webnovel

Wan Jing: Ribuan Jejak (Bahasa Indonesia)

Dia seorang gadis yang tidak jelas asal usulnya. Dia seorang laki-laki yang menyimpan berjuta misteri. Takdir mempertemukan keduanya. Mereka melakukan perjalanan, bertemu dengan banyak orang dan berbagai masalah hingga akhirnya memutuskan untuk menetap. "Bagaimana kalau kita menikah?" "..." "Ayo kita menikah!" Hari demi hari berlalu. Berbagai hal mereka lalui bersama. Namun, sejujurnya mereka berdua sama-sama tidak tahu siapa sebenarnya orang yang selama ini menemani hari-hari mereka.

mingyue_han · History
Not enough ratings
6 Chs

Chenchen

Kamus:

Gege: kakak (laki-laki)

Jiejie: kakak (perempuan)

.

.

Yun Mengchen baru saja selesai mandi dan sekarang tengah mengeringkan rambutnya. Dia berjalan menuju dapur dan memasak sup pangsit dengan pangsit yang sudah dia siapkan sebelumnya. Udara di penghujung musim gugur semakin dingin sehingga makanan hangat sangat sesuai untuk disantap, apalagi Zhao Yufeng juga suka sup pangsit.

"Tuan, apa kau mau makan sekarang?"

Yun Mengchen membuka pintu kamar tanpa aba-aba dan langsung masuk begitu saja. Siapa sangka Zhao Yufeng sedang berganti pakaian. Tatapan dingin yang menusuk pun langsung didapat Yun Mengchen. Suasana canggung pun memenuhi ruangan itu. Namun, Yun Mengchen sudah berlatih menebalkan muka setiap kali berhadapan dengan sikap dingin Zhao Yufeng. Ini bukan pertama kalinya kecerobohan yang dia buat membuat laki-laki itu bersikap seperti itu. Oleh karena itu, dia mengabaikannya. Dengan tenang Yun Mengchen mendekati Zhao Yufeng yang masih menatapnya lalu membantunya berpakaian. Zhao Yufeng masih menatapnya, tapi Yun Mengchen membalasnya dengan senyum manis tanpa dosa, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia mengambil handuk, memaksa Zhao Yufeng duduk lalu mengeringkan rambutnya yang masih basah.

"Bagaimana bisa kau mandi dengan air dingin di udara sedingin ini? Bagaimana kalau kau jatuh sakit?" Yun Mengchen mengabaikan sikap dingin Zhao Yufeng dan terus mengomel dengan nada khawatir. Dia memang khawatir kalau Zhao Yufeng sakit lagi karena yang akan kerepotan merawatnya tetap saja dia.

"Sudah berapa kali aku bilang, kalau masuk kamar kau harus mengetuk pintu dulu." Zhao Yufeng tidak menghiraukan omelan Yun Mengchen dan malah mengalihkan topik pembicaraan. Yun Mengchen sebenarnya sudah tahu kalau dia salah, tapi mau bagaimana lagi.

"Maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi." Kata Yun Mengchen menyesal.

"Sudah berapa kali kau mengucapkan kalimat itu? Apa perlu aku menulis peringatan dan menempelkannya di pintu?" Nada bicara Zhao Yufeng begitu dingin, seolah-olah Yun Mengchen bisa melihat ekspresi wajahnya meskipun dia tidak menatapnya. Gerakan Yun Mengchen pun terhenti. Entah bagaimana, orang yang irit bicara seperti Zhao Yufeng bisa begitu cerewet saat memarahinya.

Zhao Yufeng berbalik dan menatapnya. Mata keduanya pun beradu. Yun Mengchen menatapnya dengan mata bening yang memelas seperti mata seekor anak anjing. Zhao Yufeng hanya bisa mengumpat dalam hati saat melihat tatapan matanya. Entah kenapa dia selalu melunak setiap kali melihat tatapan mata Yun Mengchen yang seperti itu. Harus Zhao Yufeng akui, sejak bertemu Yun Mengchen, dia merasa tidak menjadi dirinya yang seperti biasa. Kalau dulu, dia akan menolak setiap kontak fisik dengan wanita. Dia juga akan menendang setiap wanita yang berusaha merangkak naik ke ranjangnya, tapi sekarang dia malah tidur satu ranjang dengan Yun Mengchen. Saat dia tahu kalau Yun Mengchen telah melihat seluruh tubuhnya, darah di sekujur tubuhnya serasa mendidih. Kalau bukan karena gadis itu telah menyelamatkannya, dia pasti akan menghajarnya. Pada akhirnya, Zhao Yufeng hanya bisa menghela napas.

"Jangan ulangi lagi."

Mendengar itu, mata Yun Mengchen pun berbinar. Dia mengangguk-angguk dengan senyum ceria seperti anak kecil. Melihat itu, Zhao Yufeng langsung memalingkan muka lalu memberi isyarat Yun Mengchen untuk mengeringkan rambutnya lagi.

"Tuan, aku sudah menyiapakan sup pangsit. Apa kau mau memakannya sekarang?" Tanya Yun Mengchen setelah selesai mengeringkan rambut Zhao Yufeng.

"Hmm."

Mendengar jawaban Zhao Yufeng, Yun Mengchen pun bergegas ke dapur dan membawa sup pangsit yang masih panas ke dalam kamar. Dia dan Zhao Yufeng pun menyantapnya bersama. Setelah tinggal bersama, Yun Mengchen tahu kalau Zhao Yufeng menyukai masakannya. Dia suka olahan sayur dan hanya sedikit mengonsumsi daging. Dia juga tidak terlalu suka masakan pedas dan berminyak.

Setelah membereskan mangkuk dan piring yang mereka gunakan, Yun Mengchen melihat Zhao Yufeng belum berbaring. Dia masih membaca buku. Sejak awal, Yun Mengchen sudah tahu kalau laki-laki itu memang tampan, tapi saat melihatnya serius membaca diterangi cahaya lilin, entah kenapa dia terlihat lebih tampan.

Zhao Yufeng merasa kalau Yun Mengchen menatapnya. Dia pun menoleh. Dia tidak menyangka kalau Yun Mengchen menatapnya dengan tatapan lembut penuh kekaguman. Tanpa sadar dia terkikik.

"Kenapa? Kau belum pernah melihat pria setampan aku?"

Yun Mengchen langsung tersadar begitu mendengar ucapan Zhao Yufeng. Wajahnya pun bersemu merah dalam seketika.

"S-siapa yang..." Ucapannya terputus karena melihat Zhao Yufeng tertawa. Dia tidak menyangka bisa melihat orang itu tertawa.

Saat meihat ekspresi aneh Yun Mengchen, alis Zhao Yufeng pun terangkat. "Kau ini kenapa?"

Yun Mengchen menggelengkan kepala lalu tersenyum lembut. "Ini pertama kalinya. Bukan hanya melihatmu tersenyum, tapi juga tertawa seperti itu."

Zhao Yufeng pun akhirnya sadar. Entah sejak kapan otot-otot wajahnya terasa terangkat. Benar, bukan hanya tersenyum, tapi juga tertawa dan dia tidak menyadarinya.

Tiba-tiba ruangan itu menjadi hening. Setelah beberapa saat Yun Mengchen berkata, "Hari ini aku sudah membeli dua buah selimut baru, jadi kita tidak perlu berbagi selimut lagi."

Zhao Yufeng tidak menanggapinya, tapi memperhatikan Yun Mengchen yang mengambil selimut dari lemari lalu menatanya di tempat tidur. Kemudian dia beralih ke balik papan pembatas untuk melepas pakaian luarnya.

Yun Mengchen duduk di ranjang lalu menatap Zhao Yufeng seolah mengajaknya untuk segera tidur. Zhao Yufeng pun menutup bukunya, beranjak dari tempatnya duduk dan melepas pakaian luarnya. Dia mematikan lilin dan berbaring di samping Yun Mengchen.

"Tuan."

"Hmm?"

Yun Mengchen menoleh dan menatap Zhao Yufeng yang sudah memejamkan mata. Mata Zhao Yufeng pun terbuka lagi. Mereka berdua sudah terbiasa melihat dalam gelap, sehingga tidak terlalu kesulitan mengamati ekspresi masing-masing meskipun tidak begitu jelas.

Zhao Yufeng menunggu Yun Mengchen membuka mulut lagi. Namun, setelah cukup lama, dia tidak juga berbicara. Zhao Yufeng pun menoleh dan sekarang mereka berdua saling bertatapan. Dalam kegelapan, Zhao Yufeng bisa melihat mata bening Yun Mengchen yang tampak gusar.

"Tuan, aku..."

Yun Mengchen terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada ucapan yang dia lontarkan.

"Lupakan saja." Setelah mengatakan itu, Yun Mengchen berbalik, memunggungi Zhao Yufeng. Begitu memikirkannya lagi, Yun Mengchen memutuskan untuk memendam apa yang sebenarnya ingin dia katakan. Dia merasa saat ini masih belum tepat untuk mengatakannya.

Zhao Yufeng yang telah menunggu dari tadi menjadi kesal karena Yun Mengchen ternyata tidak jadi mengatakan sesuatu, padahal sudah mengganggu tidurnya. Dia pun berbalik sehingga keduanya saling memunggungi.

.

.

.

"Chen jie!"

Yun Mengchen menoleh ke sumber suara. Dia melihat dua orang anak kecil menghampirinya. Anak yang memaggilnya tadi tentu saja A-Bao. Kali ini A-Bao datang dengan temannya yang bernama A-Jin. Saat melihat kedua bersama, Yun Mengchen rasanya ingin tertawa. A-Bao bertubuh gemuk bulat, sedangkan A-Jin bertubuh kurus. Mereka berdua benar-benar bertolak belakang.

"A-Bao, A-Jin, kalian ada di sini juga." Kata Yun Mengchen dengan senyum manis seperti biasanya.

"Iya, kami baru saja bermain di rumah A-Ming."

"Bukan bermain. Sebenarnya kami ke sana untuk belajar bersama, tapi akhirnya kami bermain dan A-Bao menghabiskan banyak makanan." Bantah A-Jin.

"Aiya, kalau A-Ming mengajak belajar bersama, kalian seharusnya belajar, bukan bermain. Itu kesempatan yang bagus karena guru yang dipanggil ke rumah A-Ming pasti hebat. Jangan sia-siakan kesempatan itu."

"Jiejie benar. Dengarkan itu, A-Bao." Kata A-Jin sambil menatap A-Bao dengan sedikit sebal.

"Hehehe. Lain kali kami akan serius belajar, tapi mau bagaimana lagi, di rumah A-Ming banyak mainan dan makanan. Kau tahu sendiri bagaimana aku, kan?"

"Kau harus mengurangi jatah makanmu kalau tidak mau jadi bola. Aku yakin Chen jiejie tidak suka dengan orang yang bertubuh sepertimu." Bisik A-Jin di telinga A-Bao.

Mendengar itu, A-Bao pun jadi panik. Dia sangat menyukai Yun Mengchen. Kalau Yun Mengchen tidak menyukainya, itu bencana.

"Chen jie, apa tubuh A-Bao ini tidak bagus? Apa jiejie tidak menyukai tubuh gemuk seperti ini?" Tanya A-Bao sedikit panik.

"Apa yang kau katakan? Bentuk tubuh seperti apapun tidak masalah, asalkan sehat. A-Bao masih pada masa pertumbuhan sehinggi perlu banyak asupan makanan bergizi. Namun, lebih baik kalau bukan hanya makan, tapi juga harus beraktivitas untuk menggerakkan tubuh. Jiejie pernah dengar kalau A-Ming belajar bela diri. Jiejie rasa itu bagus untuk membentuk tubuh ideal." Terang Yun Mengchen.

"Hmm. Apa tubuh ideal yang jiejie maksud seperti tubuh gege?" Tanya A-Bao.

"Gege?"

Yun Mengchen baru ingat kalau A-Bao sudah pernah bertemu Zhao Yufeng. Dia juga tahu betul kalau tubuh laki-laki itu memang bagus.

"Jiejie kenapa? Kenapa wajah jiejie memerah?" Tanya A-Jin yang langsung menyadari perubahan pada wajah Yun Mengchen.

Yun Mengchen merasa sangat malu. Bagaimana bisa dia memikirkan tubuh laki-laki sampai seperti itu. Rasanya dia ingin membenturkan kepalanya ke tembok kota.

"Ah, tidak. Kau benar, tubuh gege itu memang ideal."

Begitu mendengar itu, A-Bao bertekat untuk memiliki tubuh seperti Zhao Yufeng.

"A-Bao, kau bilang tadi ingin ke kedai nenekmu." Kata A-Jin.

"Kau benar. Jiejie, kami pergi dulu ke tempat nenek."

Yun Mengchen tertawa kecil melihat kedua anak itu berlalu. Dia terus berjalan menelusuri toko-toko di sepanjang jalan kota. Dia sudah membeli berbagai barang untuk persiapan musim dingin, dan sekarang dia ingin membeli buku, kertas, tinta dan kuas baru untuk Zhao Yufeng. Harga barang-barang itu tidak murah, tapi dia sudah menyiapkan anggarannya. Dia berpikir tidak ada salahnya menyenangkan Zhao Yufeng, meskipun dia sendiri tidak tahu apakah orang itu akan senang atau tidak.

Jalanan kota tidak begitu ramai karena suhu udara memang semakin dingin. Mungkin satu-satunya tempat yang tetap ramai adalah rumah bordil terkenal di kota ini. Bangunan tempat itu sangat megah. Kabarnya, yang membuat tempat itu tetap ramai bukan hanya karena para wanitanya, tapi juga arak yang dijual di tempat itu.

Yun Mengchen melihat bangunan megah itu dari seberang jalan karena dia ingin membeli kue di salah satu jajaran toko yang ada di depan tempat itu. Kue di toko itu sangat terkenal. Harganya lebih mahal daripada toko lain, tapi kabarnya rasanya lebih lezat. Ini pertama kalinya Yun Mengchen membeli di toko itu. Ternyata memang ada banyak jenis kue yang dijual. Dia membeli setiap jenis dua buah. Tentu saja, satu untuknya dan satu untuk Zhao Yufeng.

Setelah keluar toko, Yun Mengchen berencana segera pulang ke rumah, tapi siapa sangka tidak jauh dari toko itu, sudah ada beberapa laki-laki yang menghadang jalannya. Dia tidak tahu siapa mereka dan kenapa mereka menghadangnya. Namun, dia mengenali sosok seorang laki-laki berusia sekitar delapan belas tahunan yang baru saja muncul. Laki-laki itu adalah anak tetangga nenek Wang. A-Bao pernah bilang kalau namanya Lu Yan.

Lu Yan berdiri di depan sosok laki-laki lain. Laki-laki itu sepertinya seumuran dengan Lu Yan. Dia mengenakan pakaian yang terlihat mahal. Sepertinya dia tuan muda dari keluarga terpandang. Namun, wajahnya tampak seperti seorang playboy. Tatapannya itu terlihat sangat mesum. Dari tubuhnya, tercium aroma arak. Kemungkinan, mereka baru keluar dari rumah bordil tadi.

"Jadi kau nona Yun?" Tanya laki-laki itu.

Yun Mengchen tidak menjawabnya. Dia hanya menatap datar laki-laki itu.

Laki-laki itu menatap Yun Mengchen dengan intens. Dia tidak menyangka kalau di kota ini ada gadis secantik Yun Mengchen yang belum pernah dia sentuh. Dalam hati dia setengah menyesal karena tidak menemukan gadis seperti itu sejak awal.

"Nona Yun, kau mendapat kehormatan untuk menemani tuan muda Song." Kali ini Lu Yan yang membuka mulut. Alis Yun Mengchen langsung terakngkat. Dia tidak habis pikir kehormatan macam apa yang dia dapatkan.

Gerombolan laki-laki itu mendekati Yun Mengchen. Mereka ingin memojokkannya. Yun Mengchen berjalan mundur sambil mencari jalan untuk kabur. Jujur saja, dia tidak ingin berurusan dengan siapa pun di kota ini. Dia selalu berusaha menghindari masalah.

Ekspresi wajah tuan muda Song tampak semakin senang saat melihat Yun Mengchen terpojok. Sayangnya dia tidak mengamati ekspresi wajah Yun Mengchen dengan seksama. Kalau saja dia tahu, Yun Mengchen sama sekali tidak takut, ekspresinya datar dan tenang.

Yun Mengchen tidak tahu kenapa orang-orang yang melihat mereka tidak menolongya. Meskipun tidak ramai, di sekitar situ juga ada banyak orang. Mereka hanya menatapnya sekilas lalu berlalu, seolah tidak ingin berurusan dengan orang-orang ini.

Tuan muda Song mengulurkan tangannya untuk menyentuh Yun Mengchen, tapi tiba-tiba dia menjerit kesakitan. Dia tidak menyangka kalau ada orang yang berani melemparinya dengan batu. Batu itu mengenai tangannya sampai berdarah.

Semuanya menoleh ke arah orang yang melempar batu pada tuan muda Song, termasuk Yun Mengchen. Mereka melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan ekspresi dingin. Laki-laki itu mengenakan pakaian berwarna biru gelap dan rambut panjangnya didikat sebagaian. Pakaian yang dia kenakan tidak mewah, tapi elegan.

Gerombolan tuan muda Song tadi tampak membeku di tempat. Tuan muda Song yang berniat murka dan menghajar laki-laki itu tidak bisa berkata apa-apa. Mereka mundur begitu laki-laki itu mendekat.

"Tuan." Bisik Yun Mengchen.

"Chenchen, ayo pulang." Yun Mengchen tertegun mendengar ucapan Zhao Yufeng sampai tidak sadar kalau barang belanjaannya sudah diambil alih olehnya. Mereka berdua meninggalkan gerombolan itu.

"S-siapa laki-laki itu?" Tanya tuan muda Song, tapi tidak ada yang tahu. Mereka hanya menatap punggung keduanya yang semakin menjauh.

Baik Yun Mengchen maupun Zhao Yufeng tidak tahu kalau ternyata di dalam sebuah kereta kuda yang tidak jauh dari tempat itu, ada orang lain yang juga mengamati mereka.