17 Menuju halal

[Calon istri!] Bima

Satu

Dua

Tiga

Empat

Sampai lima menit berlalu tak ada balasan dari Sefia, wajah tampan yang penuh dengan semangat untuk menghubungi calon istrinya yang terpaksa harus menerima pinggitan dari kelakuan Bima yang meminta mereka untuk segera menikah langsung meredup karena si calon istri tak juga membalas pesan yang ia kirim.

[Ada ranting ada kamu, I'm nothing without you]

[Balas dong pesanku]

Bima tak menyerah untuk merayu Sefia agar membalas pesannya.

Huh!

Bima benar – benar kesal karena Sefia tak membalas pesannya.

"Cuma di read! Astaghfirullah. Bener – bener nih calon bini!" Bima masih terus mengerutu saat tiba – tiba ponselnya justru menampilkan panggilan sosok yang lain. Bima langsung mengeser tombol warna hijau dan langsung terlihat wajah seseorang disana.

"Ngapain kamu cengar – cengir gitu? Ga jelas banget!" Ucap Bima saat panggilan video call itu tersambung.

"Idih! Kamu kayak cewek lagi PMS bro! kalem aja napa?" Ujar Andika sahabat Bima yang saat ini berada di negara tetangga.

"Balik lo! Gue mau kawin!"

"Sejak kapan lo berubah jadi kucing?" Jawab Andi mengikuti gaya bicara Bima yang mendadak berubah menjadi lo – gue.

"Sialan! Mana ada kucing setampan gue."

"Lah! Tadi lo bilang mau kawin…"

"NIkah!" Ucap Bima lantang.

"Serius Lo? Ama siapa? Laura? Kapan lo ketemu sama Laura? Wah parah lo ga cerita ma gue."

"Bukan Laura." Suara Bima mendadak berubah menjadi sendu.

Diseberang telpon, Andi tiba – tiba merasa bersalah telah menyebut nama Laura, Ia sangat tahu bagai mana sahabatnya ini mati – matian mencari Laura dan kini berusaha melupakan gadis itu.

"Sorry Bro."

"Ga apa – apa, Lo balik kan? Gue butuh elo jadi asisten gue."

"Kan ada si emon? Lagian tugas lo banyak banget disini yang mesti gue urus."

"Gue ga perduli! Gue suruh lo pulang ya pulang!"

"Dasar bos luknut!"

Layar ponsel Bima berubah gelap setelah Andika memutuskan sambungan telponnya secara sepihak.

Bima membuang ponselnya kesisi ranjang besar miliknya. Wajah tampannya menengadah menatap langit – langit kamar.

Dua hari lagi Ia akan menyandang status sebagai suami seorang Sefia Wiryo Atmojo, lalu apa kabar dengan hatinya? Laura. Nama gadis itu masih bertengger di dalam hati walau ia mencoba untuk menghilangkannya.

"Aku harus membicarakan ini dengan Sefia. Tapi gimana caranya?" Bima terus saja bergumam.

Bima lalu mengambil ponselnya yang tadi Ia lemparkan ke samping tubuhnya. Dengan cepat Ia menekan nama Sefia di dalam ponselnya.

"Ayolah Sef, angkat telponnya."

Berkali – kali Ia mencoba terus menghubungi nomor ponsel Sefia, namun lagi – lagi hanya nada tunggu saja yang terdengar.

Bima tak menyerah, Ia kembali menekan salah satu nomor yang Ia punya, yaitu nomor ponsel ibu Sefia yang Ia dapat kemarin dari mama Sandra.

"Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikum salam, BIma ada apa? Semua baik – baik saja kan?" Tanya Ibu Sefia dengan nada lembut.

"Semua baik – baik saja, Bu. Ehm …. Begini Bu, maaf bila Bima menganggu Ibu malam – malam begini."

"Tidak apa – apa, Bima, ini juga belum terlalu malam, ada apa memangnya?"

"Ada sesuatu yang harus saya bicarakan secara pribadi dengan Sefia, apa boleh bu? Karena saya telpon dari tadi tapi sepertinya ponsel Sefia sedang tidak aktif." Ucap Bima sopan.

"O begitu, sebentar ya Bim."

"Iya bu."

Bima mondar – mandir menunggu calon ibu mertuanya memberikan ponsel nya pada Sefia, dengan harapan Sefia mau berbicara dengannya.

"Assalamualaikum." Akhirnya suara Sefia benar – benar bisa Ia dengar.

"Waalaikumsalam." Jawab Bima lumayan gugup.

"Ada apa?" Tanya Sefia dengan nada Ketus.

"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu." Ucap Bima setelah menarik nafas panjang untuk mengurangi rasa groginya.

"BIcara aja."

"Kok kamu gitu sih, jutek banget sama calon suami."

Sefia diam tak menjawab, Ia hanya diam walau telpon itu masih tersambung.

"Sef, sebelum kita jauh melangkah, ada yang ingin aku ceritakan sama kamu."

"Cerita aja." Masih dengan nada yang sama 'Ketus.'

"Aku mau jujur jika aku belum sepenuhnya bisa melupakan Laura, gadis yang pernah aku ceritakan sama kamu."

Hati Sefia bergemuruh, namun Ia mencoba untuk tenang dan masih memberi kesempatan laki – laki yang tadi melamarnya itu melanjutnya ceritanya.

"Tapi aku berusaha untuk mengikhlaskan semua tentang apa yang terjadi antara aku dan Laura mungkin memang kami tidak berjodoh. Dan aku yakin kamu memang jodohku."

"Maksud kamu apa sih?" Sefia mulai jengah dengan apa yang di katakan oleh Bima.

"Aku ingin kamu percaya sama aku, kalau aku benar – benar serius ingin membina rumah tangga denganmu, aku ingin kita sama – sama belajar saling membuka hati, dan melupakan masa lalu kita. Kamu mau kan?"

Sefia menarik nafas panjang, jujur di hati Sefia masih ada ketakutan jika suatu hari nanti Ia akan di tinggalkan untuk yang kedua kalinya.

Kata – kata Bima menambah rasa takut di hati Sefia, walau ada sedikit harapan jika laki – laki yang telah melamarnya ini akan tetap bersamanya dalam ikatan suci pernikahan.

"Aku tidak berani mempercayai mu, tapi bisakah aku minta kamu untuk memenuhi apa yang kamu ucapkan barusan? Mungkin hanya dengan itu aku bisa mempercayai mu seiring berjalannya waktu."

"Karena dari awal saja, kamu tak jujur padaku jika kamu adalah laki – laki yang di jodohkan bapak denganku. Lalu dari sisi mana aku harus mempercayai mu, Bim?"

Bima terdiam, Ia merasa apa yang di katakan oleh Sefia benar adanya. Ia telah memulai hubungan mereka dengan kebohongan.

"Maaf."

"Itu karena aku ingin tahu bagai mana wanita yang akan menjadi istriku."

"Kamu pikir aku tak ingin tahu bagai mana laki – laki yang akan menjadi suamiku? Kamu egois Bim."

"Maaf." Ucap Bima penuh penyesalan.

"Aku tak akan mengulanginya lagi, mulai detik ini aku akan jujur tentang apapun padamu." Lanjut Bima penuh kesungguhan.

"hm. Ok. Aku pegang janjimu, aku tak ingin mengecewakan orang tua ku."

"Begitupun aku…. Jadi?"

"Apa?"

"Pacaran Yuk!" Ucap Bima yang mulai bisa tersenyum di seberang sana.

"Jadi kita ga jadi nikah?" Tanya Sefia yang sudah mulai meluluhkan hatinya.

"Bukan begitu, kita pacaran setelah nikah. Asik kan?" Bima tergelak, Ia membayangkan berpacaran dengan Sefia sekertarisnya sendiri.

"Dan menjadi bahan omongan di kantor?"

"TIdak akan! Aku akan mengumumkan pernikahan kita pada semua karyawan, biar ga ada yang deketin kamu." Bima masih teringat kata – kata sang papa tentang pria yang menyukai Sefia dia tidak akan membiarkan ada orang lain mendekati apa lagi mengambil miliknya. tidak! tidak akan pernah!.

"Siapa yang suka sama aku coba?"

"Eh! SEfia kamu itu harusnya itu sadar diri kalau kamu itu manis."

Sefia tergelak, "Kalau aku manis bukan cowok yang bakal deketin aku, tapi semut." Sefia berkelakar.

Bima ikut tertawa terbahak, "Sef, udah malam, kamu tidur kih.. ga enak juga sama ibu kelamaan pinjem Hp."

"Ya udah, kamu juga istirahat."

"Ya, jangan lupa simpen aku di hati kamu."

"Aku coba."

"Kok dicoba sih Sef? Handphon aja sanggup simpen beribu – ribu foto, masa buat nyimpen aku aja hati kamu ga sanggup?"

Sefia tertawa namun mendengar apa yang di katakan oleh Bima.

"Assalamualaikum." Sefia cepat – cepat memutuskan panggilan telponnya sebelum Ia terserang diabetes karena gombalan dari Bima.

"Waalaikumsalam." Bima memandangi ponselnya dengan wajah yang masih menyungingkan senyuman.

avataravatar
Next chapter