webnovel

Waranggono (Prolog)

Rosaline tampak gelisah melihat Roro yang belum juga sadar setelah berjam-jam pingsan. Kopi yang disajikan oleh dokter Cokro —rekan satu tim sekaligus pemilik klinik tempat mereka biasa mendapatkan perawatan, jika mengalami kecelakaan selama melakukan pekerjaan —bahkan sampai dingin tanpa dia sesap sedikit pun.

Bram terlihat gelisah, juga tampak ada garis-garis ketakutan di wajahnya, ditambah keringat yang terus keluar padahal ruangan itu ber-AC. Seperti biasa Bram tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya ketika Rosaline mengatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal mistis.

Rosaline terus memperhatikan Roro, jelas terlihat bahwa dia sangat mengkhawatirkan 'anak angkat'nya itu. Jika bukan karena kekhawatiran terhadap Roro yang menyita perhatiannya, maka Bram sudah habis dia sindir dan ejek seperti biasanya. Rosaline paling tidak tahan untuk usil saat Bram sedang terlihat ketakutan.

Rosaline memijit pelipisnya, sambil melihat lagi rekaman penampilan Roro saat pentas seni petang tadi. Di tengah-tengah penampilannya, Roro tiba-tiba pingsan setelah terlihat seperti kehilangan fokus. Tiba-tiba Roro hanya diam, lalu sejurus kemudian berputar-putar seperti menarikan tarian Shema.

Terdengar suara langkah kaki dari koridor, lalu pintu terbuka. Sosok pria berambut Curtain menyembul dari balik pintu.

"Sorry banget baru bisa datang, ada urusan di kampus tadi," ucapnya dengan nafas tersengal.

Dilihat dari keringat yang membasahi kaos abu-abu miliknya, tampak jelas dia terburu-buru untuk secepatnya sampai di klinik. Rosaline berdiri menyambut pria itu, sementara Bram terlihat agak lega. Aura hangat yang terpancar dari pria ber-tas ransel itu memang selalu menenangkan.

"Mungkin sebentar lagi dia akan sadar," ucap pria itu sambil menatap Roro yang terbaring tak sadarkan diri.

"Iya ... aku juga ngerasain beberapa keberadaan sudah pergi dan cuma tersisa satu," ujar Rosaline.

"Semoga Roro baik-baik saja setelah ini. Entah apa yang disampaikan oleh para qorin sebanyak itu, yang pasti hal tersebut akan sangat membebaninya."

Bram mengambil air di dispenser yang ada di sudut ruang. Sepertinya sebotol air mineral berukuran kecil tidak cukup untuk memuaskan dahaganya itu.

"Arrghh ... di mana?" keluh Roro sambil memegangi kepalanya.

"Pelan-pelan, nggak usah memaksakan diri. Istirahat aja dulu, fokus Roro ... fokus saja pada dirimu sendiri." Rosaline langsung memapah Roro untuk duduk.

Bram langsung pergi ke ruangan dokter Cokro begitu Roro sadar. Beberapa kali dia bergumam karena nomor dokter Cokro sedang sibuk, saat tadi dia coba untuk meneleponnya. Tidak lama kemudian Bram kembali, dokter Cokro langsung memeriksa kondisi Roro.

"Syukurlah tidak ada hal serius yang terjadi, dia hanya kelelahan. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya dokter Cokro.

"Dia tiba-tiba pingsan pas bernyanyi di pentas seni, yang pasti ada kaitannya dengan keberadaan lain. Lebih jelasnya kita tunggu aja penjelasan darinya," ucap Rosaline sambil memberikan segelas air putih untuk Roro.

"Tara ... kamu melihat sesuatu di depanku, kan?" tanya Roro di sela-sela meminum segelas air yang diberikan oleh Rosaline.

Mendengar hal itu Bram secara refleks langsung melangkah mundur. Rosaline hanya bisa cekikikan menahan tawa melihat raut wajah Bram yang tiba-tiba pias.

"Dilihat dari sanggulnya, sepertinya dia seorang penari. Hanya saja seluruh tubuhnya ditutupi sesuatu seperti adukan semen. Tunggu sebentar, biar kugambar."

Dirgantara mengambil sebuah sketchbook dari tas, lalu mulai sibuk mengguratkan garis-garis di atas kertas. Beberapa menit kemudian dia menunjukkan sketsa yang terlihat menyedihkan. Seorang gadis tanpa busana yang sekujur tubuhnya tertutup adukan semen.

Dokter Cokro langsung mengambil sketsa yang digambar oleh Dirgantara, lalu pamit ke ruangannya untuk memproses sketsa tersebut menjadi versi realis. Siapa sangka jika hobi editing foto yang dia tekuni semasa SMA sampai kuliah, untuk keadaan tertentu benar-benar membantu proses penyelidikan.

"Kejam!" ucap Roro dengan tangan gemetar dan air mata yang menetes. Amarah jelas terlihat dari sorot matanya.

"Ruang laboratorium kimia, mayatnya ada di sudut kanan ruangan laboratorium. Dikubur hidup-hidup menggunakan adukan semen.

"Meski tidak begitu jelas karena tampaknya sedang direnovasi, tapi aku yakin itu adalah ruang laboratorium kimia. Bangunan di sebelahnya sama persis seperti yang ada saat ini.

"Aku ... aku ...—"

"Ceritakan nanti saat kamu udah siap, itu pasti berat. Sangat berat untuk berada di posisi korban di saat-saat terakhir dalam hidupnya."

Rosaline memeluk Roro sambil berbisik lirih di telinganya, dia sangat paham dengan kondisi Roro. Setiap kali dirasuki dan mendapatkan ingatan korban, Roro melihatnya dari sudut pandang korban. Jadi silakan saja bayangkan seperti apa beban yang dia rasakan selama ini.