45 Konfrontasi

[Chapter ini mengandung kata kasar dan kekerasan! Mohon bijak dalam membaca, dan jangan ditiru!]

"KALIAN SEMUA ANJING!"

Tampak mata-mata terkejut mereka mendapati bentakan yang keluar dari mulutku. Saking emosinya, sampai tak lagi bisa aku mengendalikan mulutku agat tetap jadi mulut cantik nan bersahaja. Tidak bisa, karena kawanku diperlakukan begini.

"Eh kurang ajar! Kau siapa? Gak usah ikut campur!" hardik seorang cewek berbehel kuning yang kesulitan untuk mingkem setelah bicara karena terganjal kawat di giginya.

"KAU ITU YANG SIAPA?! NGAPAIN BIKIN RIBUT DI SEKOLAH ORANG!!" kataku tak kalah keras. Gas terus!

"MALAH NYOLOT! MINTA DI HAJAR!" kali ini cewek yang lain yang ikut bicara, geram padaku karena menjawab kawannya tadi.

"SINI KALAU BERANI SIALAN! KAMU PIKIR AKU TAKUT SAMA KALIAN!" kulepaskan peganganku pada Sari lalu serius menghadap mereka dengan posisi berkacak pinggang. Menantang karena sudah kesal.

Cewek tadi, juga nampak akan beranjak menghampiri aku dengan hidung yang kembang-kempis karena marah, tapi kemudian di tahan oleh Putri.

"Udah-udah ... aku saja yang ngomong" kata Putri pada kawan sekolahnya itu, lalu ia maju mendekatiku.

"Kami gak cari ribut Ray, temenmu itu yang tiba-tiba ribut. Masalahnya sama Dika, tapi dia bawa-bawa kami," Putri menjelaskan.

"BOHONG! KALIAN TAHU SI KAMPRET ITU CUMA MAININ AKU! KALIAN TAU DIA PUNYA PACAR LAIN! KALIAN DIAM AJA!" Sari menyela dengan emosi, kemudian kembali terisak lebih pilu.

Saat ini, beberapa orang yang entah datang darimana sedang memperhatikan kami, ada pula yang berlalu begitu saja. Mbah Rimbi sedari tadi sudah mencoba untuk melerai dan bicara berulang kali agar kami berhenti, tapi tak terhiraukan. Sebenarnya kami memang salah karena berantem di depan warung orang, tapi mau bagaimana lagi, harga diri harus di pertahankan, jangan sampai diinjak-injak oleh remahan biskuit khong guan seperti mereka.

"Kalau memang dia ada urusan dengan Sari, kenapa harus ramai-ramai bawa kalian? Apa dia terlalu pengecut buat ngomong berdua?" sindirku ketus sambil melirik tajam pada cowok dekil yang kini terlihat lebih dekil di mataku. Heran aku, kenapa bisa Sari kepincut dengan keong sawah begini.

"Bukannya sengaja ikut campur Ray, kebetulan aja lagi bareng, dan kesini karena Sari nelfon untuk datang kesini, terus dia malah marah-marah meracau gak jelas ke kami juga," kilahnya.

"Kalian tahu si berengsek itu punya pacar selain Sari kan?" kataku tajam.

"Yah kalau tahu pun bukan urusan kami, Sari nya mau sama Dika, ya kami mau ngomong apa." ujarnya santai seperti bukan sesuatu hal yang salah dan perlu dibahas.

"Kalau aku tahu dia punya pacar, aku juga gak bakal mau sama dia sialan!" Sari bereaksi disela isakannya.

"Denger kan? Kawan kalian itu yang bajingan, masih juga dibelain" seruku.

"Eh! Jalang! kawan mu itu yang kegatelan sama pacarku!" seseorang yang berdiri di sebelah Dika dan sedang memeluk lengan cowok itu membuka mulutnya, bicara padaku. Bikin aku tidak habis pikir, kenapa jadi perempuan gampangan sekali sih.

"KAU YANG JALANG! Sudah jelas di selingkuhin masih juga nempel, punya otak gak sih? Gampangan banget jadi perempuan!" nyinyirku padanya.

"Apa kau bilang? Kawanmu itu yang gampangan! main buka selangkangan biar cowok mau sama dia!"

Sari makin tergugu pilu, aku tersentak mendengarnya, pun dengan Dwi yang nampak geram sekali.

"Jangan sembarangan kalo ngomong!" hardikku.

"Haha ... gak tau ya kawannya begitu! Kasiaan ...." tampak di mataku cowok berengsek itu mengulum senyumnya.

"Udah gak usah di perpanjang lagi lah Ray, kan sudah beres urusan Sari sama Dika, dia juga yang duluan nyeret kami ke masalah hubungannya. Jangan salahkan kami dong" kata Putri padaku, bikin aku tambah mendidih.

Bisa-bisanya di bicara begitu setelah mempermalukan Sari seperti ini, jelas-jelas mereka salah karena membiarkan Sari tidak tahu kalau Dika sudah punya pacar, apa maksudnya melakukan itu? Mereka semua harus diberi pelajaran!

"Kamu gak pernah berubah ya put, masih suka jadiin temenmu umpan demi kesenanganmu aja." ucapku padanya dengan senyum merendahkan yang kutujukan pada Putri.

"Maksudmu apa?! Bukannya kita gak ada masalah? Kamu mau ngungkit yang dulu-dulu? Oke! Perlu aku bilang sama semua orang gimana kamu dulu Ray?!" ujarnya dengan mata mendelik padaku.

Dia pikir aku takut? Bukan Raya namaku kalau hanya segini saja ciut!

"Apa?! Memangnya aku dulu kenapa? Kamu yang suka nyeret aku kesana-sini supaya bisa dekat dengan cowok-cowok yang suka deketin aku! Memangnya kamu mau dengar saat aku bilang padamu berulang kali kalau aku gak mau ikut! Kamu mau nyalahin aku karena putus sama Ibas?! bilang sama semua orang!! Aku gak salah! Aku gak takut!"

Baru kali ini aku bicara keras pada Putri, dia tampak jelas sekali terkejut oleh reaksiku, biasanya, aku adalah orang yang mudah ia bawa kemana pun dia mau, atau orang yang mudah ia perintahkan melakukan apa yang dia mau. Tapi sekarang sudah beda, aku bukan lagi orang seperti itu. Aku tidak akan lagi mau dia manfaatkan.

"Kamu tuh selalu aja dapet semua yang aku gak bisa dapet Ray, aku mati-matian mau dekat denganmu, pengen jadi temanmu, tapi kamu selalu pasif! Tau gak sih, kamu itu seperti orang yang gak terjangkau buatku?! Aku benci sama kamu Ray! Benci banget!"

"Ngomong apa sih! terus selama sering bareng dari kelas 1 SMP kamu nganggap kita apa? Aku anggap kamu temen, tapi apa? Kamu seolah dorong aku kejurang, ngajarin yang enggak-enggak, sampai aku ... aku ...."

"Iya, Aku sengaja! Aku benci sama kamu! Kamu itu sombong! mentang-mentang kamu cantik, banyak yang suka, kamu selalu aja sok jual mahal, tanpa usaha pun temanmu sudah banyak, sedangkan aku? harus jilat sana-sini biar dianggap!"

"Terus menurutmu kamu berhak bikin hidupku rusak?! Kalau kamu gak punya teman, jangan salahkan aku! Memangnya semua jadi salahku kalau nereka gak mau temenan sama kamu?"

Mataku panas, kulihat Putri juga sama berkaca-kaca. Ini adalah ganjalan dalam hubungan pertemanan kami yang sudah lama sekali saling kami simpan.

"Kamu selalu bener Ray! Aku yang selalu jadi orang jahat! Makanya aku benci banget sama kamu! Semua orang hanya bela kamu tanpa mau tahu perasaanku!"

Tumpah sudah tangisnya, dia terisak dengan semburat marah disela-selanya. Aku berusaha menahan lelehan air mataku, sampai terasa sesak di pangkal tenggorokanku.

"Kamu juga selalu kayak gini Put, gak pernah mau instropeksi! Kamu salahkan semua ke orang lain! coba kamu pikirkan lagi, kenapa orang-orang gak mau dekat denganmu, gak mau terlibat denganmu. Bukan salahku atau salah mereka tapi salah kamu! Kamu yang salah! masalah Sari sekarang ini juga kamu dan teman-temanmu yang salah! Pecundang itu juga, MATI AJA KALIAN!!"

Pekikku pada mereka semua dengan suara lantang dan geram di dalamnya. Dika si pecundang itu mendekati aku dengan wajah marah.

"Siapa yang pecundang kamu bilang?"

"Kau sialan! Kau, cowok paling pengecut yang cuma bisa mainin cew-"

Tiba-tiba kepalaku pening, telinga kananku berdenging, ini lebih sakit dibanding tamparan kak Laras dulu. Pandanganku menghitam sesaat dan keseimbanganku serasa goyah, kudengar samar teriakan Sari dan Dwi memanggil namaku dari belakang diantara denging telingaku.

Sudut bibir kananku terasa asin, pipiku nyeri dan kebas bersamaan. Kenapa sih aku selalu ditampar begini.

"Jadi cewek jangan sombong! Gak usah ikut campur! Harusnya kamu bilang makasih karena kawanmu itu bau mulut, bikin aku gak nafsu ngapa-ngapain dia."

Dika berkata di dekat wajahku dengan senyum sinis bercampur emosi padaku. Aku bisa merasakannya, aku bergidik saat dia bicara seperti itu, seolah dia itu psikopat kejam.

Sumpah! Aku ingin lari dari sini sekarang juga. Ingin sekali ku hajar wajahnya dengan balok sebelum lari. Tapi aku terlalu lemas, keseimbanganku masih goyah, sudut bibirku masih perih.

"Aaakh!"

Aku tidak tau apa yang terjadi, tiba-tiba ku lihat Dika seperti terpental kebelakang dan terjatuh telentang sambil memegangi wajahnya seolah kesakitan, sepertinya hidungnya berdarah, lalu sebuah jambu biji berukuran lumayan besar menggelinding ke arahku.

Aku menoleh untuk melihat ke belakang, disana ada Bimo dengan wajah marahnya yang mengerikan menurutku, tidak pernah ku lihat ekspresinya yang ini. Dia seolah tenang, tapi kilatan matanya menunjukkan jika ia murka.

Bimo berjalan tenang mendekat ke arahku, lalu meraih daguku untuk melihat kondisi wajahku yang kena tampar tadi. Rahangnya mengeras, dia alihkan matanya pada Dika yang masih sibuk meringis kesakitan memegangi hidungnya dibantu oleh pacarnya menyeka darah mimisan itu.

Bimo melangkah tenang menuju tempat dimana Dika terbaring, tak ada sepatah katapun keluar, tapi justru hal itu yang membuat suasana jadi lebih mencekam.

Tanpa basa-basi, Bimo menendang wajah Dika hingga ia mengerang, lalu perutnya ia injak beberapa kali, pacar Dika yang tadinya ingin marah pada Bimo seketika menjauh karena takut. Aku pun sebenarnya takut, sangat takut melihat Bimo marah seperti ini.

Sari dan Dwi menarikku ke tempat dimana mereka berdiri tadi, mereka memelukku dalam tangis Sari yang kian jadi, ia mengelus pipiku dan sudut bibirku yang bengkak. Berulang kali Sari membisikkan kata maaf padaku, kata maaf yang sangat dalam dan pilu, penyesalan atas semua kata-kata dan perlakuannya padaku beberapa waktu lalu.

Aku mengangguk memaklumi semua hal diantara kami, tangisku dan Dwi juga pecah, tangis yang sedari tadi ku tahan. Pipi ku benar-benar nyeri dan kebas, bahkan rasanya mataku bengkak.

Bimo masih melampiaskan amarahnya disana, menendang setiap inci tubuh Dika, membuat seragam anak itu kotor terkena tanah dan darahnya sendiri. Tak ada yang berani mendekat dan menghentikan Bimo, tapi jika dibiarkan bisa-bisa bocah itu mati kena hajar.

Ku beranikan diri melangkah untuk menghentikan Bimo sebelum semua jadi semakin runyam.

"Mau kemana Ray?" Bayu datang tergopoh dengan Akbar bersama para penghuni kantin belakang lainnya yang juga nampak ngos-ngosan setelah berlari kesini.

"Bimo, Bay, kalo gak dilarang nanti mati itu yang dipukulin" kataku cemas. Bayu memperhatikan wajahku dengan kerutan di pangkal alisnya.

"Jangan, biar kami aja, nanti takutnya kamu ikut kepukul kalo kesana, Bimo kayak setan kalo udah begini, jadi gak waras dia. Tunggu aja disini sama Dwi." lalu dengan cepat ia mendekati Bimo bersama Akbar.

"Ini tangan yang nampar Raya tadi?" suara serak dan berat keluar dari mulut Bimo, membuat semua yang mendengar jadi beringsut ngeri. Tidak ada suara hangat yang biasa ku dengar darinya, ia menatap tajam pada Dika tanpa ekspresi, kakinya mulai menginjak telapak tangan Dika yang tadi ia pakai untuk menamparku, bersamaan dengan itu teriakan Dika mulai terdengar, seolah benar-benar kesakitan.

Jantungku berdebar dua kali lipat lebih cepat, aku takut pada situasi ini, pada Bimo yang seperti itu.

"Bim! eling! mati anak orang nanti."

To Be kontiniu.....

avataravatar
Next chapter