webnovel

02

"Permisi."

"Permisi. Ada orang nggak?"

Sudah hampir setengah jam Joa berdiri di depan pintu rumah makan yang telah tertutup jam segini. Ia merasa ingin meluapkan amarahnya kepada monster tersebut. Menunggu adalah kegiatan yang paling membosankan di dunia ini, terlebih lagi akan membuang-buang waktu. Akhirnya, ia memutuskan untuk beranjak dari tempat itu.

Belum cukup lima langkah, seseorang memanggilnya. "Dek, Ada apa yahh?"

Seorang pria yang dari rumah yang terletak di sebelah restoran itu dalam keadaan menguap. Pria yang mirip dengan Erich. Mungkinkah ia Ayahnya?

"Maaf Pak, saya mencari pemilik rumah makan ini."

"Iyaa saya sendiri. Ada apa dek?"

"Ekhem.. Anda bapak dari siswa yang bernama Erich Blandino?" tanya Joa yang sedikit gugup. Pria itu terlihat lebih dewasa dan tampan meskipun wajahnya mirip dengan Erich.

"Hehehehe, apakah saya setua itu? Saya Kakaknya."

"Heh? Ohh, i.. iya Kak. Anu, emm Erich ada?" tanya Joa yang begitu gugup ketika berhadapan dengan Kakaknya Erich.

"Rich, Rich.. Ini temanmu datang kok nggak kamu bukain? padahal kamu main game terus." teriak pria itu sontak membuat emosi Joa kembali naik ke ubun-ubun.

'Wahh, jadi monster itu sengaja nggak bukain aku pintu. Sialan. Sabar Joaaa Sabaaar.' — Batin Joa. Ia memejamkan matanya untuk menenangkan dirinya sejenak.

"Maaf Kak kalo kedatangan saya mengganggu. Saya hanya menjalankan amanah dari wali kelas kami untuk membawakan tugas yang harus Erich kerjakan." Ucap Joa dengan tegas.

'Bahkan aku sedikit pun nggak tau kalo kami sekelas. Ahh, semoga nggak terjadi apa-apa kedepannya. Soalnya perasaanku jadi nggak enak yahh.' — Batin Joa.

Joa menghela napas dan melanjutkan kembali pembicaraannya. "Dan tolong Kak, sampaikan permintaan maaf saya untuk Erich atas kejadian di kelas. Dia pasti tau hal itu."

"Baiklah. Terima kasih yahh sudah memperhatikan adik saya." ucapnya sembari tersenyum ramah kepadaku.

'Whaaaaattt??? Memperhatikan??? Idiihhh.' — Batin Joa kembali memberontak.

"Nggak Kak. Saya nggak perhatian kok sama dia. Kalo gitu saya pamit dulu." ucap Joa dengan jujur. Sesuatu hal yang mengganggu Joa, akan ia katakan dengan jujur meskipun terkesan blak-blakan. Ia tidak ingin ketidaksukaannya terhadap sesuatu menjadi penyakit untuk dirinya.

"Hati-hati di jalan." Joa hanya membalasnya dengan anggukan.

Akhirnya, Joa menyelesaikan amanah yang diberikan Ibu Alice kepadanya. Tinggal menagih buku yang ia inginkan dari Wali kelasnya itu. Tak lupa ia mengeluarkan buku saku kecilnya untuk ia baca. Joa terlalu fokus pada bukunya hingga tidak menyadari seseorang telah mengikutinya dengan pergerakan yang santai. Tiba-tiba Joa ditarik oleh seseorang yang mengikutinya dan terjatuh tepat di bawah orang itu lalu mengunci pergerakan Joa.

'Lohh? Gila. Erich? Ngapain dia?' — Batin Joa yang sedikit ketakutan.

"A.. Apa-apaan sih Rich? Lepasin dong." tanya Joa yang sedikit gugup karena menatap Erich sedekat ini.

"Jangan-jangan kau itu mata-mata dari wali kelas sialan itu yahh. Aku nggak mau sekolah lagi. PAHAM." teriak Erich tepat diwajah Joa.

'Ini anak udah hobi kali yahh teriak-teriak.' —Batin Joa.

"Siapa juga yang mau jadi mata-mata, aku kesini cuma bawain tugas untuk kau kerjakan. Aku juga mau minta maaf atas kesalahpahaman yang kemarin." jawab Joa.

Mendengar jawaban Joa, seketika Erich melepaskan Joa. Dengan sigap, Joa merangkak sedikit menjauh dari pria itu. Ia menatap Erich yang kini terlihat polos dengan wajah dan tatapannya yang berbinar-binar kearahnya.

'Ohh, Tuhan. Apa lagi ini? Aku malah jijik liat mukanya yang kayak gitu. Kok jadi polos amat?' — Batin Joa.

"Jadi kamu mau jadi temanku?" Pertanyaan Erich seketika membuat Joa bungkam. Apalagi gaya bicara Erich berubah jadi Aku Kamu.

"Nggak. Aku nggak perlu bertanya lagi. Kamu adalah temanku." Lanjut Erich dengan senyumannya yang membuat Joa merinding. Ia merasa bahwa Erich tiba-tiba jadi sosok menyeramkan ketika tersenyum. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ia terlihat sangat tampan melebihi Kakaknya tadi.

Joa hanya diam dan melangkah menjauh meninggalkan pria yang masih dalam suasana hati yang sangat gembira. Samar-samar Joa mendengar teriakan Erich yang mengucapkan 'Take care, Joa. Bye Bye'.

"Teman? Heh, Membuang waktuku saja." lirih Joa.

Keesokan Harinya di sekolah, Joa mendatangi wali kelasnya untuk menagih janjinya sekaligus mengambil catatan buku yang ia perlukan.

"Permisi Bu."

"Masuk."

Joa pun masuk ke ruangan Ibu Alice. "Ada apa Joa?"

"Saya ingin mengambil buku saya sesuai dengan perjanjian kita kemarin." ucap Joa dingin dengan tatapan datar.

"Hehehehe, ada kok Joa. Jadi gimana kemarin?" tanya Ibu Alice sembari mengeluarkan buku itu satu per satu.

"Sudah Bu." Jawab Joa singkat, jelas, dan padat.

"Sudah maksudnya?" tanya Ibu Alice yang berpura-pura tidak tahu padahal kemarin ia membuntuti Joa hingga melihat Joa bersama dengan Erich.

'Suatu kemajuan untuk Erich jika Joa bersamanya' — Batin Ibu Alice.

"Yahh sudah saya kasih tugasnya sesuai dengan perintah Ibu, kan?" Joa sedikit emosi dibuatnya.

"Hehehehe iyaa yah." Ibu Alice hanya tertawa garing memgetahui bahwa Joa saat ini sedang menahan emosinya.

"Yaudah saya akan kembali ke kelas lagi. Permisi Bu." pamit Joa yang sedikit membungkukkan badannya.

"Tunggu Joa." cegah Ibu Alice.

Joa menghela napas jengah terhadap tingkah wali kelasnya, "Ada apa lagi Bu?"

"Bisa nggak kamu bujuk Erich untuk kembali ke sekolah? Ibu akan membelikan semua buku yang kamu perlukan di catatanmu itu." pinta Ibu Alice.

Joa terkejut bukan main. Ia tidak ingin bertemu dengan pria aneh, monster dari segala monster itu lagi. Bisa-bisa ia ikut menjadi gila juga. "Maaf Bu, saya nggak bisa."

"Lohh, kenapa Joa?"

"Saya cuma nggak mau ketemu sama pria itu. Saya akan masuk kelas Bu. Permisi."

"Tolonglah, tolonglah." Ibu Alice mengikuti Joa dan memohon padanya. Namun, tanggapan Joa tetap biasa saja. Tidak peduli dengan orang-orang yang memperhatikannya.

"Sudahlah Bu. Saya tetap TIDAK BISA." ucap Joa penuh penekanan pada kata Tidak Bisa tersebut sebelum ia memasuki kelas.

'Mana mungkin seorang Joa membujuk monster yang penuh dengan catatan kriminal di sekolah ini. Nanti aku juga dianggap melakukan tindak kriminal jika bersamanya. Ngapain juga Bu Alice peduli banget sama si monster itu?' — Batin Joa yang sedikit bertanya-tanya. Jika di pikir-pikir apa untungnya buat beliau kalau Erich kembali masuk ke sekolah.

"Liat si cewek Es itu, sombong amat. Emangnya dia siapa pake nolak-nolak permintaan Bu Alice." bisik cewek A

"Cantik juga, kagak. Dekil sih, iya." bisik cewek B.

"Dasar maniak nilai tinggi. Malah lebih cantik kita-kita. Wkwkwkwk." bisik cewek C.

Mendengar bisikan-bisikan setan itu, membuat telinga Joa panas dan seketika Joa tersenyum licik. Ia pun berdiri menghampiri ketiga cewek itu. Bahkan seluruh orang-orang di kelas memperhatikan mereka.

"Yang penting gue nggak SE-GOBLOK kalian yang cuma modal muka dengan biaya juta-jutaan cuma milik orang tua kalian. Mending kalian ke toilet dan bercermin. Nggak usah urus hidup orang lain selagi kalian nggak tau apa-apa." Joa menatap ketiganya dengan tatapan datarnya. Mereka merasa dipermalukan di depan semua orang.

"Kaa.. Kamuu—" ucap cewek C yang sudah emosi sampai ke ubun-ubun.

Kenny pun berjalan di samping mereka seraya berbisik. "Upss, malunya."

"Wahh, kebongkar dehh." ucap siswa lainnya.

"Joa keren abiss."

"Modal muka? Hahahahaha, ngakak stadium akhir. Sumpah."

"JOA, TUNGGU PEMBALASAN KAMI." teriak cewek B dan berlari meninggalkan kelas.

Joa tersenyum tipis dan hampir tidak terlihat mendengar teriakan salah satu diantara mereka, "Baiklah, gue tunggu dengan sangat senang hati."

***