42 Duka Laras

Bbzzztt....Bbzzztt...bbzzztt...

Sudah 97 kali ponselku bergetar karena ada panggilan masuk, tidak aku hiraukan karena tahu siapa yang menelfon. Aku sedang kesal, sangat kesal sampai-sampai ingin nonjok dinding kamarku. Dan pasti tidak aku lakukan karena aku sangat paham kalau tanganku yang akan jadi sakit.

Ponselku sudah diam. Tak ada panggilan lagi. Apa dia nyerah? Segitu saja perjuangannya? Hah! Apanya yang sayang!

Dok dok dok

Pintu kamarku digedor oleh seseorang, bukan di ketuk lagi, melainkan dogedor. Aku mengecilkan volume suara musik yang kupasang keras tadi dan beranjak menuju pintu. Terdengar suara mamah memanggil dari sebaliknya.

"Kenapa mah?" tanyaku ketika sudah membuka pintu yang memang ku kunci tadi.

"Kenapa..kenapa..ngapain pake kunci pintu nyalain musik kenceng-kenceng begitu? Belum ganti baju lagi!" omel mamah padaku setelah melihat rambut dan baju seragamku yang berantakan karena berguling-guling di kasur sedari tadi.

"Gak apa-apa mah, lagi gak mood. Lagi gak pengen diganggu.." jawabku sekenanya.

"Ooh..jadi mamah dianggap ganggu sekarang?"

Aku diam saja, tanggapan mamah malah bikin aku tambah malas. kenapa mamah pake ikut-ikutan bikin kesal sih!

"Nih, telfon dari Bimo. Angkat gih, katanya dari tadi Hp kamu gak diangkat"

Mamah menyerahkan telepon wireless padaku dan ternyata ini tujuan mamah menggedor pintuku tadi. Oh iya, darimana Bimo tahu nomor telfon rumahku? Entahlah, bisa-bisaan author aja.

"Hmmh?" sapaku malas setelah menempelkan benda persegi panjang itu di telingaku.

"Assalamualaikum.."

(Ish..pake salam lagi, kalo gak dijawab aku yang dosa, tapi aku sedang gak mau ngomong sama dia. Akh!)

Oke, kujawab dalam hati aja... 'Waalaikumsalam..'

"...."

"Kok gak jawab? Dosa loh"

"Udah dijawab dalam hati" kataku ketus.

"Hahahahah...." dia malah ketawa, kurang asem!

"...." aku tetap diam.

"Aku ke rumahmu sekarang ya?" katanya setelah tawanya reda.

"Gak usah!" jawabku

"Kenapa? Aku sudah di depan pagar, masa langsung pulang..."

What the heck! cepat-cepat aku menuju jendela kamar untuk mengintip ke arah pagar rumahku dari situ, saking terburu-buru lututku sampai terbentur ujung ranjang. Aku refleks terloncat-loncat dengan memegangi lututku yang sepertinya akan memar nanti, telfon wireless masih ku tempelkan di telingaku. Lututku benar-benar sakit hingga bikin aku merutuk kesal, mungkin Bimo dengar karena dia tertawa kecil di sebrang telfon.

Oh my Mom!! Bimo benar-benar sudah di depan pagar rumahku, mendongak ke arah jendela kamarku sembari tersenyum dengan ponsel yang masih ia tempelkan di telinganya. Seketika aku merunduk, malu kalau ketahuan mengintip dari jendela. Tapi percuma, dia juga pasti tahu kalau aku melihatnya dari jendela kamar.

"Hahahah...sini turun..nanti pulsaku habis kalau telfon lama-lama, terus mama marah, uang jajanku dipotong.."

KLIK

Segera kumatikan telfon rumahku. Benar juga, pemakaian pulsanya pasti bengkak karena tidak menelfon ke sesama nomor GSM. Aku lupa soal itu.

Cepat-cepat ku turuni tangga dan menghambur keluar rumah menuju pagar. Kuhentak-hentak kakiku dengan wajah cemberut menggemaskan ala Tinky Winky, Dipsy, Lala, Poh.

"Masuk!" kataku cepat padanya lalu segera berbalik badan dan berjalan mendahuluinya ke teras. Tidak akan ku buatkan minum untuknya kali ini!

Bimo tampak tersenyum geli melihat tingkahku lalu mulai membuka pagar rumahku dan berjalan mengikutiku. Sepertinya dia tahu kenapa aku marah padanya.

Lama kami terdiam setelah duduk di kursi teras, dia hanya memandangiku sambil terus tersenyum geli. Aku hanya menatap pada tanaman mamah di pojok halaman rumah, persis seperti yang dilakukan ayah tempo hari.

"Tadi pacarnya Bayu bilang kamu lihat aku bonceng kak Laras."

Ucapnya membuka percakapan dengan santai tanpa beban, seperti tidak ada yang salah dengan apa yang dia lakukan. Bikin aku naik darah, makin maju lah bibirku kedepan.

"Kamu marah karena itu?"

(Haduh! ingin ku cekik dia sekarang juga! Yaiyalah bambank!)

Aku melirik tajam padanya, benar-benar kesal.

"Hehehe...jangan marah Ray, aku hanya nolongin karena dia sedang susah"

Cih! Alasan!

"Baik banget kamu, pasti besok masuk surga.." sindirku.

"Hahahah...gitu dong, ngomong...jangan diem terus, aku jadi bingung kalau kamu diem.."

"Udahlah! Kamu kesini mau ngapain? cepet aja.." kataku ketus, benar-benar ketus. Ini kali pertama aku bicara seperti ini padanya.

"Galak amat siih pacarkuu...ya Allah..."

Aaakkhh....Sebel! kenapa sih cuma gara-gara dia bilang begitu hidungku terasa kembang-kempis menahan senang!

"Ngomong sekarang gak?! Kalo gak, pulang aja sana!" ujarku masih sok galak.

"Iyaaa..iyaaa sayaaang...pundungan banget siih..."

Hiss! Emang dia paling tahu kelemahanku, dipanggil sayang aja aku meleleh. Amarahku sudah turun menjadi tinggal 60% sekarang. Sial!

"Kak Laras tadi panik banget karena ditelfon sama ibunya dan ngabarin kalau ayahnya mendadak masuk rumah sakit Ray.."

Aku langsung menoleh padanya.

"Terus hubungannya sama kamu apa?"

"Huusss...kok begitu ngomongnya, jangan begitu Ray. Ayahnya kak Laras kena serangan jantung, dia bingung mau minta tolong anterin ke siapa buat pergi ke rumah sakit karena dia diantar supir ke sekolah. Kebetulan papasan denganku jadi dia minta tolong padaku. Terus aku tolong, jadi aku masih salah nih?" katanya menjelaskan.

"Memangnya pacarnya gak ada yang bisa nganterin?" tanyaku masih saja sok angkuh.

"Mana aku tau Ray, buat apa aku tanya soal itu ke orang yang sedang sangat butuh dibantu.."

Aku diam, mulai berfikir rasional.

"Ray, bukan berarti aku jadi berpaling rasa pada kak Laras hanya karena bantu bonceng dia ke rumah sakit, dia juga kawanku, masalah dulu dia pernah jahat sama kamu, aku akui itu sangat salah, aku juga marah padanya sebab perkara itu. Tapi sewaktu aku bilang padanya untuk tidak lagi mengganggumu dia menuruti itu kan?"

Aku mengangguk perlahan, menatap pada lantai teras dengan rambut dan seragam sekolah yang berantakan.

"Aku takut kalau misalnya suatu saat kamu ada di posisi seperti dia tadi, aku tidak ada dan kamu sedang sangat kesusahan lalu minta tolong pada orang lain, tapi orang lain itu tidak mau menolong karena takut pacarnya cemburu, sedangkan kamu sedang benar-benar butuh pertolongan..bagaimana perasaanmu kalau itu terjadi padamu? Demi Allah aku gak bisa bayangkan Ray."

Aku masih terdiam, mencerna setiap kata yang dia ucap.

"Lagipula kondisinya mendesak, gak ada waktu buat nyari orang lain untuk gantiin aku. Aku minta maaf, aku ngerti perasaan kamu Ray..tapi aku juga gak mau pacarku jadi orang yang picik.."

Deg! Aku merasa tertampar, kenapa aku tidak bertanya dulu sebelum memutuskan marah pada Bimo. Ku tolehkan wajahku jadi menghadap padanya sambil kugigit bibir bawahku. Terbitlah senyum khas miliknya yang hanya ia tunjukkan padaku selama ini, yang sangat ingin ku simpan ke dalam toples kaca agar bisa kupandangi kapan saja aku mau.

"Maaf.." ujarku lemah dan kembali membuang mata ke bawah.

"Hehe..aku seneng kamu cemburu, tapi jangan berlebihan, nanti kamu capek. Sudah ku bilang kan kalau pun ada Selena Gomez di sebelahmu, aku akan tetap pilih kamu.."

Aku tersenyum getir, malu pada Bimo pun diriku sendiri. Prasangka itu memang berbahaya.

"Terus ayahnya kak Laras gimana?" tanyaku yang sudah mulai bisa mengendalikan diri.

"Emm..gak tertolong, ayahnya meninggal waktu kami sampai. Makanya tadi aku sedikit lama" Bimo tertunduk lesu, sedangkan aku terhenyak hingga jantungku berdegup cepat sekali.

Astaga...sejak kapan aku punya sifat seperti tadi? sejak kapan aku suka mengambil kesimpulan sendiri lalu uring-uringan tak jelas, padahal orang yang ku kesalkan sedang sangat kesusahan, kak Laras pasti sedih sekali.

Aku merasa aku jahat sekali, seperti jadi peran antagonis dadakan.

"Innalillahi wa innailaihi rajiun.." ucapku lirih dan penuh penyesalan.

"Besok bawa beras ke sekolah ya, sepertinya besok akan diumumkan di sekolah" kata Bimo padaku sambil merapihkan rambutku yang dari tadi awut-awutan. Aku membiarkannya, kini badanku ikut menghadap ke Bimo.

"Iya, terus kak Larasnya gimana tadi? Dia pasti sedih banget kan.."

"Iya dia sedih sekali, kayaknya dia paling dekat dengan ayahnya.." dia jawab masih dengan tangannya yang sibuk merapihkan rambutku.

"Gak kebayang kalau itu ayahku, aku belum siap.." mataku mulai sedikit berair, membayangkan hal yang tidak-tidak.

Bimo tersenyum lagi setelah ia selesai merapihkan rambutku, ditatapnya dalam pada mataku lalu mencubit pipiku.

"Jangan mikir yang aneh-aneh..doakan saja ayah panjang umur.." ujarnya kemudian.

"Hmmh...amiin.."

"Terus kenapa tadi kamu dengan Sari? Kata pacarnya Bayu kalian berantem?" entah kenapa Bimo selalu lupa nama Dwi.

"Haaah...iyaaa..aku khawatir sama Sari, soalnya dia seperti terlalu mendengarkan omongan pacarnya Bim, bahkan sampe disuruh diet biar badannya mirip denganku aja dia mau loh Bim.."

"Hmm?? Siapa yang suruh dia nyamain badanmu?"

"Pacarnya lah..."

"Memang kamu kenal dengan pacarnya? Kok dia bisa tau kamu?"

"Gak kenal, tapi kayak pernah lihat cuma aku lupa dimana pernah ketemu"

"Anak mana pacarnya? Bukan anak sekolah kita kan?" tanya Bimo lagi.

"Bukan, kata Sari sih anak Mandala. Dia juga sering ngajak Sari pergi nongkrong-nongkrong dulu sebelum pulang kerumah dengan kawan-kawan sekolahnya, sering gak langsung pulang."

"Kamu tau dari mana?"

"Ibunya Sari beberapa kali telfon karena udah menjelang maghrib Sari belum juga sampe rumah, jadi beliau tanya sama aku, soalnya Hp-nya si Sari gak aktif ditelfon katanya."

"Terus kamu jawab apa?"

"Aku jadi terpaksa bohong, bilang tadi Sari mampir main kerumah ku dulu dan baru aja jalan pulang"

"Ooh..yasudah gitu aja dulu, gak usah ikut campur hubungan orang Ray, biarkan aja dia mau ngapain."

"Tapi Biiimm..kalo nanti Sari di apa-apain gimana?"

"Ya itu resiko dia, kenapa mau pacaran sama kutil kudanil macam itu."

"Phhfftt....hahahahah...kutil kudanil katanya...wkwkwk"

Bimo jahat banget ngatain orang seperti itu. Eh, tapi aku lebih jahat karena ketawa. Haha bodo' lah...

"Hahahah...biarin aja Ray, nanti kalau dia datang ke kamu dan minta tolong baru kamu boleh ikut campur, kamu sudah coba nasehatin dia kan? kalau dia gak mau dengar ya sudah itu urusan dia."

"Hmm..iya deh Bim, aku sama Dwi sudah pusing mikirin Sari."

"Ngapain kamu pusing mikirin orang, bikin capek."

"Heheh, gimana lagi, namanya juga temen" jawabku sendu.

"Iyaa..aku ngerti, kalau ada apa-apa kasih tau aku. Paham?"

"Oke boss!!" jawabku dengan sikap hormat bendera pada Bimo.

"Heheheh...Laper aku, cari makan yuk?"

"Makan disini ajalah, mamah pasti udah masak."

"Gak enak lah sama mamah, jajan di luar aja yuk...beli bakso!"

"Aku mau mi ayam+bakso!"

"Wkwkwkwk...boleeeh, hayuk berangkat!"

"Pamit mamah dulu.."

"Oke!"

Aku masuk untuk pamit pada mamah, sebenarnya mamah bilang untuk ganti baju seragamku dulu sebelum pergi, tapi aku beralasan nanti lama kasihan Bimo nunggu, padahal aku hanya sedang malas. Heheheh.

Kami melaju tenang di antara deru kendaraan di jalan, di terpa angin sore itu, ku peluk erat Bimo di atas motor hitam gagah miliknya. Hari ini, 1 pelajaran baru bagiku bahwa prasangka tak menghasilkan hal yang baik untuk karaktermu. Bahwa objektif dalam menilai orang itu perlu. Bahwa author suka semau-maunya aja, eh.

Bimo yang sangat sabar padaku..

Bimo yang sangat tenang menghadapiku..

Bimo yang selalu memikirkan segala sesuatu yang akan baik untukku di saat ini maupun di kemudian hari...

Dia itu mood booster-ku..

Kepingan puzzle kecil dalam hatiku yang jika hilang, takkan pernah utuh sempurna lagi.

Kurebahkan kepalaku pada punggungnya yang hangat dan lebar. merasakan irama jantungnya yang teratur pada telingaku.

AKU SAYANG PADAMU, BENAR-BENAR SAYANG SAMPAI MAU MATI RASANYA!!

MAAF, KADANG AKU EGOIS...

avataravatar
Next chapter