47 Jangan Ayah!

Nyaris saja aku tertidur di punggung Bimo saat masih di bonceng di atas motor, Bimo menepuk pelan kakiku saat dia rasakan peganganku yang melemas karena terlelap sebentar. Segera aku membuka mata, sangat berbahaya jika tertidur di motor. Betul kan?

Aku turun perlahan dari motor Bimo sesaat setelah sampai di halaman rumahku, seketika aku ragu untuk masuk ke dalam. Mamah pasti akan marah melihat kondisi wajahku saat ini. Bagaimana ini? Aku takut menghadapi mamah.

Bimo meraih tanganku lalu menggenggamnya, seperti tahu bahwa aku takut dimarahi. Ia menarikku berjalan menuju pintu depan rumahku tapi aku menahan tangannya karena itu dia menoleh, aku menggeleng padanya dengan raut takut. Tapi kemudian ia tersenyum simpul dan mengangguk bertujuan untuk menenangkan aku agar tak perlu cemas, hal itu membuatku mau tidak mau mengikutinya berjalan dengan enggan.

Jantungku lagi-lagi maraton, bagaimana reaksi mamah nanti saat lihat wajahku begini? Wah, sepertinya hari ini aku terus saja merasa takut oleh berbagai macam hal. Kalau ini berlangsung hingga 2 hari kedepan, mungkin aku akan kena serangan jantung.

"Assalamualaikum ...." Bimo memberi salam saat sudah di depan pintu, sedangkan aku hanya tertunduk.

"Waalaikumsalam ...," suara mamah menjawab salam Bimo dari dalam rumah. Terdengar langkah mamah mendekat ke arah pintu, seiring dengan degupan jantungku yang makin bertabuh. Kuremas tangan Bimo yang menggenggamku.

"Kok baru pulang?" tanya mamah setelah membukakan pintu untuk kami, aku tidak berani mendongak.

"Iya tante, ada masalah sedikit tadi." jawab Bimo, membuat aku seketika menoleh padanya, serius dia mau cerita? pikirku.

Tapi aku lupa, jika wajahku yang bengkak ini akan terlihat oleh mamah saat aku menoleh tadi, jadilah mamah langsung histeris. Ditatapnya wajah kami bergantian, mungkin heran kenapa aku yang bonyok, sedangkan wajah Bimo tetap mulus nan kinclong.

"ASTAGHFIRULLAH RAYAAAA ... ini kenapa mukanya? Masha Allah ... gimana bisa jadi begini? Bimo, ini kenapa Raya nya?" mamah nampak jelas sangat panik melihat wajah anak perempuannya yang cantik jadi seperti SHREK sekarang ini, bengkak dan kehijauan karena memar. Beliau menangkup wajahku, membolak-baliknya seolah itu adalah tempe goreng. Sakit sekali, tapi aku cuma bisa meringis, tak berani protes.

"Maaf tante, Bimo gak bisa jagain Raya." ujar Bimo sembari menunduk, wajahnya sendu penuh sesal. Aku bisa melihat itu, ia seakan kecewa dengan dirinya sendiri.

"Coba cerita dulu! Kalian terlibat masalah apa sebenarnya?!" mamah menyeru histeris, matanya sudah mulai berair, aku sangat paham kalau sekarang mamah sedang khawatir.

"Raya ribut dengan pacar kawannya tadi tante, Bimo terlambat nolongin karena gak tahu sebelumnya. Waktu Bimo kesana, Raya nya sudah seperti ini. Bimo minta maaf tante ..." Bimo menunduk makin dalam, baru kali ini dia tidak santai menghadapi orangtuaku.

Padahal bukan salah Bimo kalau aku jadi seperti ini, padahal bukan kewajiban Bimo menolong aku tadi, tapi dia nampak benar-benar menyalahkan dirinya sendiri, bikin aku merasa bersalah. Coba saja aku tidak sok berani pada Putri dan kawan-kawannya, coba saja tadi aku bisa berfikir lebih rasional dan dewasa, coba saja tadi aku langsung bawa Sari pergi dari sana, Bimo pasti tak perlu memohon maaf pada mamah sampai seperti ini.

"Kok bisa kamu yang ribut dengan pacar kawanmu? Memangnya apa hubungannya dengan kamu?" mamah kali ini menuntut penjelasan dariku yang hanya diam tertunduk sedari tadi.

"Maaf mah ...." bisikku pelan.

"Bukan itu yang mamah tanya! Coba jelasin!" sentak mamah, air mataku mulai akan mencelos.

"Biar Bimo aja yang cerita tante ...." kata Bimo menengahi, lalu ia menceritakan kejadian siang tadi, lengkap dengan bagaimana ia datang dan menghajar Dika. Mamah mendengar penjelasan Bimo dengan raut yang tak bisa aku tebak.

"Haaaiiih ... Astagfirullah haladziim ... kalian ini! masuk dulu ke dalam!" titah mamah setelah mengelus dada, aku tahu mamah emosi.

Kami lalu melangkah masuk, duduk di sofa ruang tamu bersamaan. Tak ada obrolan selama kami menunggu mamah keluar, aku tidak tahu apa yang mamah lakukan di dapur, yang jelas aku tak berani mendekat.

Mamah keluar membawa nampan berisi semangkok air hangat dan sapu tangan, juga beberapa salep anti nyeri dan anti lebam di atas nampan itu. Beliau duduk di sebelahku, menyuruhku menghadapnya dan mulai mengompres wajahku dengan air hangat sebelum mengoles salep-salep itu. Sesekali aku meringis menahan sakit.

"Kalian sudah makan?" tanya mamah. Aku menggeleng.

"Belum tante" jawab Bimo.

"Habis ini makan dulu sana! jangan kemana-mana sampai ayah pulang. Ngerti?!" tegas mamah pada kami.

Lagi-lagi tanganku gemetar untuk yang kesekian kali, membayangkan bagaimana ayah akan bereaksi. Ya Tuhan ... mau mati aja rasanya.

Kulirik Bimo yang hanya diam disana, masih dengan muram durja diwajahnya.

Irin turun dari kamarnya setelah mendengar mamah ribut-ribut memarahi kami dari tadi. Ia pun terkejut melihat bagaimana wajahku kini.

"Irin naik! jangan ikut campur dulu!" sentak mamah pada adikku itu, ia menurut dan kembali ke lantai atas dengan kerutan di keningnya, pasti ia sangat penasaran dengan cerita dibalik tragedi wajah bonyok kakaknya, tapi tak berani membantah mamah yang marah.

--o0o--

Kami makan dengan tenang diawasi oleh mamah yang duduk di sebrang dengan tangan melipat di depan dada, menatap terus pada kami seperti seekor elang yang mengawasi mangsanya. Sungguh tidak nyaman makan dalam kondisi begini.

Bimo beberapa kali membantuku makan karena bibirku yang sulit dibuka, perih sekali! Dika sialan!

Suara derit ban mobil ayah yang berhenti di garasi terdengar hingga ke dapur, tempat dimana kami kini duduk sambil menghabiskan nasi dan lauknya yang tinggal beberapa suap. Nafsu makanku seketika hilang, makanan yang sedang ku kunyah menjadi hambar. Rasanya jantungku akan merosot dari tempatnya. Begini ya rasanya ketika kita berbuat salah dan akan ketahuan.

Ku hitung setiap derap langkah ayah menuju kemari, sembari menyiapkan mental untuk di marahi habis-habisan.

Bimo nampak tenang seperti dia biasanya, yang berbeda adalah wajah murungnya karena merasa bersalah padaku, juga pada orang tuaku karena menurutnya, dia telah gagal melindungi aku selama masih jadi pacarnya.

"Assalamualaikum ..." ucapan salam khas milik ayah terdengar menggema di dalam rumah, kami serempak menjawab salam beliau. Aku tak berani menoleh pada ayah yang baru saja masuk.

Beruntung ayah melewati kami begitu saja menuju kamar, aku menghela nafas lega. Tapi keberuntunganku hanya sampai disitu, karena mamah memanggil ayah tepat sebelum ayah melewati pintu kamar. Jadilah ayah berbalik arah menuju ke tempat kami duduk.

Aku hanya terus menunduk, berharap mamah berbaik hati padaku atau setidaknya merasa kasihan pada anaknya yang sudah babak belur ini jika harus kena marah lagi. Aku sudah sangat lelah.

"Lihat tuh wajah Raya, yah." ucap mamah tanpa muqadimah atau prolog lah setidaknya.

"Mana?" kata ayah sambil memperhatikan aku. Kudongakkan kepalaku perlahan tanpa menatap wajah ayah.

"Kenapa itu?" tanya ayah, tak ada rasa terkejut dari suara ayah yang dapat kutangkap. Beliau bicara dengan tenang.

"Biar Bimo yang cerita, Om." Bimo mengambil alih perhatian ayah, kini ayah menatapnya dengan alis bertaut dan wajah serius.

Seperti apa yang di ceritakannya pada mamah tadi, Bimo mengulang ceritanya sampai ayah mengerti, tidak ketinggalan soal bocah itu yang Bimo hajar setelah mukul wajahku.

"Siapa namanya?" tanya ayah setelah Bimo selesai cerita.

"Siapa Ray?" tanya Bimo padaku, karena dia memang tidak tahu, lebih tepatnya tidak peduli.

"Dika." suaraku bergetar saat menjawab, tak bisa ku tebak kemana arah pertanyaan ayah selanjutnya.

"Sekolah dimana tadi?" lanjut ayah.

"SMA Mandala Om."

"Sudah kamu hajar?"

"Sudah Om, harusnya tadi dirontokin dulu giginya, tapi dilarang anak-anak."

Hah? Aku mendelik pada Bimo. Apa-apaan itu?

Ayah lalu pergi ke kamar, kami bertiga menatap heran pada ayah, terutama mamah. Kok bisa ayah bersikap tenang saja seperti itu? Padahal wajahku sudah babak belur begini. Setidaknya, marah seperti mamah tadi karena aku tidak hati-hati atau apalah, yang jelas harusnya beliau bereaksi.

Lama ayah berada di kamar, sepertinya sedang ganti baju, pikirku. Tapi kemudian beliau keluar dari kamar masih dengan seragam loreng miliknya.

CEKLEK!

Sebuah senjata laras panjang yang kemarin ayah bawa pulang dengan suatu alasan yang aku tak paham kini sedang di kokang, siap untuk menembak seseorang.

Kami semua terkejut, a-ayah mau nembak aku karena aku nakal? Suka berantem? wajahku pucat seketika. Ayah tega sama anak perempuannya? keringat dingin sudah membutir di keningku.

"Dimana rumahnya?" kata ayah dengan suara berat khas beliau.

"Ayah! Mau kemana nawa-bawa senjata?!" pekik mamah histeris sambil berjalan mendekati ayah, ingin membujuk agar ayah sabar.

Ternyata senjata itu bukan untuk nembak aku, ah ... aku lega, tapi tidak juga sih, karena ayah memang ingin menjebol tubuh seseorang dengan peluru, hanya saja itu bukan aku. Tapi jika ayah tidak dihentikan, bisa-bisa beliau kena masalah dengan kesatuan karena menyalah gunakan senjata.

"Ayah jangaaaan ...." kataku mencoba menghentikan ayah.

"Kasih tau dimana rumahnya!" hanya itu yang ayah ulang sedari tadi. Ku tendang kaki Bimo dengan maksud membantu menenangkan ayah, tapi dia malah berdiri.

"Mau kemana?" tanyaku pada Bimo.

"Ikut sama ayahmu." jawabnya enteng

"Hah? Buat apa?"

"Nyari bocah itu, kalau perlu aku yang nembak kepalanya." jawab Bimo santai.

Ayah terdian ditempatnya, juga mamah yang jadi bengong memandangi Bimo.

"Yassalaaaam ...." ujarku sembari menepuk jidat, tak habis pikir.

"Ekhem ...." ayah berdeham, entah apa maksudnya, tapi beliau tampak lebih tenang. diturunkannya senjata tadi dan kembali ke kamar.

"Aduuuh ... pusing mamah." keluh mamah seraya berlalu ke kamar mandi.

Kutatap Bimo yang nampak datar saja, ia mengerdikkan bahunya padaku.

"Hiss ...." kujitak kepalanya sambil berjinjit karena dia lebih tinggi dari aku.

avataravatar
Next chapter