tidak marah kali ini lihat Bimo seperti itu, biasanya dia akan ngeyel buat mendatangi Bimo saat melihat mereka akan berboncengan, tapi kali ini dia lebih anteng.

"Sar, kok gak nyusul ke kantin sih?" Cerca Dwi pada teman kami satu itu.

"Gak laper Wi, tadi aku bawa roti kok"

"Kamu kenapa jadi gak pernah laper Sar? Kapan kamu makan?" tanya nya lagi.

Sedangkan aku hanya diam memperhatikan. Mungkin pikiran Dwi sedang terforsir pada Sari sehingga ia lupa marah-marah ke Bimo atas kejadian tadi.

"Aku lagi ngurangin makan Wi, lagi diet nih.."

"Hah?! Kamu ngapain diet? Kamu kan gak gendut Sar..."

Aku ikut melongo mendengar jawaban Sari, kenapa tiba-tiba pengen diet?

"Yaah...kurang kurus Wi, biar kayak Raya gitu loh kan bagus..lagian Dika bilang gitu, bagus kalo badanku kaya Raya gitu..hehe"

Kami saling pandang, sama-sama kaget dan terpukul, kenapa ini anak jadi bucin begini? Sari yang biasanya selalu independen, tak memikirkan omongan orang, dan semaunya sendiri ini, kini berubah jadi ekor laki-laki bernama Dika sialan.

Lagipula apa yang salah dengan badan Sari? Dia tidak gemuk, dia lincah dan jika pakai celana jins kakinya juga nampak bagus, rambut sebahunya bikin dia nampak ceria dan enerjik. Kenapa itu cowok kufur nikmat dengan nyuruh Sari diet? Biar apa katanya? Biar kayak aku?

Gimana bisa pacarnya itu tahu denganku? Seingatku aku tak saling kenal dengan pacarnya. Untuk apa dia jadikan aku sebagai tolak ukur.

"Memangnya pacarmu kenal sama aku Sar? Kenapa aku jadi patokan?" tanyaku penasaran. Sebenarnya aku merasa tidak asing dengan wajah pacarnya Sari, hanya tidak ingat pernah bertemu dimana.

"Dika pernah lihat kamu waktu jemput aku, pas itu dia bilang kalau badanku bisa kayak kamu pasti jadi bagus banget, jadi ku pikir-pikir bener juga Ray, soalnya belakangan makanku banyak, terus baju-bajuku banyak yang gak muat lagi...hhhh..." jawabnya kemudian menopang dagu.

"Ah, tetep aja Sar aku gak suka pacar kamu ngomong seperti itu. Kamu itu cantik karena kamu Sari, bukan aku. Jangan membanding-bandingkan. aku lebih suka kamu jadi dirimu sendiri seperti biasa. Kalau mau diet aku gak melarang, hanya perbaiki motivasi diet kamu..."

Aku mulai tak sabar pada Sari, ku jiplak omongan Bimo dulu padaku untuk coba ku terapkan pada Sari pula. Aku tidak mau kawanku jadi kehilangan karakternya hanya demi cowok tak jelas yang kalau di sejajarkan dengan samsul masih lebih ganteng samsul.

"Kamu mau bilang apa sih Ray? Mau bilang kamu gak suka kalo aku ngikutin kamu dan nyaingin kamu biar kamu sendiri aja yang cantik?"

Sari bicara menggebu, nampak kilatan emosi di matanya yang menatapku miring. Aku bingung, kok dia bisa salah tangkap maksud omonganku seperti itu?

"Aku gak bilang begitu Sar.." sanggahku padanya.

"Jadi? Mau bilang apa? Mau bilang aku bodoh karena mau aja ngikutin semua omongan pacarku? Aku juga mau cantik, juga mau banyak yang suka, gak kalah dengan teman-teman cewek satu sekolah Dika yang modis, jadi gak bikin pacarku malu kalau ajak aku kemana-mana. Apa itu salah? Oh! iyalah kamu kan gak pernah ngerasain insecurity kayak gitu Ray, kamu dari orok juga sudah cantik, siapa pun yang lihat kamu pasti mereka bilang kamu cantik! Jadi kamu gak akan ngerti gimana perasaanku."

Sari meninggikan suaranya padaku. Aku yang juga sedang tidak stabil jadi tersulut oleh omongannya barusan, tapi Dwi cepat-cepat menengahi kami saat akan ku balas omongan Sari.

"UDAH! BERHENTI! KENAPA MALAH BERANTEM SIH?!"

Aku memalingkan wajahku, begitupun Sari. Kelas menjadi hening, semua orang disana melihat ke arah kami. Aku memutuskan duduk di bangkuku dan membuka buka pelajaran Bahasa Indonesia.

Aku diam, Sari diam, pun dengan Dwi yang ikut duduk di bangkunya. Kami tak bersuara, hanya suara kertas halaman buku yang di bolak-balik yang terdengar.

Ddrrtt..ddrrtt...

Ponselku bergetar tanda pesan masuk, ku buka dengan malas pesan itu. Ternyata dari Bimo.

>Bimo<3 :

[Ray, kalau sudah selesai ujian, tunggu aku. Aku ada urusan sebentar.]

'Bodo amat!' umpatku dalam hati.

Lengkap sudah rasa kesalku hari ini, tak ku balas pesannya. Urusan apa yang mendesak sampai harus ninggalin ujian mid? Sama kak Laras pula! Gak inget apa orang itu yang nampar aku di depan semua orang waktu itu!

Selesai ujian, aku buru-buru keluar kelas dan berjalan cepat menuju gerbang utama. Aku akan pulang naik angkot hari ini!

Dwi menyusulku dengan perasaan cemas dan bilang untuk jangan berantem dengan Sari, hanya saja saat itu moodku benar-benar tak bagus. Aku melengos saja tanpa menanggapi Dwi. Beruntung angkot sampai di depanku tak lama kemudian, aku lalu masuk angkot dalam diam.

Kulihat Dwi mematung disana dengan wajah sendu, aku tak enak sebenarnya, tapi lebih baik aku segera pulang daripada kutumpahkan amarahku pada orang yang tidak bersalah.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk aku sampai ke rumah. Segera ku lempar tas ku ke lantai, mengunci pintu kamar lalu loncat ke atas kasurku dalam posisi telungkup memeluk bantal. Ah! benar, kunyalakan musik dengan volume keras.

Aku sedang tidak ingin di ganggu!!

avataravatar
Next chapter