webnovel

Wanita Sang Boss

Meta, seorang perempuan berusia 34 tahun yang masih lajang. Dia adalah lulusan terbaik di kampusnya, dengan segala predikat sempurna yang melekat pada dirinya. Namun, karena hal itulah membuatnya kesulitan mendapat jodoh. Hingga berkali-kali, tawaran perjodohan selalu gagal di tengah jalan. Rasa frustasi Meta akan jodoh, ditambah dengan keluarnya dari perusahaan, membuatnya semakin dilema. Hingga suatu hari, Kinan--teman satu kos Meta memberikan informasi jika di perusahaannya sedang membutuhkan seorang sekertaris kompeten. Tak butuh waktu lama, akhirnya Meta pun diterima kerja di sana. Dan siapa sangka, perusahaan maju, bergengsi itu dipimpin oleh seorang lelaki muda. Yoga, bos perusahaan itu, adalah jenis pria yang kolot dan selalu semua berjalan dengan sempurna. Kekolotannya sering membuat Meta keteteran dibuatnya. Hingga akhirnya, perdebatan-perdebatan kecil yang menjadikan mereka terbiasa, tak bisa lepas satu sama lain, dan menimbulkan getaran-getaran aneh di hati Meta.

PrincesAuntum · Sci-fi
Not enough ratings
1035 Chs

Makan Malam

Sore ini, saat Yoga tengah sibuk dengan dokumen-dokumennya, dia tampaknya harus terganggu dengan aroma yang benar-benar sangat menyengat. Terlebih, aroma itu berasal dari dapurnya.

Dia tidak sedang masak, atau melakukan pekerjaan dengan makanan apa pun. Dia yakin itu. Bahkan, sepulang dari kantor dia, dan Meta langsung sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dan bagaimana bisa dari arah dapur tercium aroma yang sangat... aneh?

Yoga akhirnya bangkit dari tempat duduknya, membuka pintu ruang kerjanya yang bahkan tak tertutup dengan sempurna. Di sana, tepat di pentri, ada sosok Meta yang sedang mengenakan pakaian dress santai selututnya, sambil mengenakan celemek. Dia tersenyum dengan girang, sembari memperlihatkan dua mangkuk.... makanan?

Lagi, Yoga mengerutkan kening. Apa yang ada di dalam mangkuk itu benar-benar makanan, kan? Bukan suatu eksperimen karya ilmiah fisika atau semacamnya? Sebab aromanya benar-benar jauh dari kata... makanan.

�����Hay!" sapa Meta, senyuman sumringah yang seharusnya membuat hati Yoga senang mendadak seperti sebuah ancaman kematian.

Yoga hanya senyum sekenanya, sembari berjalan penuh rasa hati-hati. "Hay," jawabnya kemudian.

"Aku tau kamu sibuk, jadi aku buatin makanan buat kamu...," Meta menyodorkan dua mangkuk besar yang isinya adalah 'makanan'.

Namun di mata Yoga, dia tak melihat jenis makanan apa pun. Selain, sesuatu berwarna hitam pekat, dan warna cokelat, dengan tekstur yang benar-benar lembek.

"Makanan?" tanya Yoga, sembari menggaruk kelopak matanya.

Meta pun mengangguk kuat-kuat, masih dengan senyum sumringah di kedua sudut bibirnya.

"Bubur ayam, sebenernya aku udah pesen tadi. Jadi aku angetin. Ehm," kini Meta tampak menggaruk tengkuknya. "Tadi sih warnanya bagus, tapi pas aku angetin jadi gini. Ehm... mungkin agak gosong kali, ya. Tapi, pasti enak!"

Yoga spontan mengusap keningnya yang mendadak basah. Padahal, seluruh ruangan apartemennya ber-AC, tapi entah kenapa tiba-tiba mendadak seluruh ruangan ini menjadi panas.

"Ayok, makan,"

"Aku sudah makan tadi, Tita," tolak halus Yoga.

"Kapan?" selidik Meta yang tak mau kalah.

"Ehm, bagaimana kalau kita makan di luar?" kilahnya kemudian. Tak konsisten, memang. Tapi lebih baik seperti itu, dari pada dia harus memaksakan diri untuk memakan bubur ayam itu.

"Tapi, bubur ayamnya gimana, dong? Kan sayang nggak kemakan," Meta lantas cemberut, kemudian dia memandang bubur ayam yang ada di meja.

"Bubur ayamnya ditaruh kulkas dulu, besok diangetin buat sarapan, ya?" bujuk Yoga. Dia punya rencana lain dengan bubur ayam itu, tepat setelah Meta nanti tertidur.

"Tapi—"

"Makan di luar tidak? Nanti mampir ke kontrakan?" iming-iming Yoga.

"Tapi kan makan di luar itu ngeluarin uang mahal. Tapi nggak apa-apa, deh. Kamu yang maksa, kan? Yaudah aku mau. Aku ganti baju dulu!"

Yoga lantas tersenyum mendengar ucapan Meta seperti itu. kemudian dia menghela napas panjang sembari melirik ke arah ruang kerjanya. Nanti, ketika dia pulang, dia akan melanjutkan pekerjaannya itu.

Kemudian, dia membuka laci yang ada di dalam kamar, mengambil dompet beserta kunci mobil.

"Sudah?" tanya Yoga, Meta pun mengangguk sembari mengulum senyum. Kemudian, keduanya langsung turun, untuk menuju sebuah restoran.

*****

"Lo tau nggak, Bi, Yoga lagi deket ama siapa sekarang?" tanya Becca. Dia dan Fabian sengaja bertemu di sebuah bar, karena ingin melepaskan penat hatinya masing-masing. Sembari meneguk bir yang bahkan sudah habis beberapa botol.

"Kenapa?" tanya Fabian tanpa minat. Sebenarnya, dia tidak akan peduli. Yoga—sepupunya itu akan dekat dengan perempuan mana pun. Asalkan itu bukan dengan Meta, maka Yoga akan menjadi sepupu yang biasanya. Selalu mendukung penuh keputusan Yoga, dan berdiri di belakang Yoga sebagai seorang sepupu yang baik. Bahkan, masalah perusahaan yang sepanas ini, sebenarnya Fabian tak mau ikut campur. Dia tak ingin menyakiti Yoga, apa pun itu caranya.

"Kemarin aku ikut dia meeting dengan salah satu rekan bisnisnya...," cerita Becca pada akhirnya. "Lalu kami makan, dia naruh ponselnya di atas meja. Kemudian ponselnya bunyi."

"Terus apa hubungannya dia ama cewek? Apa yang telepon itu cewek?" ketus Fabian. Dia benar-benar bosan dengan semua curhatan Becca yang tak masuk akal sekarang.

"Ponselnya nyala, kan. Dan lo tau wallpaper dari ponselnya itu apa?"

"Mana gue tau, lah! Gue udah jarang pegang ponsel Yoga!" dengus Fabian. Becca benar-benar hilang sabar dengan cowok satu ini. Andai saja bukan sahabatnya, pastilah dia sudah menampar cowok ini keras-keras.

"Wallpaper ponselnya itu foto cewek, Fabian!"

"Hah? Seriusan?" kini giliran Fabian yang memekik kaget. Bagaimana tidak kaget, pasalnya dari apa yang dia tahu, Yoga sampai detik ini tak memiliki perempuan. Selain, adegan ciumannya dengan Meta yang benar-benar menganggu hatinya. "Elo nggak lagi mabok, kan, waktu liat?"

"Enggaklah! Kan kita sendiri tau, kalau Yoga nggak deket sama siapa pun. Kenapa tiba-tiba ada foto cewek di ponselnya? Kenapa dia nggak ngasih tau ke kita? Kita kan sahabatan. Siapa, ya, cewek itu? Elo tau nggak?" seloroh Becca, yang rasa cemburunya sudah meledak ke ubun-ubun.

Sebab selama Yoga hidup, Becca sadar betul, satu-satunya cewek yang bisa dekat dengan Yoga hanya dirinya. Tidak ada siapa pun lagi.

"Apalagi pakek bilang kalau itu ceweknya lagi," dengusnya kemudian.

"Seriusan? Dia bilang gitu?" tanya Fabian yang masih tampak tak percaya. "Masak sih? Kok gue nggak tau? Biasanya kalau ada apa-apa dia ngasih taunya ke gue. Gue pasti tau duluan bahkan dari pada dua tangan kanan busuknya itu."

Becca tampak mengangkat bahunya, kemudian dia meneguk bir yang ada dalam gelas yang ia genggam.

"Apa jangan-jangan pas pesta ulang tahun gue itu, cewek yang dibawa itu beneran ceweknya, ya, Bi? Elo tau nggak sih, siapa cewek itu?"

Deg!

Jantung Fabian seolah berhenti berdetak setelah mendengar ucapan Becca itu. pikirannya langsung seolah ditarik untuk menyebut nama Meta berkali-kali. Terlebih, tentang ciuman itu. Kemudian dia melirik ke arah Becca, apa dia harus mengatakan yang sebenarnya tentang kecurigaan Yoga ada hubungan dengan Meta? Atau dia harus mengatakan tentang ciuman Meta, dan Yoga di pesta waktu itu?

Tidak, Fabian tidak akan mengatakan segala kecurigaannya dulu. Ini baru praduga, dan dia juga tahu lebih dari siapa pun. Kalau Becca bukan tipikal perempuan yang hanya akan tinggal diam, kalau Yoga dekat dengan perempuan mana pun. Dia tak mau hanya karena rasa curiganya, membuat Meta disiksa dan diperlakukan jahat oleh Becca.

"Enggak, gue nggak tau kalau Yoga dateng ke acara ulang tahun lo ama cewek. Kiraian sendirian," putus Fabian pada akhirnya. Sembari menghabiskan birnya dengan sekali tegukkan. Dia harus memastikan langsung, apa benar yang ia pikirkan ini. Atau semuanya hanya dugaannya semata.

Fabian tampak kaget, saat Becca sudah ambruk ke arah tubuhnya, kemudian Becca memeluknya dengan erat.

"Udah mabok, lo?" tanya Fabian, tapi yang dilakukan Becca bukan malah menjawab. Melainkan, memandang wajah Fabian, sembari memainkan jemarinya di bibir penuh milim Fabian.

"Gue lagi pengen, ngerasain bibir lo lagi, Bi," bisiknya. Sembari tersenyum samar, kemudian menempelkan bibirnya pada Fabian. Dengan senyuman Fabian membalas ciuman itu, mencumbu Becca dengan panas tanpa peduli jika saat ini keduanya masih berada di bar.

"Sepertinya kita harus ke apartemen, permainan kita kurang... menantang," bisik Fabian. Menarik tubuh Becca keluar bar. Memasukkannya ke dalam mobilnya, kemudian melesat pergi.